Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IGNAS KLEDEN
Gerakan kebangsaan untuk- Indonesia Merdeka yang kemudian diteruskan dengan- perjuangan bersenjata me-ngandung satu tema yang sama, yaitu pembebasan atau kemerdekaan-dari (freedom from). Ada kepercayaan bahwa kemerdekaan belum terwujud pada waktu itu karena ada yang menghalanginya, yaitu pihak penjajah. Penduduk di Hindia Belanda memang hidup dalam suatu negara, tetapi negara tersebut bukanlah penjelmaan kehendak politik me-reka sendiri, melainkan perwujudan kehendak dan kekuatan asing dalam bentuk negara kolonial. Sekalipun belum jelas betul pada masa itu, negara kolonial tersebut dianggap menghalangi kemerdekaan; bukan terutama karena dikendalikan oleh kekuatan asing, melainkan karena kekuatan asing tersebut tidak memperlakukan kemerdekaan dan kesejahteraan penduduk setempat sebagai tujuan politik negara kolonial. Penolakan terhadap negara kolonial tidak disebabkan ”keasingannya”, melainkan oleh kenyataan bahwa hadirnya kekuatan asing itu menghalangi terwujudnya kemerdekaan dan kesejahteraan penduduk koloni.
Beberapa teoretisi mengatakan bahwa bangsa pada mulanya bukanlah suatu pengertian politis. Karena bangsa dapat terbentuk berdasarkan kesamaan nasib sebagaimana dikatakan oleh Otto Bauer, atau kesamaan imajinasi sebagaimana dikatakan oleh Ben Anderson, misalnya. Orang dapat hi-dup sebagai bangsa karena kesamaan bahasa, daerah, asal-usul, atau kesamaan mitos yang mereka hayati bersama. Munculnya nasionalisme meng-ubah bangsa (nation) sebagai sa-tuan yang prapolitis menjadi suatu unit politik. Dalam nasionalisme dihidupkan kesadaran sekelompok orang untuk menentukan nasibnya sendiri berdasarkan kehendak politik yang sadar. Untuk memakai model Yunani Antik, dapat dikatakan bahwa bangsa yang tadinya masih merupakan suatu oikos semata, yaitu suatu rumah tangga yang menempati ruang privat, oleh nasionalisme diubah menjadi polis, yaitu suatu ruang publik, dan bahkan ruang politik.
Bangsa dalam pengertian politik inilah yang kemudian digalakkan sosialisasinya oleh para pemikir dan pejuang kemerdekaan kita. Bung Karno dengan amat mahir menjadikan nasionalisme sebagai sarana untuk nation-building. Segala sesuatu yang sebelum ini lebih mirip oikos di Athena dulu, harus diubah menjadi polis atau polity menurut istilah ilmu politik sekarang. Persyaratan untuk itu sebagaimana berulang kali diucapkan dan dituliskan oleh Bung Karno- ialah kehendak revolusioner untuk meng-akhiri penjajahan, dan akumu-lasi kehendak dan kekuatan revolusio-ner tersebut melalui persatuan nasional. Segala perbedaan menyangkut kebudayaan, etnisitas, kesukuan, agama dan daerah, menjadi sekunder, dan tampaknya harus dikorbankan untuk apa yang dinamakannya samenbundeling van alle revolutionaire krachten, yaitu penyatupaduan semua kekuatan dan tenaga revolusioner.
Dalam retorika seperti itu, kemerdekaan, bangsa, nasionalisme, dan persatuan seakan-akan menjadi sino-nim dalam maknanya. Siapa yang berpikir tentang bangsa akan berjuang untuk kemerdekaan dan memperta-hankan persatuan nasional. Sekalipun demikian, kemerdekaan yang diperjuangkan itu adalah kemerdekaan-dari, suatu freedom from, yang dalam kata-kata Bung Karno hanya menjadi suatu jembatan, sekalipun jembatan emas. Setelah tercapai pembebasan pada tahapan ini, dan setelah menyeberangi jembatan tersebut, bangsa Indonesia tidak lagi berurusan dengan kemerdekaan-dari, tetapi menghadapi masalah kemerdekaan-untuk (freedom for), yang harus diberi isi dan makna baru.
Tampaknya semangat untuk kemer-dekaan-dari tersebut diteruskan juga dalam masa Orde Baru dengan tekanan yang bergeser dan semantik yang berubah. Pembangunan dianggap sebagai usaha nasional membebaskan rakyat Indonesia dari kemiskinan dan keterbelakangan, entah keterbelakang-an itu dilihat sebagai warisan kolonial atau sebagai kondisi suatu bangsa yang baru bergelut dengan usa-ha menentukan nasibnya sendiri. Namun, bersamaan dengan itu terjadi peralihan dalam parole politik Indonesia: bangsa bergeser menjadi negara-bangsa (nation-state) dan kemudian berfokus pada negara saja. Kemerdekaan diganti oleh pembangunan, sedang-kan persatuan diganti oleh stabilitas dan penyeragaman. Regimentasi politik, etatisme dalam ekonomi, dirigisme dalam kebudayaan, dan pragmatisme pendidikan berjalan bagaikan iringan domba-domba di bawah tongkat seorang gembala yang menjadi kepala negara dan kepala peme-rintahan. Cara negara mengontrol mo-dal tak banyak berbeda dari cara seorang guru mengawasi murid di kelas, atau cara seorang pejabat mengontrol pelaksanaan program KB.
Reformasi 1998 yang mengakhiri Orde Baru, secara kebetulan atau tidak mengakhiri juga retorika persa-tuan dan semua turunan semantiknya dalam politik Indonesia. Tiba-tiba, orang menjadi sadar bahwa pembebasan atau kemerdekaan-dari dapat menjadi dalih untuk kekerasan politik kalau tidak dites dengan jenis kebebasan lainnya, yaitu kemerdekaan-untuk (freedom for) berupa realisasi bakat dan kemampuan setiap warga.. Kalau kemerdekaan-dari mengharuskan persatuan maka kemerdekaan-untuk menuntut lebih banyak r-uang untuk kemajemukan, karena kemer-dekaan pertama-tama diuji oleh ada-nya kemerdekaan untuk berbeda. Seseorang baru dapat menyebut dirinya bebas kalau dia boleh dan sanggup menyatakan dirinya secara berbeda dari orang lain atau bahkan dari kelompok tempat dia diperanggotakan.
Kalau dalam retorika lama terde-ngar semboyan berbeda-beda tetapi satu, maka dengan adanya tuntutan akan kemajemukan terjadi pembali-kan besar dalam semboyan tersebut: satu tetapi berbeda-beda. Kesadaran tentang pluralisme budaya memang sudah ada dalam kesadaran kolektif di Nusantara ini sejak lama. Ada demikian banyak kelompok budaya, kelompok etnik dan suku serta kelompok agama, namun dalam tahap-an ini keanekaragaman budaya itu dipandang tak berbeda dari keaneka-ragaman hayati dengan dua asumsi utama. Pertama, perbedaan budaya dianggap terdapat antara satu kelompok budaya dan kelompok budaya lain. Kedua, perbedaan-perbedaan itu sudah ada begitu saja secara ”alamiah” dan sepatutnya diterima dan dihormati. Toleransi adalah kebajikan dalam berhadapan dengan perbedaan antarbudaya (inter-cultural differences). Kebudayaan dibentuk oleh identitas sedangkan perbedaan dipahami sebagai variasi antara satu identitas dan identitas budaya lainnya.
Munculnya paham multikulturalisme memberikan aksen baru dan sedikit koreksi terhadap pluralisme budaya. Pada tempat pertama, kebudayaan itu tidak lagi dianggap ha-dir secara alamiah, tetapi merupakan hasil bentukan oleh pendukung kebudayaan itu. Kebudayaan itu dibuat oleh manusia sendiri dan bukannya dari sononya sudah begitu. Dalam antropologi budaya dikatakan bahwa orang Bugis dibentuk oleh kebudaya-an Bugis, tetapi dalam paham cultural studies ditekankan kenyataan sebaliknya bahwa orang Bugis sendirilah yang membentuk kebudayaan mereka. Kepercayaan-kepercayaan dalam kebudayaan dibuat oleh manusia seperti halnya dia membangun rumah atau membuat perahu, dan nilai-nilai budaya juga dibuat oleh manusia sen-diri seperti halnya dia membuat hiasan baju, cincin dan anting-anting. Karena itu, perbedaan budaya juga bukanlah sesuatu yang alamiah, tetapi hasil konstruksi oleh pendukung kebudaya-an. Konstruksi ini jelas memerlukan kemampuan kreatif yang luas dan terus-menerus, dengan akibat bahwa dalam satu kebudayaan yang sama dapat tercipta berbagai variasi. Perbedaan budaya tidak hanya terdapat antara satu kebudayaan dan kebuda-yaan lainnya berupa inter-cultural dif-ferences, tetapi perbedaan-perbedaan itu dapat muncul dalam satu kebuda-yaan yang sama dan menjadi intra-cultural differences. Ada Jawa Solo tetapi juga ada Jawa Pekalongan. Ada Batak Karo dan ada Batak Toba.
Sikap terhadap kebudayaan tidak lagi ditandai oleh toleransi saja (yang dianggap tidak mencukupi lagi), tetapi juga oleh affirmative action dalam membela nilai-nilai kebudayaan yang dianggap lebih adil. Kaum feminis, misalnya, akan mengatakan bahwa kebudayaan dengan kecenderungan patriarkis yang kuat harus dikorek-si dan ditolak dan orang sebaiknya memihak kepada kebudayaan yang memberikan kesempatan yang lebih besar bagi kemajuan dan persamaan hak perempuan. Kalau dalam pluralis-me kebudayaan diidentifikasi berdasarkan kerangka geografis, maka dalam multikulturalisme kebudayaan di-iden-tifikasi berdasarkan kerangka- politisnya. Kebudayaan tidak ha-nya dibentuk oleh identitas, tetapi oleh perbedaan-perbedaan.
Pada titik ini kelihatan bahwa untuk kepentingan sekarang nasionalisme dengan tujuan pembebasan atau kemerdekaan-dari tidak mencukupi lagi, dan harus dilengkapi dengan demokrasi yang lebih menjamin kemerdekaan-untuk bagi perkembang-an setiap warga. Multikulturalisme dan kemajemukan adalah sinonim kebudayaan untuk demokrasi politik. Setiap pandangan yang melihat perbedaan sebagai ancaman dan potensi konflik sebenarnya masih terjebak dalam konsepsi budaya yang ha-nya mementingkan identitas, politik yang hanya mementingkan persatuan, dan pendidikan yang hanya berkutat dengan kemerdekaan-dari tetapi gagal mengejawantahkan kemerdekaan-untuk yang merupakan daerah impian yang ada di seberang jembatan emas. Kemerdekaan-dari harus dipertahankan dengan kekuatan persatuan, tetapi kemerdekaan-untuk dapat diciptakan dengan kreativitas yang tinggi yang lahir dari kemungkinan untuk berbeda, dan menciptakan perbedaan-perbedaan sebagai produknya.
Kalau anak-anak kelas tiga di sebuah SD dapat mengirim kartu pos kepada teman-temannya, maka kita berbesar hati bahwa mereka sudah terbebas dari buta-huruf. Namun, kalau semua kartu pos itu berisi kalimat yang kurang-lebih sama isi dan bentuknya, maka kartu-kartu pos itu menjadi amat membosankan. Anak-anak itu ternyata belum merdeka untuk berbeda, suatu hal yang akan membuat kartu-kartu pos itu barangkali layak disimpan dan dikenang, dan membuat kemerdekaan bukan saja sesuatu yang diperjuangkan, tetapi juga sesuatu yang indah untuk dinikmati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo