Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menggalang Kepedulian Lewat Jejaring Pesan

Rimawan menjalani rutinitas ganda, baik sebagai dosen, komisaris perusahaan, maupun aktivis gerakan kemanusiaan melawan pandemi.

14 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rimawan Pradiptyo tergugah menyaksikan kondisi tenaga kesehatan yang kesulitan memperoleh alat pelindung diri pada masa pandemi Coronavirus Disease 2019. Ia pun mendiskusikan hal itu via grup WhatsApp bersama koleganya dari berbagai kalangan, seperti dokter, epidemiolog, peneliti, dan ekonom. Mereka mencari solusi untuk mengatasi kekurangan alat pelindung diri itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari situ ia teringat tradisi di kampung halamannya, di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, yang masih mempertahankan sambatan, yaitu tradisi saling membantu antartetangga desa dalam mendirikan rumah. Lalu ia membuat grup WhatsApp yang diberi nama Sambatan Jogja (Sonjo) pada 24 Maret lalu. Ia memilih grup WhatsApp karena murah dan mudah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Semula hanya ada satu grup, yaitu Sonjo Headquarter," kata Rimawan, Senin lalu.

Grup ini menjadi sarana untuk membantu tenaga kesehatan dalam pemenuhan alat pelindung diri. Ketika ada keluhan yang muncul dalam grup, anggota di grup ini lantas menyampaikan informasi itu ke pengusaha pembuat alat pelindung diri. Kemudian anggota grup menghubungkannya lagi dengan rumah sakit yang membutuhkan alat pelindung diri.

Menurut Rimawan, dalam empat pekan pertama, dirinya berjibaku mengelompokkan persoalan yang muncul di grup. Setiap malam ia mengidentifikasi persoalan yang muncul, lalu menandainya dengan tiga warna berbeda, yaitu merah, hijau, dan biru. Merah menandakan masalah, hijau artinya sudah ada penyelesaian, dan biru berarti masalah sudah teratasi. "Yang berat di awalawal empat pekan pertama," katanya.

Lamakelamaan, jumlah grup WhatsApp Sonjo terus bertambah. Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis ini mengatakan grup Sonjo bertambah karena dampak pandemi bukan hanya kepada tenaga kesehatan, tapi juga ke berbagai kalangan, misalnya pengusaha kecil. Kini ada 10 grup WhatsApp Sonjo dengan total 700 anggota, seperti Sonjo Pangan, Inovasi, Legowo, dan Angkringan.

Sonjo Pangan berfokus mempertemukan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sonjo Inovasi menghimpun ahli dari fakultas kedokteran, farmasi, dan teknik. Sonjo Legowo berperan mengumpulkan lembagalembaga sosial untuk mengoptimalkan penyaluran bantuan kemanusiaan. Lalu Sonjo Angkringan berperan menggelar diskusi setiap akhir pekan dengan mendatangkan ahli. Mereka membahas aneka tema tentang pandemi.

Ana Dewi Lukita Sari, pengusaha alat pelindung diri yang bergabung dalam grup Sonjo Legowo, mengatakan ia banting setir dari membuka praktik dokter umum menjadi pengusaha pembuat alat pelindung diri. Ia memilih langkah itu karena tempat praktiknya sebagai dokter umum sepi dari pasien pada masa pandemi.

Ia mengatakan dirinya mengetahui Sonjo Legowo dari teman sekolahnya. Di grup itu ia aktif mengikuti diskusi daring dengan banyak narasumber. Ia pun terilhami mendirikan usaha pembuatan alat pelindung diri.  "Lewat grup WhatsApp, saya terbantu memahami proses perizinan edar usaha," kata Ana.

Rampung mengurus izin, ia merekrut buruh pabrik yang terkena pemutusan hubungan kerja. Ana mempekerjakan 15 orang. Mereka mampu menjahit 300 alat pelindung diri per hari. Lalu alat pelindung diri itu dikirim ke berbagai daerah, seperti Jakarta, Aceh, dan Papua. "Kini banyak pesanan alat pelindung diri," kata pengajar di Politeknik Kesehatan Bhakti Setya Indonesia Yogyakarta ini.

Rimawan mengatakan gerakan kemanusiaan yang digagasnya itu merupakan gerakan nol rupiah. Ia berujar bahwa Sonjo tak boleh mengelola duit yang masuk di rekening pribadi untuk menghindari penyalahgunaan. Ia meniru cara kerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjaga transparansi.

Sonjo bahkan melibatkan komite kepatuhan untuk mitigasi risiko potensi penyalahgunaan tanggung jawab, misinformasi, dan penyimpangan moral. Salah satu anggota komite kepatuhan itu adalah Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto.

Rimawan senang atas bertambah luasnya cakupan anggota Sonjo. Kini, ia tidak hanya sibuk mengajar dan menjadi komisaris PT Asuransi Jasa Indonesia, tapi juga harus berkonsentrasi mengelola Sonjo. Kesibukan lainnya, ia tetap aktif melakukan kajian antikorupsi bersama koleganya di kampus.


Tersohor Lewat Etalase Pasar Sonjo

Hanung Sudibyono mendapat cerita tentang Sambatan Jogja (Sonjo) dari seorang perajin tempe pada pengujung April lalu. Sonjo adalah grup WhatsApp yang menghimpun para pedagang yang terkena dampak pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid19). Sonjo dibuat oleh dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Rimawan Pradiptyo.

"Perajin tempe itu menyarankan agar saya bergabung dengan grup WhatsApp Sonjo," kata Hanung, dua hari lalu.

Informasi itu sangat berguna bagi Hanung. Penjual mi lethek, kuliner khas Yogyakarta, ini sangat terpukul ketika bencana kesehatan melanda Indonesia pada Maret lalu. Warung miliknya yang berada di depan pasar buah Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, merugi karena sepi dari pembeli akibat pandemi. Hampir tak ada pembeli yang datang ke warungnya selama dua pekan itu.

Hanung lantas bergabung dengan grup tersebut. Lalu ia mendaftar ke etalase pasar Sonjo yang menyediakan aplikasi pemasaran produk usaha mikro, kecil, dan menengah. Dengan aplikasi itu, konsumen bisa langsung menghubungi pengusaha yang terdaftar di situ. "Pak Rimawan memandu hingga saya menjadi terbantu," ucap Hanung.

Mulai saat itu, Hanung aktif berdiskusi di grup WhatsApp Sonjo tentang pemasaran. Ia mencari cara untuk bangkit agar usahanya bergeliat lagi. Dari Sonjo, Hanung mengenal teknologi untuk membuat mi lethek yang tahan lama sehingga mi bisa dikirim ke luar daerah. Caranya, mi yang sudah matang dibuat beku, lalu dikemas.

Metode ini membuat warung Hanung ramai pemesan. Konsumennya banyak dari luar Yogyakarta, seperti Denpasar, Bekasi, Tangerang, Jakarta, dan Pontianak. Satu orang per hari ratarata memesan 1520 porsi mi lethek matang beku. Omzet Hanung bisa mencapai Rp 3 juta per hari. Kini ia justru kewalahan melayani pesanan.

Menurut Hanung, dirinya terbantu karena bisa terhubung dengan banyak kalangan melalui grup WhatsApp. Ia mencontohkan, poster mi lethek yang dipasangnya di etalase Sonjo secara gratis diketahui banyak pembeli. "Kini, 50 persen omzet pulih," ujarnya.


4

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus