Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Menjawab dengan Terobosan

4 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada masalah baru di Jakarta. Macet, banjir, polusi, angkutan umum tak tertata, ruang terbuka hijau sempit, fasilitas publik minim, sampah tak efektif terkelola, dan lain-lain. Perbaikan yang dilakukan pemerintah juga tak berjalan baik. Bahkan petunjuk pengembangan kota, Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2010-2030, masih berupa draf yang belum disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hingga akhir Juni lalu.

Untungnya, masih cukup banyak inisiatif publik untuk hidup berkota lebih baik. Beberapa di antaranya bisa diadopsi menjadi kebijakan pemerintah. Kalaupun ada yang ”baru” pada ulang tahun ke-484 ini, itu adalah hasil dari terobosan mengatasi persoalan dan inisiatif warga untuk perbaikan kota.

”Kapan, ya, Jakarta enggak macet?” tulis Suci di spanduk yang mengelilingi air mancur Bundaran Hotel Indonesia. Macet dan banjir adalah dua masalah yang paling banyak dikeluhkan warga Ibu Kota dalam acara Usul Begini Usul Begitu alias Ubeg Ubeg Jakarta, Ahad dua pekan lalu. Acara yang menampung aspirasi publik ini merupakan salah satu kegiatan dalam peringatan hari ulang tahun Jakarta ke-484 pada 22 Juni lalu.

Niscaya sangat banyak warga yang punya keluhan seperti Suci. Namun hanya segelintir yang berusaha mencari terobosan, mencari solusi yang efektif. Itulah yang dilakukan Hendry Soelistyo, yang membuat situs pemberi informasi jalan di Jakarta, LewatMana.com.

Situs ini bermula dari kekesalan Hendry yang saban hari terjebak di jalan pulang selama dua jam dari kantornya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, ke Puri Kembangan, Jakarta Barat. Padahal, kalau lancar, dalam 40 menit ia sudah sampai ke rumahnya.

Fasilitas yang bekerja sejak pertengahan 2009 itu ternyata bermanfaat. Dua pekan lalu, Hendry menambah kamera CCTV di Gedung SCTV di Senayan, Jakarta Selatan, dan dua kamera di Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan. Satu mengarah ke Menteng, yang lain menyorot ke arah Setiabudi. ”Kamera-kamera itu akan jadi mata kami memantau kemacetan di daerah itu,” kata Hendry, Rabu pekan lalu.

Penambahan kamera itu membuat situs pemantau kemacetan dan berbagi informasi lalu lintas yang diluncurkan sarjana komputer lulusan University of Manitoba, Kanada, ini memiliki 66 kamera di Jakarta. Awalnya, ­LewatMa­na.com cuma punya 25 unit kamera.

Jakarta, yang tahun ini berusia 484, seperti kata majalah Time, adalah kota terbaik tempat melatih kesabaran. Lebih dari 8 juta sepeda motor dan sekitar 2 juta mobil tumplek bleg di Ibu Kota. Jutaan kendaraan bermotor itu, menurut catatan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, pada jam sibuk hanya bisa melaju 8 kilometer per jam. Padahal laju kendaraan ideal di kota besar minimal 20 kilometer per jam.

Hendry meyakini kemacetan yang semakin parah itu salah satunya akibat minimnya informasi. Pengendara pasti mencari jalur alternatif jika tahu jalan yang akan dilewatinya macet. Bersama beberapa kawan ia membuat situs pemantau kepadatan lalu lintas lewat CCTV.

Setelah menghitung, mereka memerlukan 200 kamera buat memantau semua titik macet. Tapi duit hasil urunan itu cuma cukup untuk membeli 25 kamera, yang per buahnya Rp 2,2 juta. Kamera ditaruh di titik kemacetan Jakarta, seperti Jalan Gatot Subroto, simpang Pancoran, Kemayoran, dan jalan tol Kebon Jeruk. Untuk menghemat jalur koneksi, video streaming diganti jepretan kondisi jalan setiap 30 detik.

Tapi mencari gedung yang mau ditumpangi kamera secara cuma-cuma tidak mudah. Hendry harus pantang menyerah meyakinkan pemilik gedung agar bersedia dititipi kamera. Dia juga berlaga untuk mencari dana buat membeli tambahan kamera.

Selain mengandalkan kamera, situs Hendry menerima informasi kemacetan lewat pesan pendek dan Twitter. Terobosan memantau kemacetan berbasis jaringan sosial itulah yang membuat LewatMana.com menerima Netexplorateur Award di Paris, Februari lalu, untuk kategori mass social impact.

Menurut dia, situs pemantau macet bukan barang baru di dunia, tapi situsnya adalah yang pertama dibuat publik. Di banyak negara, kamera pemantau lalu lintas biasanya dipasang pemerintah atau kepolisian, yang informasinya bisa diakses masyarakat. Ia berharap kamera milik dinas perhubungan dan kepolisian juga bisa diakses publik.

Meski sistemnya bisa dengan mudah ditiru, Hendry tak berharap pemerintah membuat sistem yang sama. Menurut dia, tugas pemerintah adalah membangun infrastruktur jalan dan mass rapid transport yang nyaman buat mengatasi macet. ”Cara kami ini hanya solusi sementara,” ujar Hendry.

Buat Hendry, target LewatMana.com sederhana saja. Berbekal informasi yang disebarkan situsnya, ia ingin waktu tempuh terpangkas minimal lima menit. ”Kalau dikalikan jumlah kendaraan di Jakarta, lima menit bisa menghemat banyak bahan bakar dan mengurangi emisi karbon,” ujarnya.

Kendaraan bermotor memang penyumbang emisi karbon terbesar di Jakarta. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Jakarta mencatat pada 2005 emisi karbon kendaraan mencapai 19,61 juta ton karbon dioksida per tahun dari total emisi Ibu Kota yang 40 juta ton karbon dioksida per tahun. Badan ini memprediksi, pada 2030, emisi karbon bakal meroket hingga 200 juta ton karbon dioksida.

Selain kendaraan, gedung perkantoran dan pusat belanja menyumbang emisi yang menaikkan suhu kota. Menurut Direktur Eksekutif Green Building Council Indonesia Muhamad Azhar, penelitian di berbagai kota besar dunia menunjukkan gedung perkantoran dan pusat belanja menyumbang 40 persen emisi karbon. ”Bangunan ramah lingkungan akan sangat membantu memulihkan lingkungan kota,” kata Azhar.

Green Building Indonesia, yang berafiliasi dengan Green Building Council di Kanada, memberikan sertifikasi gedung ramah lingkungan dengan peringkat platinum, emas, perak, dan perunggu. Penilaian dimulai dari gambar rancangan gedung hingga proses pembangunan.

Nantinya, lembaga ini juga akan mensertifikasi bangunan yang sudah jadi, rumah, serta desain interior. Bangunan itu akan dinilai dari kemampuan menampung air hujan untuk digunakan kembali serta mengurangi limpasan ke selokan. Bahan bangunan, sistem penghematan energi dan air, pengelolaan sampah, hingga jenis pepohonan juga dinilai.

Penilaian lain adalah pada kualitas udara di dalam ruangan. Auditor dari Green Building Council akan memastikan bangunan memakai cat berbahan dasar air yang tak beracun serta mengecek ada tidaknya bahan yang membahayakan kesehatan. ”Jika ada tanam­an plastik yang jadi sarang debu, poin penilaian akan berkurang,” kata Ketua Green Building Naning Adiningsih Adiwoso.

Dari sekitar 700 gedung tinggi di Jakarta, baru 50 gedung yang minta disertifikasi. Itu pun rata-rata gedung yang sedang dibangun, seperti gedung Kementerian Pekerjaan Umum di bilangan Blok M dan gedung Balai Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Satu-satunya bangunan yang sudah jadi dan akan segera diberi sertifikat peringkat gold adalah kantor Kedutaan Besar Austria di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Bangunan karya arsitek Austria, Fritz Oettl, ini memakai panel surya sebagai alternatif sumber energi, punya sumur resapan di sekeliling bangunan, dan memiliki jajaran pohon bambu di luar ruangan buat menyerap gas karbon dioksida. Target yang paling ambisius, gedung ini tidak akan menggunakan alat penyejuk udara.

Green Building Council Indonesia baru berusia tiga tahun. Namun dewan ini sudah memiliki perangkat yang jelas untuk perbaikan lingkungan kota. Kini kegiatan mereka lebih berfokus pada sosialisasi, seperti melatih greenship professional kepada arsitek, desainer interior, dan kontraktor. Naning berharap lewat kursus itu akan lebih banyak perancang bangunan yang peduli lingkungan.

Dewan juga mendekati produsen bahan bangunan agar membuat material ramah lingkungan. ”Kami harus menyiapkan pasar terlebih dulu,” kata Naning. ”Percuma meminta perusahaan memakai bahan ramah lingkungan tapi tak ada produsen yang menjualnya.”

Kabar baiknya, standar Green Building Council diambil oleh pemerintah DKI Jakarta buat menyusun peraturan gubernur tentang pendirian dan pengelolaan bangunan. ”Memang tidak semua kriteria diadopsi, tapi paling tidak ada arah kepedulian pada lingkungan,” kata Muhamad Azhar.

Sementara Green Building berfokus pada desain dan fisik bangunan, Jakarta Green Office menilai perilaku pengguna gedungnya. Kompetisinya dilakukan sejak 2008, dan diikuti kampus, bank, hingga kantor pemerintah. Yang dinilai adalah soal penghematan energi, air, kertas, serta pengelolaan sampah.

The Body Shop Indonesia, yang pernah menjadi juara, misalnya, memajang poster kampanye lingkungan dari pintu masuk. Mereka mengoptimalkan ruang dengan menanam tanaman merambat di dinding, pagar, dan pepohonan pada tanah tersisa. Tempat sampah juga terorganisasi dengan baik untuk sampah plastik, kertas, botol atau kaleng, dan makanan. Sampah makanan dijadikan kompos, kertas dan botol didaur ulang untuk digunakan kembali. Hanya sampah plastik yang diambil dinas kebersihan.

Tak puas dengan kompetisi yang penilaiannya hanya selama tiga bulan, salah satu pemrakarsa kantor hijau, Word Wildlife Fund (WWF) Indonesia, beralih ke sertifikasi WWF Green Office. ”Sertifikasi ini diberikan setelah pemantauan selama setahun dan seterusnya diaudit tahunan,” kata Corporate Engagement Officer WWF Indonesia Paramita Mentari.

Tahun ini WWF menjalankan proyek percontohan sertifikasi tersebut bersama perusahaan energi asal Finlandia yang berkantor di Jakarta. Sebetulnya banyak yang mendaftar, tapi akhirnya menunda karena beratnya persyaratan.

Kriteria penilaian tak terlalu jauh berbeda dengan kompetisi Jakarta ­Green Office, tapi dalam sertifikasi ini harus ada program lingkungan jangka panjang. Misalnya, dalam penghematan listrik, perusahaan harus perlahan beralih ke energi terbarukan seperti memasang panel surya. Selain itu, peserta harus membeli produk perkantoran ramah lingkungan serta berupaya mengurangi emisi karbon dari transportasi produk atau karyawannya.

Tak hanya di tempat belajar dan bekerja, terobosan lain memperbaiki kehidupan kota dilakukan untuk membangun permukiman ramah lingkungan. Kampung Hijau Mampang di Jakarta Selatan sejak 2007 sudah menghijaukan lingkungan ditambah menyulap sampah dapur menjadi kompos, dan sampah anorganik dijadikan rupa-rupa produk kerajinan. Upaya yang sama dilakoni warga di Pegangsaan, Jakarta Pusat. Selain menghijaukan gang, mereka membuat kompos dan apotek hidup.

Kampung hijau tersebut sesekali dikunjungi Tur Hijau yang diadakan komunitas Peta Hijau. Organisasi ini memetakan lokasi hijau, tempat contoh kehidupan ramah lingkungan, dan tempat kegiatan sosial budaya. ”Kami ingin warga Jakarta bisa mengenali seberapa baik dan seberapa buruk lingkungannya,” kata koordinator Peta Hijau, Nirwono Yoga.

Peta Hijau yang diciptakan Wendy Brawer setelah tersesat di Yogyakarta ini dibawa ke Jakarta oleh arsitek Marco Kusumawijaya sebelas tahun silam. Sejak awal, kata Yoga, Peta Hijau memang diniatkan buat pendidikan lingkungan warga Ibu Kota.

Dimulai dengan peta hijau daerah Kemang dan Menteng, kegiatan meluas ke pemetaan situ setelah jebolnya Situ Gintung. Saat pemerintah Jakarta merayakan ulang tahun dengan meluncurkan Jakarta Great Sale, komunitas Peta Hijau justru meluncurkan peta keanekaragaman hayati Ibu Kota. Segera menyusul, peta genangan air jika Jakarta terguyur hujan deras, serta jalur-jalur alternatif untuk menghindarinya.

Greenmap Indonesia juga mensosialisasi peta ini ke sekolah menengah atas lewat kompetisi membuat peta hijau daerah sekitar sekolahnya. ”Di Jepang peta seperti ini dibuat oleh siswa taman kanak-kanak bersama gurunya,” kata Yoga.

Yoga berharap setiap masyarakat di tiap wilayah Jakarta membuat peta hijau daerahnya yang nantinya jika disatukan bakal jadi peta besar yang menggambarkan kondisi Jakarta yang sesungguhnya. Yang bikin Yoga bungah, peta yang sistemnya baku dan mendunia itu mulai dibuat secara mandiri oleh warga Pondok Indah, disusul Bintaro dan Kelapa Gading.

Melihat itu, Yoga optimistis masih ada harapan buat menyelamatkan Jakarta. Menurut dia, pemerintah bisa membuat kebijakan untuk membantu terobosan yang dilakukan warga itu lebih bermanfaat. ”Jangan warga terus-terusan disuruh menyelamatkan diri sendiri.”

Oktamandjaya Wiguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus