Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jokowi mengizinkan APBN membiayai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Pemerintah juga akan menjamin utang PT KAI sebagai pengendali konsorsium.
Pemerintah sempat meminta perusahaan Cina menjadi pengendali PT KCIC, tapi mereka menolaknya.
JAKARTA — Pemerintah mengizinkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Arya Sinulingga, mengatakan keputusan itu diambil setelah konsorsium empat perusahaan pelat merah yang ditugaskan dalam proyek itu mengalami gangguan stabilitas keuangan akibat pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini kondisi mau tidak mau supaya kereta cepat segera terlaksana, pemerintah perlu ikut memberikan pendanaan, karena corona membuat proyek terhambat,” ujarnya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibat kesulitan itu, BUMN yang tergabung dalam konsorsium kereta cepat belum menyetorkan modal untuk proyek strategis nasional tersebut. BUMN yang terlibat adalah PT Kereta Api Indonesia (Persero), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero). Arus keuangan seluruh perusahaan pelat merah itu tengah terganggu, sehingga mengganjal kemampuannya dalam memberikan pembiayaan.
Pada 6 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang mengatur pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan menggantikan Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015. Dalam peraturan lama, pendanaan kereta cepat dinyatakan tidak menggunakan dana APBN. Jokowi kala itu mengatakan pengembangan kereta cepat di Indonesia memang sangat dibutuhkan, tapi pemerintah tidak ingin hal tersebut membebani APBN. Karena itu, pendekatan bisnis ke bisnis menjadi pilihan. Namun, dalam peraturan baru, pemerintah mengizinkan APBN mendanai kereta cepat.
Melalui aturan anyar tersebut, Jokowi merinci pembiayaan dari APBN dilakukan dalam dua bentuk. Pertama adalah penyertaan modal negara (PMN) kepada konsorsium BUMN yang menggarap proyek ini. PMN diberikan untuk memenuhi kekurangan kewajiban penyetoran modal dasar pada perusahaan patungan, kemudian untuk memenuhi kewajiban perusahaan patungan akibat kenaikan atau pembengkakan biaya proyek (cost overrun). Bila terjadi kenaikan biaya, pemimpin konsorsium BUMN dapat mengajukan permohonan kepada Menteri BUMN untuk memperoleh dukungan dengan menyertakan kajian mengenai dampaknya terhadap studi kelayakan terakhir.
Presiden Joko Widodo bersama Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Erick Thohir, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, serta Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi meninjau pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Bekasi, Jawa Barat, 18 Mei 2021. presiden.go.id/BPMI Setpres/Lukas
Bentuk pembiayaan APBN yang kedua berupa penjaminan kewajiban pemimpin konsorsium BUMN. Penjaminan akan diberikan bila konsorsium membutuhkan pinjaman untuk menambah modal akibat pembengkakan biaya yang terjadi. Penjaminan baru akan diberikan jika dana dari PMN tidak mencukupi, sehingga Menteri Keuangan dapat menugaskan badan usaha penjaminan infrastruktur untuk mengelolanya. Adapun pemimpin konsorsium yang bisa menerima dana APBN adalah PT Kereta Api Indonesia.
PMN turut menjadi salah satu opsi pendanaan untuk menanggung pembengkakan biaya proyek kereta cepat yang diperkirakan mencapai US$ 1,9 miliar atau setara dengan Rp 27,17 triliun. Arya melanjutkan, nilai PMN yang dibutuhkan saat ini masih dalam proses kalkulasi bersama Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Proyeksi sementara, alokasi PMN yang dibutuhkan untuk menutupi kekurangan tersebut berkisar Rp 4,3 triliun.
Adapun rencana pemakaian APBN dalam proyek kereta cepat mengemuka pertama kali pada Agustus lalu, ketika PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) menghitung pembengkakan biaya yang tak bisa dipenuhi oleh empat BUMN anggota konsorsium. Sumber Tempo di pemerintahan menyebutkan sempat terjadi negosiasi dengan konsorsium Cina. Pemerintah meminta perusahaan Cina menjadi pengendali PT KCIC. Namun perundingan penyetoran modal tambahan itu berlangsung alot.
Opsi yang mengemuka dari Cina justru penawaran pengajuan pendanaan kredit baru kepada China Development Bank (CDB). Tempo mencoba meminta konfirmasi mengenai hal ini kepada KCIC. Namun KCIC belum dapat memberikan informasi lebih lanjut. “Mengenai kucuran dana dari CDB atau kebijakan pendanaan lainnya, investasi ataupun cost overrun, merupakan ranah pemerintah,” kata Sekretaris Perusahaan KCIC, Mirza Soraya.
Sementara itu, Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet Riyadi menyatakan bahwa KCIC akan mengikuti keputusan pemerintah mengenai penggunaan APBN untuk melaksanakan proyek kereta cepat. “Kami akan melaksanakan proyek kereta cepat mengikuti semua regulasi dan arahan pemegang saham,” ucapnya.
Dwiyana menjelaskan, saat ini pekerjaan konstruksi proyek kereta cepat telah mencapai 79 persen dan ditargetkan dapat beroperasi pada akhir 2022 atau awal 2023. “Prioritas percepatan kami untuk mengejar ketinggalan proses akibat dampak Covid-19,” kata dia. Di antaranya penyelesaian tiga dari total 13 terowongan yang direncanakan, penyelesaian pemasangan beton erection girder untuk konstruksi elevated track, penyelesaian pekerjaan subgrade di perbatasan Kabupaten Karawang dan Purwakarta, serta penyelesaian pekerjaan di Stasiun Halim, Karawang, dan Tegalluar. Berikutnya adalah penyelesaian sarana rolling stock di pabrik kereta China Railway Rolling Stock Corporation serta persiapan operasional dan perawatan.
CAESAR AKBAR | GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo