Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kasus dugaan perundungan dan pelecehan seksual terhadap seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia berinisial MS atau MSA memasuki babak baru.
Kuasa hukum terlapor perundungan dan pelecehan seksual di KPI Pusat berencana melaporkan balik MSA ke Kepolisian Resor Jakarta Pusat pada hari ini.
Alasan pencemaran nama selalu dijadikan senjata bagi terlapor yang sudah tersudut fakta cerita yang diungkap oleh korban.
JAKARTA — Kasus dugaan perundungan dan pelecehan seksual terhadap seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS atau MSA memasuki babak baru. Jika tak ada aral, terlapor pelaku kejahatan ini akan melaporkan balik MS ke Kepolisian RI pada hari ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan balik terlapor pelaku dengan melaporkan korban ke polisi memang sering terjadi dalam kasus pelecehan seksual. Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Adelita Kasih, mengatakan pada banyak kasus pelecehan seksual, terlapor kerap berupaya mengkriminalkan korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apalagi, kata dia, korban telah memberanikan diri mengungkap pelecehan seksual yang ia alami, termasuk di media sosial. "Pasti ada ancaman serangan balik berupa upaya kriminalisasi," kata Adelita ketika dihubungi, kemarin.
Menurut Adelita, alasan pencemaran nama selalu dijadikan senjata bagi terlapor yang sudah tersudut fakta cerita yang diungkap oleh korban. Menurut Adelita, jika bersungguh-sungguh tak pernah melakukan tindakan tersebut, seharusnya terlapor akan mengikuti proses hukum yang sedang berjalan. "Toh nantinya proses hukum akan membuktikan pelaku jika benar tidak bersalah," kata dia.
Adelita berharap masyarakat sipil bisa membantu mengawal kasus MSA hingga tuntas. Ia pun berharap publik tetap berpihak kepada korban. "Jangan justru mengaburkan kasus asalnya ketika ada serangan balik," kata dia.
Kuasa hukum terlapor perundungan dan pelecehan seksual di KPI Pusat berencana melaporkan balik MSA ke Kepolisian Resor Jakarta Pusat. "Besok (hari ini) rencananya kami akan melapor dengan dugaan pencemaran nama baik," kata Denny Hariatna, salah satu kuasa hukum terlapor, ketika dihubungi, kemarin.
Denny masih merahasiakan pasal-pasal mana saja yang akan dipakai untuk melaporkan MSA. Namun, yang pasti, ia membenarkan tim kuasa hukum akan menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Menurut Denny, keputusan pelaporan ini diambil lantaran kliennya merasa dirugikan oleh rilis yang dibikin oleh MSA. Sebab, dalam rilis yang tersebar di media sosial dan berita sejak 2 September lalu dituliskan nama lengkap kliennya. Menurut dia, para terduga pelaku mendapat penghakiman oleh warganet di berbagai media sosial.
Bahkan, aksi warganet tersebut menyasar istri hingga anak para terduga pelaku perundungan dan pelecehan seksual MSA. Menurut Denny, publikasi nama terlapor dilakukan sebelum MSA melaporkan kasusnya ke Polres Jakarta Pusat. "Bahkan sampai saat ini status kasusnya masih penyelidikan. Polisi masih mencari tahu peristiwa pidananya," kata Denny.
Suasana kantor lama KPI di Gedung Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Jalan Gadjah Mada, Gambir, Jakarta, 21 Oktober 2016. Dok.TEMPO/Frannoto
Atas rilis MSA, para terlapor seperti sudah dicap sebagai pelaku pelecehan seksual. Padahal klien Denny masih berstatus sebagai saksi terlapor. Menurut dia, ada asas praduga tak bersalah yang harus dijunjung dalam perkara ini.
Sebelumnya, MSA melaporkan dugaan perundungan dan pelecehan seksual ke Polres Jakarta Pusat pada Rabu pekan lalu. Setidaknya ada lima nama yang dilaporkan MSA sebagai pelaku perundungan dan pelecehan seksual.
Berdasarkan rilisnya, MSA menceritakan kronologi perundungan dan pelecehan seksual yang ia alami di kantor KPI. Bermula pada periode 2012-2014, korban di-bully oleh rekan kerja seniornya, seperti disuruh membelikan makan siang dan menerima pukulan, makian, hingga intimidasi.
Pada 2015, korban mendapat pelecehan seksual. Para pelaku memegang kepala dan tangan MSA, kemudian menelanjanginya. Selanjutnya, pelaku mencoret-coret alat kelamin MSA memakai spidol. Tindakan itu membuat korban trauma dan kehilangan kestabilan emosi.
Pada 11 Agustus 2017, korban sempat mengadukan pelecehan dan penindasan tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui e-mail. Komnas membalas dan menyimpulkan bahwa apa yang MSA alami merupakan kejahatan atau tindak pidana. Korban diarahkan membuat laporan ke polisi.
Korban dalam tulisan yang terkirim itu melaporkan peristiwa pelecehan dan perundungan yang dialaminya ke Kepolisian Sektor Gambir pada 2019. Namun respons polisi tak sesuai dengan harapan pegawai KPI itu.
Koordinator kuasa hukum MSA, Mehbob, mempersilakan kubu terlapor melaporkan balik kliennya dengan tuduhan pencemaran nama. Menurut Mehbob, sebagai warga negara tentu kelima terlapor punya hak yang sama untuk melaporkan sebuah perkara pidana ke kepolisian. "Kami tidak khawatir. Kami akan hadapi dan kawal sampai ke meja hijau," kata Mehbob ketika dihubungi, kemarin.
Dia optimistis polisi akan menangani perkara MSA dengan obyektif berdasarkan fakta dan bukti. Terlebih, Kepala Kepolisian RI sudah mengeluarkan surat edaran kepada seluruh anggotanya untuk lebih selektif menerima laporan yang memakai UU ITE, termasuk pencemaran nama. "Lagi pula yang disampaikan klien kami adalah fakta, bukan fitnah," kata Mehbob.
Komisioner KPI periode 2010-2013, Ezki Suyanto, mengatakan alih-alih melaporkan balik, para terlapor seharusnya berfokus mengikuti proses hukum dugaan perundungan dan pelecehan seksual terhadap MSA. Menurut Ezki, pelaporan balik hanya akan membuat perkara ini semakin berbelit. "Sehingga keluarga malah semakin jadi korban," katanya.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo