Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DISKUSI tiga tokoh komunis itu berlangsung alot. Hari itu, pada suatu siang Maret 1948, Paul de Groot, Musso, dan Soeripno bertemu di Praha, Cekoslovakia. De Groot merupakan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Belanda. Adapun dua nama terakhir tokoh komunis Indonesia.
Pertemuan itu dilakukan untuk merumuskan strategi baru gerakan komunis Indonesia. De Groot, dalam pertemuan itu, menghendaki Indonesia tetap menganut garis front rakyat yang lebih kooperatif. Adapun lawan diskusinya tak sependapat. Musso ingin komunis Indonesia memakai garis perjuangan radikal. Ia menolak gagasan rekannya dari Belanda itu, yang dinilai terlalu ”lembek”.
Diskusi juga melebar ke soal status hubungan Indonesia-Belanda. De Groot ingin hubungan dua negeri ini dalam kerangka persemakmuran, sedangkan Musso menginginkan kemerdekaan sepenuhnya. Jalan tengah akhirnya dicapai. Disepakati Belanda akan diberi keleluasaan di bidang ekonomi dan kebudayaan.
Pertemuan ini akhirnya merumuskan garis besar arah pergerakan kaum komunis Indonesia. Ditandatangani wakil Indonesia, Belanda, dan Cekoslovakia, dokumen itu lantas dikirim ke Moskow untuk mendapat persetujuan. Haluan baru inilah yang kemudian dibawa Musso dan Soeripno, yang saat itu menjabat Duta Besar RI di Cekoslovakia, ke Tanah Air pada Agustus 1948. Menurut Himawan Soetanto, mantan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata RI, dalam bukunya Rebut Kembali Madiun, haluan ini dipengaruhi ”garis Zhdanov”.
Musso menyempurnakan rumusan ini dalam perjalanan dari Praha ke Indonesia, yang memakan waktu seminggu. Rumusan itu ia sebut ”Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Jalan Baru inilah yang kelak mengubah politik komunis di Indonesia. ”Saya harap kawan-kawan di Indonesia akan mengerti dan bersedia mengikuti,” demikian tulis Musso seperti dikutip sejarawan Belanda, Harry Poeze, dari tulisan Soeripno.
Musso menyebut ”Jalan Baru” karena gagasannya itu berbeda dengan haluan komunis sebelumnya. Sejak 1935, komunis Indonesia, kata Himawan, menganut garis Dimitrov. Georgi Dimitrov adalah Sekretaris Jenderal Komunis Internasional. Dimitrov menganjurkan komunis bekerja sama dengan kaum liberal kapitalis demi menghadang ancaman fasisme dan Naziisme. Garis Dimitrov bersifat lunak dan kooperatif.
Komunis Indonesia pun kemudian menempuh garis lunak: berunding dan berkompromi dengan Belanda, yang pemerintahannya dikuasai partai kiri. Demikian pula saat menghadapi penjajahan Jepang yang fasis. Meski bergerak di bawah tanah, kaum komunis masih bekerja sama dengan Belanda.
Namun, setelah Amerika mulai membendung laju komunis Eropa lewat Marshall Plan, Uni Soviet mengubah kebijakannya: bergeser ke garis keras. Garis ini mengadopsi pemikiran Andrei Alexandrovich Zhdanov, petinggi Partai Komunis Soviet yang dekat dengan Joseph Stalin. Perubahan haluan ini dideklarasikan oleh Communist Information Bureau (Cominform) pada September 1947, dan tahun berikutnya disampaikan dalam Konferensi Pemuda se-Asia Tenggara di Calcutta, India.
Haluan ini menegaskan, dunia telah terbelah dalam dua blok: kapitalis imperialis yang dimotori Amerika Serikat dan blok anti-imperialisme yang dimotori Uni Soviet. Inti doktrin Zhdanov, menurut Soe Hok Gie dalam bukunya, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, kerja sama dengan kaum imperialis tidak perlu dilanjutkan dan partai-partai komunis harus mengambil garis keras. Musso dalam rumusan ”Jalan Baru untuk Republik Indonesia” menyatakan, ”Karena perjuangan Indonesia anti-imperialis, Indonesia satu garis dengan Rusia.”
Pulang ke Indonesia, Musso, yang saat itu memakai nama samaran Soeparto untuk mengelabui Belanda, menghubungi dua koleganya, Maroeto Daroesman dan Setiadjid, untuk bertukar pikiran. Saat itu dua tokoh komunis ini juga baru kembali dari Belanda bersama rombongan Menteri Kehakiman Mr Soewandi, yang baru berunding dengan Belanda.
Musso pertama kali menjabarkan gagasan Jalan Barunya pada pertemuan Politbiro, 13-14 Agustus 1948, di Yogyakarta. Dalam pertemuan itu, Musso mengkritik sejumlah kelemahan dan kesalahan perjalanan organisasi komunis di Indonesia setelah kepergiannya ke Moskow. ”Menurut Musso, revolusi di Indonesia bukan revolusi proletariat, melainkan revolusi borjuis, sehingga harus ada front yang dipimpin orang-orang proletariat,” ujar Hersri Setiawan, penulis Negara Madiun: Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan.
Melalui surat kabar, Musso juga mengkritik keras kesalahan-kesalahan mendasar revolusi nasional yang digelorakan Sukarno. Ia mempersoalkan antara lain tidak adanya wakil kelas buruh dalam pemerintah, sehingga pemerintah tidak bisa menjalankan politik revolusioner. Demikian juga kekuatan bersenjata. Menurut dia, angkatan bersenjata seharusnya adalah tentara rakyat yang benar-benar dibangun dari dan untuk rakyat.
Menakhodai strategi Jalan Baru, langkah pertama yang dilakukan Musso adalah mengambil alih pimpinan Front Demokrasi Rakyat dan melebur Partai Komunis, Partai Buruh, dan Partai Sosialis serta Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) menjadi partai tunggal, Partai Komunis Indonesia. Semua pemimpin organisasi tersebut oleh Musso diminta bersumpah menentang politik pemerintah.
Sesuai dengan doktrin organisasi, Musso meminta para pemimpin organisasi melakukan otokritik. Salah satu buah otokritik itu, belakangan, adalah terungkapnya pengakuan Amir Sjarifoeddin yang menerima 25 ribu gulden dari Van der Plas, petinggi Belanda yang juga Gubernur Jawa Timur di era Republik Indonesia Serikat. Musso juga mengkritik tindakan Amir yang membubarkan kabinetnya. Menurut Musso, melepaskan sebuah kekuasaan yang telah berada di tangan merupakan kesalahan besar.
Kebijakan komunis yang juga dipersalahkan Musso adalah perkembangan partai komunis ilegal yang dibentuknya pada 1935 untuk melawan fasisme Jepang. Setelah Proklamasi, di mata Musso, partai ini tidak segera mengubah diri mengikuti perkembangan politik yang terjadi.
Menurut Musso, adanya tiga partai yang sama-sama berorientasi pada buruh, yakni ”PKI legal”, Partai Buruh Indonesia (PBI), serta Partai Sosialis yang dikendalikan oleh PKI ilegal, dan sama-sama berdasarkan Leninisme dan Marxisme, telah membuat keruwetan organisasi. Ini justru menghalangi perkembangan organisasi kelas buruh. Lantaran banyak kelemahan itulah Politbiro memutuskan melakukan perubahan radikal. Tujuannya: mengembalikan secepatnya PKI sebagai pelopor kelas buruh.
Seakan untuk memamerkan pengaruhnya, pada 22 Agustus 1948 di Yogyakarta, Musso menggelar rapat raksasa. Dalam rapat yang dihadiri sekitar 50 ribu orang itu, dia meneriakkan pentingnya mengganti kabinet presidensial menjadi kabinet front nasional. Musso juga menyerukan perlunya menggalang kerja sama internasional untuk meratifikasi hubungan diplomatik secepat mungkin, terutama dengan Uni Soviet. Hubungan dengan negara itu, menurut dia, bisa mematahkan blokade Belanda.
Untuk menyebarkan gagasan revolusi Jalan Barunya, bersama pimpinan PKI, pada September 1948, Musso melakukan safari ke sejumlah daerah, antara lain Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo.
Di tengah safarinya itulah, pada 18 September, meletus peristiwa Madiun yang kemudian dikenal sebagai Madiun Affair. Dipimpin Soemarsono, pasukan Brigade 29, yang didominasi Pesindo, melakukan aksi sepihak. Mereka melucuti pasukan Brimob dan menyerang pasukan Divisi Siliwangi. Setelah menguasai Madiun, mereka mendeklarasikan pemerintahan Front Nasional sesuai dengan anjuran ”Jalan Baru untuk Republik Indonesia” Musso.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo