Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Menjaga Hutan dengan Hukum Adat

Penerapan hukum adat diyakini menjadi solusi untuk menjaga hutan di Kabupaten Pidie. Rusaknya wana bisa jadi bencana ekologi.

17 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIBA di perbatasan kebun masyarakat dan hutan, Muhammad Nasir bergegas turun dari sepeda motor. Ia menunjuk sebuah pohon kedondong, penanda batas wilayah antara kebun dan wana di Gampong Jurong Anoe Paloh, Mukim Paloh, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, Aceh. Wilayah ini mendapat sebutan moen dara baroe, yang berarti sumur mempelai perempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nasir adalah Imum Mukim Paloh. Karena itu, ia cukup paham kondisi alam wilayah masyarakat adat Mukim Paloh, termasuk hutan adat di sana. Tegakan pohon di hutan tersebut terus berkurang akibat maraknya praktik penebangan liar. “Kami tidak bisa melarang, paling melaporkan ke penegak hukum,” kata Nasir, 10 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Aceh, mukim menjadi satuan pemerintahan di bawah kecamatan yang membawahkan beberapa gampong (desa). Mukim dipimpin oleh seorang imum mukim yang salah satu tugasnya adalah mengelola dan mengawasi hutan serta gunung di wilayah adat. Sedangkan gampong—satuan pemerintahan terendah—dipimpin oleh keuchik. Sistem pemerintahan ini dipertahankan sejak abad ke-15 pada masa Kesultanan Aceh hingga sekarang.

Nasir menjadi imum mukim sejak 2019. Tiga tahun sebelum ia menduduki posisi itu, penduduk Mukim Paloh telah meminta pemerintah daerah untuk menetapkan status hutan adat di wilayah mereka. Atas permintaan itu, terbitlah Surat Keputusan (SK) Bupati tentang Penetapan Wilayah Mukim Paloh seluas 2.921 hektare. Surat keputusan ini kemudian digunakan untuk melengkapi dokumen permohonan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun hingga hari ini permohonan itu tak kunjung mendapat tanggapan.

Muhammad Nasir. Tempo/Ima Dini Shafira

Padahal, kata Nasir, penetapan dari KLHK sangat penting untuk menjaga eksistensi hutan adat di Mukim Paloh. Penetapan itu juga memberikan legitimasi kepada imum mukim untuk memberikan sanksi adat bagi pembalak liar. “Kami juga bisa melestarikan dan mengembalikan fungsi hutan karena itu sumber penghidupan masyarakat,” kata Nasir.

Dalam menjalankan tugas, imum mukim dibantu oleh sejumlah perangkat adat. Perangkat adat yang secara khusus menangani pengelolaan dan pelestarian hutan adalah pawang glee. Di Mukim Paloh, pawang glee dijabat oleh Ridwan Hamid, lebih dari 15 tahun terakhir.

Sebagai pawang glee, Ridwan hafal betul seluk-beluk hutan di Mukim Paloh. Penduduk yang hendak membuka ladang di hutan harus melapor kepadanya. Ia juga mengetahui lokasi yang mengharuskan masyarakat lebih waspada karena ada pantangan tertentu. “Ada kata-kata yang tidak boleh diucapkan di hutan,” kata dia. “Nanti bisa dilanda kesialan.”

Ridwan menjelaskan, dalam aturan adat, terdapat istilah tanam-potong. Masyarakat yang menebang satu pohon, wajib menggantinya dengan menanam lima pohon baru. “Masyarakat juga tidak boleh menebang di area dekat sungai,” kata dia.

Pembalakan liar bukan satu-satunya masalah di Mukim Paloh. Masyarakat saat ini masih berpolemik dengan PT Acehnusa Indrapuri (ANI), pemilik lahan konsesi hutan tanaman industri (HTI). Dari 7.182 hektare luas wilayah Mukim Paloh, sebanyak 6.230 hektare di antaranya diklaim berada di lahan konsesi HTI.

Zakaria Madan, warga Mukim Paloh, bercerita, dia tengah menggarap lahan seluas 3 hektare. Lahan itu ditanami pinang, cokelat, dan durian. Saat mengajukan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada 2019, ia baru mengetahui bahwa lahan yang digarapnya ternyata berada di lahan konsesi HTI. “Ternyata sudah diklaim PT ANI semua,” kata dia. Namun ia tidak memiliki pilihan karena kehidupan keluarganya bergantung pada lahan itu. “Terpaksa, dari dulu kami berkebun di situ.”

Mukim Paloh bersama Mukim Kunyet dan Mukim Beungga menjadi mukim pelopor di Aceh yang mengajukan penetapan kawasan hutan adat kepada KLHK pada 2016. Namun, karena lahan yang dimohonkan beririsan dengan lahan konsesi HTI, pada 2018 KLHK meminta peta usulan hutan adat diubah. Kini ketiga mukim tersebut masih menunggu diterbitkannya SK Bupati dengan usulan hutan adat yang baru.

Mukim Beungga, Kunyet, dan Paloh diapit serta dilintasi oleh Sungai Krueng Baro dan Sungai Krueng Batee. Dua sungai itu berhulu di Ulu Masen yang memiliki bentang alam seluas 1,39 juta hektare. Ulu Masen masuk dalam empat wilayah di Provinsi Aceh, yaitu Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Pidie.

Warga Mukim Kunyet menjemur asam dari kebun. Tempo/Ima Dini Shafira

Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Nasir Buloh, mengatakan perambahan hutan di kawasan Mukim Beungga, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, mengakibatkan bencana ekologi banjir. Bencana ini terjadi akibat hutan di kawasan hulu telah gundul.

Nasir Buloh menjelaskan, masyarakat sekitar kerap membuka kawasan hutan di hulu sungai sebagai area perkebunan. Padahal kawasan tersebut merupakan daerah resapan air. “Wilayah resapan jadi rusak. Begitu ada hujan dengan intensitas tinggi, terjadi banjir,” kata dia.

Menurut Nasir Buloh, penetapan hutan adat sebenarnya dapat membantu masalah ekologi yang saat ini melanda hutan di Kabupaten Pidie. Sebab, masyarakat cenderung patuh jika menggunakan pendekatan adat. Bahkan, di sebagian daerah, penerapan sanksi adat dalam menjaga lingkungan terbukti lebih efektif. “Misalnya, dilarang menebang pohon di bantaran sungai dan meracuni ikan,” kata dia.

Nasir Buloh yakin masyarakat mampu mengelola hutan adatnya sendiri. Namun ia menyayangkan pemerintah yang seakan-akan tidak ikhlas memberikan izin mengelola kawasan hutan adat. “Buktinya, di Aceh belum ada wilayah yang mendapatkan izin hutan adat hingga saat ini,” katanya.

Masyarakat Adat Pidie

Mukim Beungga, Kunyet, dan Paloh telah menerbitkan Qanun Mukim pada 2014 tentang pengelolaan hutan adat mukim. Aturan tersebut memuat ketentuan untuk masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam hutan adat. Di antaranya, larangan untuk menebang kayu dengan diameter di bawah 50 sentimeter, menebang pohon tualang dan ara, serta menebang kayu ataupun membuka ladang di dekat sumber air.

Qanun Mukim juga mengatur sanksi adat bagi masyarakat yang melanggar aturan. Kayu yang ditebang akan disita oleh imum mukim dan pelanggar dikenai sanksi denda. Jika pelanggar menggunakan alat ataupun mesin, peralatan tersebut harus diserahkan kepada imum mukim. Rencananya, Qanun Mukim ini diterapkan setelah ketiga mukim di Kabupaten Pidie mendapatkan SK hutan adat dari pemerintah.

Koordinator Pemberdayaan Masyarakat dan Penyuluhan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, Asrul, mengatakan SK hutan adat bagi masyarakat adat Aceh merupakan sebuah kebutuhan. Ia turut khawatir akan maraknya penebangan liar yang berakibat pada bencana di Aceh.

Menurut Asrul, keberlanjutan ekologi di Aceh bergantung pada hutan dan tegakan pohon. “Kalau tegakan hutan bagus, hasil pertanian juga bagus,” kata dia saat ditemui di kantornya, Jumat, 12 Agustus lalu. Ia menceritakan kejadian banjir di Aceh yang mengakibatkan gagal panen. “Makanya kami berharap sumber air bisa dipertahankan dengan menjaga hutan.”

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus