Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Belum Mujarab Cegah Pengemplang Pajak

Sejumlah kalangan menilai skema pertukaran data pajak secara otomatis antarnegara atau AEoI belum efektif mengatasi masalah klasik penghindaran pajak.

23 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak berusaha menekan upaya penghindaran dan pengelakan pajak lintas negara dengan memanfaatkan data dari pihak ketiga. Termasuk informasi keuangan yang berasal dari skema pertukaran data pajak secara otomatis antarnegara atau AEoI. Namun sejumlah kalangan menilai skema tersebut belum efektif mengatasi penghindaran pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kementerian Keuangan, Neilmaldrin Noor, mengatakan data dari pihak ketiga, termasuk informasi keuangan yang berasal dari AEoI, dipakai untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. “Data eksternal, seperti AEoI, berperan sebagai pembanding,” katanya saat dihubungi, kemarin.

Dalam sistem AEoI, pertukaran informasi rekening wajib pajak—meliputi berbagai jenis penghasilan, seperti dividen, bunga, royalti, dan gaji—melibatkan otoritas negara sumber penghasilan atau tempat menyimpan kekayaan dan negara tempat tinggal atau residen si wajib pajak. Mencegah penghindaran, sistem ini dibuat untuk melacak wajib pajak yang membuka rekening di negara lain yang bukan asal penghasilannya. Tujuan AEoI yang juga banyak didengungkan adalah menjegal praktik pendirian kantor di negara suaka pajak (tax haven).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kantor Mossack Fonseca & Co. (Asia) Limited di Hong Kong, Cina, 2016. REUTERS/Bobby Yip

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Indonesia aktif berpartisipasi dalam AEoI dengan banyak yurisdiksi di dunia. Tercatat saat ini ada 113 yurisdiksi partisipan (inbound) dan 95 yurisdiksi tujuan pelaporan (outbound) yang diterima setiap September.

Menurut Neilmaldrin, pemerintah masih meningkatkan kualitas dan kelengkapan data yang dibarter dalam AEoI dari waktu ke waktu. “Pengelakan pajak adalah masalah klasik. Hanya akan dapat diperangi melalui kerja sama antarnegara,” ujarnya.

Dalam pertemuan gubernur bank sentral dan menteri keuangan negara anggota G20 di Nusa Dua, Bali, pada 14 Juli lalu, Sekretaris Jenderal Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), Mathias Cormann, menyebutkan pertukaran informasi dan transparansi informasi pajak secara global bisa mendatangkan pendapatan tambahan. “Hingga lebih dari US$ 120 miliar lewat berbagai program, seperti pengungkapan pajak sukarela dan investigasi pajak luar negeri.”

Berdasarkan catatan OECD, diperkirakan jumlah kekayaan orang Asia yang disimpan di luar yurisdiksi mencapai lebih dari US$ 1,2 triliun. Hal ini mengakibatkan timbulnya kerugian pendapatan negara lewat pajak hingga US$ 25 miliar per tahun.

-



Kendati demikian, sejumlah kalangan menilai skema AEoI belum efektif mengatasi masalah klasik penghindaran pajak. Kepala Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, mengatakan barter informasi yang bersifat periodik atau hanya dalam kurun waktu tertentu itu membuat penagihan menjadi lamban.

“Karena bukan data time series, ada jarak waktu sehingga saat potensinya dikejar ke nasabah, kadang uangnya sudah tidak ada,” katanya kepada Tempo, kemarin.  

Dalam hal ketegasan, menurut Nailul, pemerintah masih lamban mengupayakan repatriasi potensi pajak yang masih berada di luar negeri dibanding negara lain. Para pengusaha dianggap memilih menempatkan uangnya di tax haven karena pajaknya yang lebih rendah. “Misalnya di British Virgin Islands, bahkan Singapura,” kata dia.

Kasus penghindaran pajak berlabel "Panama Papers" sempat mengemuka ke publik pada awal April 2016. Kala itu, dunia dihebohkan oleh bocoran dokumen mengenai sekitar 200 ribu perusahaan cangkang yang dimiliki para elite—baik pejabat publik, pengusaha ternama, maupun pesohor—dari berbagai negara. Penyembunyian entitas atau jaringan aset di negara lain ini kerap diindikasi sebagai upaya untuk mengelak dari pajak.

Dokumen itu bocor dari firma hukum Mossack Fonseca—kantor pengacara yang berbasis di Panama dan terkenal sebagai spesialisasi membuat perusahaan off-shore di kawasan suaka pajak, salah satunya di British Virgin Islands. Berasal dari sumber anonim, bocoran ini mulanya dipegang surat kabar Jerman, Suddeutsche Zeitung, pada awal 2015. Timbunan data jumbo tersebut—berukuran 2,6 terabita—kemudian dibagikan kepada Konsorsium Internasional Jurnalis Investigatif (International Consortium of Investigative Journalists/ICIJ) yang beranggotakan hampir 400 jurnalis dari sekitar 100 kantor media di seluruh dunia. Kolaborasi jurnalis global ini juga mempublikasikan dokumen Panama Papers pada 9 Mei 2016 melalui situs web www.offshoreleaks.icij.org. Tak seluruh informasi dibeberkan, hanya berupa nama perusahaan dan para pemilik sahamnya.

Petugas melayani warga yang mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty) di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan



Dari Indonesia, hanya Tempo yang tergabung dalam pengungkapan tersebut. Selama penelusuran, Tempo menemukan sedikitnya 899 nama politikus, pejabat, dan petinggi korporasi dalam dokumen Panama Papers.

Salah satu yang mencuri perhatian adalah nama Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Nama Luhut disebut sebagai Direktur Mayfair International Ltd, entitas cangkang yang didirikan pada 29 Juni 2006 di Republik Seychelles, negara suaka pajak di Afrika.

Penelusuran itu sudah diangkat dalam laporan utama majalah Tempo edisi 25 April 2016—salah satunya berjudul "Cangkang Luhut di Pojok Afrika". Tempo pun meminta konfirmasi ihwal isi Panama Papers kepada pensiunan jenderal TNI tersebut. Ketika ditemui, dia menyatakan tidak pernah mengenal perusahaan bernama Mayfair. "Saya tidak kenal," katanya pada 21 April 2016.

Pejabat tinggi negara lainnya yang juga tersangkut dokumen tersebut adalah mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Harry Azhar Azis. Dia disebut memiliki perusahaan yang bernama Sheng Yue International Limited yang didirikan pada 2010.

Meski sempat membantah, Harry yang meninggal pada Desember 2021 itu belakangan mengakui entitas cangkang tersebut dibentuk atas permintaan anaknya untuk memiliki usaha bersama. Dia dilaporkan kepada Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK oleh Koalisi Selamatkan BPK pada April 2017. Meski diklaim terkait dengan isu Panama Papers, Harry dilengserkan secara aklamasi setelah menjabat selama 2,5 tahun.

Menurut Nailul, sebagian besar temuan keterlibatan figur penting dalam Panama Papers sudah menguap. Padahal tim gabungan atau Task Force Tax Amnesty pemerintah sudah mengklaim akan memverifikasi data dalam dokumen Panama Papers. “Masalahnya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tidak memiliki informasi lanjutan yang cukup.”

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, tak ingin berspekulasi soal hambatan penelusuran data Panama Papers. Namun dia membenarkan pengejaran pajak para konglomerat sulit dieksekusi pemerintah. “Ini termasuk permasalahan oligarki,” katanya. “Di antara mereka yang tersangkut pajak, banyak yang memiliki akses kepada kekuasaan.”

Menurut dia, praktik penggelapan pajak belum akan hilang, meski bisa dihambat dengan AEoI. Sanksi penalti untuk pengemplang pajak pun dianggap belum tegas. Alih-alih mengeksekusi ancaman penalti pada kebijakan tax amnesty gelombang pertama, ucap Piter, pemerintah malah memberikan kesempatan gelombang kedua.

Pendapat Ketua Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia, Ajib Hamdani, setali tiga uang. Dia menyebutkan praktik perusahaan cangkang sulit diberangus selama masih ada tawaran dari negara surga pajak. “Apalagi masih ada negara yang tidak bersepakat untuk menjalankan prinsip keterbukaan. Agar selesai, butuh tekad politik dan kesetaraan dalam pemungutan pajak.”

Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (Cita), Fajry Akbar, mengatakan data Panama Papers ataupun temuan lain ihwal perusahaan cangkang bisa digunakan sebagai bahan pencocokan data oleh Direktorat Jenderal Pajak. “Perlu klarifikasinya, meski tentu tidak disampaikan ke publik,” kata dia. “Tindak lanjutnya berupa surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK).”

YOHANES PASKALIS | NATHANIA ALEXANDRA (MAGANG) | PRAGA UTAMA | MAJALAH TEMPO

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus