Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekerjaan mereka beragam: dari bidan, petugas kesehatan, sukarelawan, hingga pencari tuk. Tapi kecintaan pada sesama, dedikasi kerja, menjadikan mereka "mercu suara" perempuan Indonesia. Di pelosok negeri, jauh dari perhatian pers dan pemerintah mereka mengabdi. Inilah sepenggal potretnya.
A. RabiahSuster Ombak
Ombak setinggi tiga meter menggulung kapal Pelita Jaya. Buritan pecah, memuntahkan isi kapal ke samudra, termasuk 14 orang penumpangnya. Tiga jam mereka bergelantungan pada pecahan kapal, dipermainkan gelombang, sebelum akhirnya terdampar di bongkah karang selapangan bulu tangkis. Sepekan mereka terdampar.
Waktu itu, 1979, atau setahun setelah Rabiah ditugaskan sebagai perawat di Kepulauan Sapuka, 320 kilometer dari Makassar. Untungnya masih ada lima kilo beras, dua jeriken air tawar, dan ratusan penyu terselamatkan. Rabiah- saat itu 19 tahun, bersama rekan-rekan senasib, makan daging penyu. Ia juga mengirim pesan seraya mengguratkan kata "karam" pada punggung seekor penyu yang dihanyutkan ke laut. Nelayan Pulau Satanger yang berlokasi dekat membaca pesan itu dan datang menjemput. "Untung yang menemukan penyu itu bisa baca," kata Rabiah saat bertandang ke Tempo, akhir November.
Rabiah kini kepala puskesmas di Pulau Sapuka yang bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat di 25 pulau dan 29 desa. Separuh usianya telah ia lewatkan sebagai perawat di Kepulauan Pangkep, Sulawesi Selatan. Peristiwa mengerikan di atas tak terjadi lagi, tapi perjalanan Sapuka-Makassar dengan kapal mesin masih makan waktu 24 jam. Jika gelombang mengamuk, waktu tempuh bisa berlipat-lipat.
Wilayah tanggung jawab Rabiah cukup luas: terserak hingga perbatasan Bali, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sebut saja, misalnya, Pulau Kapoposang Bali yang berbatasan dengan Pulau Bali atau Kepulauan Tenga yang berhimpitan dengan Pulau Lombok. "Butuh 60 hari buat keliling pulau," ungkap ibu beranak empat ini.
Antara Rabiah dan pulau-pulau itu seakan sudah terjadi ikatan. Ia menolak ketika pada 1990-an ditawari untuk pindah tugas ke ibu kota Kabupaten Pangkep, Pangkajene. Suaminya meninggal dan keluarganya yakin bahwa kematian mendadak itu akibat guna-guna orang pulau. Tapi Rabiah tak juga berubah. "Saya sudah jatuh cinta," katanya.
Ia melihat banyak penduduk meninggal dalam persalinan atau diare. Ia tak bisa berpaling. Dari sinilah Rabiah dikenal sebagai perawat yang tak pernah menolak panggilan untuk membantu persalinan. Pernah di tengah malam, ia menerima panggilan tugas persalinan. Lokasinya empat jam perjalanan naik kapal. Ketika itu suami pasien menjemputnya dengan kapal kecil.
Di tengah perjalanan badai mengamuk. Kapal terbanting-banting, terseret gelombang, dan tersesat. Siang hari, barulah mereka sampai di rumah pasien. Dia kaget mendapati penduduk sedang berdoa dan menangis, padahal si ibu sudah melahirkan bayinya, selamat. Keduanya segar bugar. "Ternyata yang ditangisi adalah saya karena mereka tahu kapal kecil itu tak akan sanggup menembus badai," kenang Rabiah.
Sejauh ini, Rabiah bergerak dengan dana pemerintah. Setahun, puskesmas mendapat dana Rp 25 juta, termasuk untuk membeli obat, peralatan, hingga minyak kapal. Jauh dari cukup. "Untung banyak masyarakat yang membantu," katanya. Saat ini, di Kepulauan Sapuka terdapat delapan petugas kesehatan, empat di antaranya bidan pegawai tidak tetap. Tak memadai untuk menangani sekitar 12 ribu jiwa di seluruh kawasan.
Rabiah, 49 tahun-suaranya kuat, gerak tangannya ekspresif, mimiknya dramatis. Ia hanya menyampaikan pengalamannya, ketidakberdayaannya menghadapi alam, usahanya yang seperti ombak: selalu bergerak dan bergolak.
Ewinur Chairati dan Dining DeviYang Muda dan Berjalan Jauh
Langkahnya berkejaran. Sepotong pipa air sepanjang tiga meter di pundaknya. Sebentar lagi matahari tenggelam, ia dan kawan-kawannya harus cepat-cepat sampai di Desa Sifalate, Gunungsitoli, Nias. Ya, mereka telah menemukan sesuatu yang luar biasa: sumber air di pinggir desa itu.
Ewinur Chairati Machdar Basar, 28 tahun, adalah satu-satunya perempuan dalam rombongan. Telah sepekan, Ewi-begitu ia dipanggil-sibuk mencari sumber mata air. Ia telah berjalan berkilo-kilometer, mendaki bukit, menyusuri tebing, di bawah terik matahari dan gelap malam. Kali itu, mereka beruntung.
Sejak Mei 2006, Ewi bekerja di Nias. Unicef menugaskannya sebagai Assistant Project Officer untuk proyek-proyek air, lingkungan, dan sanitasi. Tugas utamanya adalah mencari sumber mata air, membangun sanitasi, mengelola kesehatan lingkungan. "Yang paling sulit mencari sumber mata air yang layak minum," kata Ewi. Biasanya, setelah menemukan tuk, mata air, Ewi dan tim melengkapinya dengan peralatan instalasi air bersih. Agar cepat tersalur ke rumah atau lokasi penampungan, peralatan ini selalu diboyong-boyong.
Lima tahun silam, Ewi lulus Fakultas Teknik Lingkungan Universitas Trisakti, Jakarta. Pengalaman pascasarjananya: ia bergerak dari satu daerah konflik ke daerah konflik lain. Di Sambas, Kalimantan Barat, ia menggulung lengan baju, membantu pengungsi perang etnis selama 2,5 tahun. Untuk mencapai lokasi tugasnya, ia harus berjam-jam menyisir sungai, naik perahu motor. Sebelum mencapai tenda pengungsi, ia masih harus jalan kaki tiga jam.
Ruang geraknya semakin luas. Saat tsunami menggulung Aceh, ia terbang ke pusat bencana. Sejak itu, pantai-pantai barat Aceh menjadi lapangan kerjanya. "Saya sempat bertemu dengan anggota GAM bersenjata," kata perempuan kelahiran Jakarta 10 Mei 1978 ini. Setelah itu, Nias menjadi lokasi anyarnya.
Ada Ewi, ada juga Dining Devi yang menemukan cintanya jauh di pedalaman hutan. Pesisir Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya, dan semua kawasan terpencil yang menyimpan kenangan buruk tsunami telah ia sambangi. Lulusan Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini berjalan kaki puluhan kilometer untuk mencapai barak-barak pengungsi. Pengelolaan air bersih dan pembangunan sanitasi buat para pengungsi memang menjadi tanggung jawabnya.
Sebagai koordinator untuk proyek-proyek air, lingkungan, dan sanitas Unicef, Dining, 30 tahun, bekerja tanpa jam dan lokasi kerja yang ajek. Tapi seluruh peluh akan menguap jika air bersih berhasil mengucur ke barak-barak pengungsi. "Ini kenikmatan sendiri," kata penyuka olahraga menyelam ini.
Sebenarnya setelah lulus kuliah, Dining diterima di sebuah perusahaan kontraktor di Bekasi, tapi ia merasa tak pas. Ia pindah ke sebuah LSM yang mengurusi pengungsi. Di Medicine Frontier ia bekerja selama setahun. Kemudian ia bekerja di Palang Merah Internasional. Dari sinilah ia mulai menjejaki daerah-daerah konflik di Indonesia.
Ewi dan Dining mengakui, kesulitan terbesar menjalankan pekerjaan ini bukan lantaran medan yang berat, melainkan penolakan dari semua anggota keluarga yang sinis melihat pekerjaan yang mereka geluti. Namun, keduanya tak peduli. Larangan malah membulatkan tekad untuk segera terbang ke pedalaman. Bahkan kini mereka merasa nyaman di tanah yang jauh dari gemerlap kota.
Adeleda SebaKisah Ibu Suku
Ia bercerita tentang Lolantang pada 1982. Sebuah desa dengan catatan suram: satu dari lima ibu yang melahirkan meninggal. Juga, dengan angka kematian bayi yang mencapai separuh angka kelahiran.
Ia, Adeleda Seba, seorang bidan di Lolantang, Kecamatan Bulagi Selatan, Banggai Kepulauan (Bangkep), Sulawesi Tengah. Kawasan di pelosok yang dijuluki "tembak pinggir angin", yang artinya: saking jauhnya, peluru yang ditembakkan pun tak kan sanggup menjangkaunya.
Perjalanan Palu-Lolantang membutuhkan waktu sehari lebih. Delapan belas jam dihabiskan untuk menempuh Palu-Luwuk, kota yang jaraknya 800 kilometer dari Palu. Dua belas jam, bahkan 18 jam jika gelombang tinggi, untuk mencapai Pulau Banggai. Dari sana, masih ada 100 kilometer lagi yang mesti ditempuh; jalan panjang dan buruk, dengan batu kapur dikeraskan. Debu putih kapur berhambur saat kendaraan lewat.
Tapi bukan itu bagian tersulit. Di Banggai, hampir semua suku-Bajo (manusia perahu), Osan, Lemelu, Kokondang, dan Anak Negeri-tunduk pada dukun. Mereka percaya persalinan bukan semata-mata menyelamatkan ibu dan anak, tapi membebaskan keduanya dari bekapan roh jahat. Dan Sus Adel-demikian orang memanggilnya-memilih kerja sama ketimbang konflik. "Saya mengambil hati dukun dengan memberi obat suplemen," ujarnya, terkekeh.
Dari situ, Sus Adel, kini 53 tahun, leluasa membantu persalinan. Namanya jadi mencorong pada 1989 setelah ia berhasil membantu persalinan bayi kembar empat dengan peralatan seadanya. Persalinan berlangsung delapan jam di rumah pasien yang disesaki penduduk yang penasaran. "Ini titik balik peran bidan di Banggai," tuturnya.
Dua puluh tahun mengabdi, Sus Adel kini tak bekerja sendirian. Di Puskesmas Lolantang yang dipimpinnya tercatat enam bidan pegawai tidak tetap nyantri. Tim ini harus bekerja keras melayani 35 desa yang terserak di pulau itu. Sus Adel sendiri-ia diangkat jadi pegawai negeri sipil pada 1986-punya tugas lain: menyambangi sejumlah suku terasing di pedalaman Gunung Peling. Jalannya turun-naik bukit. "Saya bisa tinggal setengah bulan di pedalaman," katanya.
Sus Adel terus bekerja. Setiap bulan, dari pemerintah ia mendapat bantuan obat dan makanan gratis untuk 40 jiwa. Tapi pasien yang datang membengkak hingga 500 orang. "Kalau sudah begini saya hanya bisa menangis," keluhnya.
Setahun terakhir ini, Sus Adel yang bersuamikan seorang pendeta ini aktif membuat saluran air bersih berikut bak penampungnya. Kualitas air di kepulauan dengan gugusan gunung kapur itu rendah, terutama lokasi-lokasi hunian suku terasing. Ia juga mendirikan klinik bersalin tanpa tarif. Sesekali pasien membayar dengan ikan asin. Waktu praktek di puskesmas, katanya, terlalu singkat. Tak mengherankan jika Sus Adel lalu sangat populer di antara suku terasing. Belakangan, orang memanggilnya Ibu Suku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo