Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Naik-turun Bisnis Bak Truk Kayu

Usaha Karoseri Bak Truk Kayu Sepanjang Jalan Pos Mulai Kalah Oleh Usaha Karoseri Bak Berbahan Logam. Butuh Terobosan Agar Mampu Bertahan.

25 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bau cat masih menyengat di salah satu sudut gudang milik Iwan Gunawan di Cirebon, Jawa Barat. Setengah lusin bak truk kayu berwarna mencolok yang masih mulus terjejer rapi, siap diantar ke pemesan. "Butuh seminggu untuk menyelesaikan satu bak kayu. Itu sudah termasuk lukisannya," kata juragan karoseri bak truk kayu jati dan rangka besi Putra Nasional ini, Kamis pekan lalu.

Satu bak digarap beberapa orang. Kapasitas bengkel Iwan yang ditopang 30 karyawan itu bisa sampai 30 unit dalam sebulan. Tapi kemampuan yang ia punya lebih sering tak terpakai maksimal. Sekarang, menurut dia, bisa memproduksi sepuluh buah saja sudah bersyukur.

Turunnya produksi karoseri bukan karena pegawai Iwan bermalas-malasan atau jumlah tenaga yang berkurang. Usahanya mulai susut mengikuti lesunya perekonomian dan selera konsumen yang perlahan berubah. Para pengusaha logistik yang sebelumnya menggunakan bak kayu banyak beralih menggunakan mobil boks yang berkaroseri logam.

Usaha bak truk kayu yang dirintis Iwan sejak 1988 ini memasuki masa jaya pada 1990-an. Sepuluh tahun kemudian, ketika badai krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1998, Iwan terpaksa bangun dari mimpi indahnya.

Iwan harus putar otak agar bisnisnya tak ikut buyar, syukur-syukur jika masih bisa mekar. Salah satu caranya dengan menawarkan paket pembuatan bak truk dengan lukisan, yang membuatnya sampai perlu merekrut tiga tenaga khusus tambahan yang bisa melukis. Dengan menjadikan mereka pegawai resmi, Iwan bisa menawarkan paket dengan harga bersaing dari para kompetitornya, yakni dari Rp 15 juta hingga Rp 30 juta untuk tiap bak truk kayu. "Lengkap dengan gambar," tutur Iwan.

Berjarak sekitar 145 kilometer dari Cirebon, nasib usaha Supriyono lebih nelangsa dibanding Iwan. Sudah empat bulan terakhir pengusaha karoseri bak truk di Batang, Jawa Tengah, ini hanya bisa mengelus dada. "Sedang sepi. Paling-paling bisa keluar cuma satu-dua bak truk tiap bulan," ujarnya mengeluh.

Supriyono tergolong pemain baru. Ia tergiur membuka usaha karoseri bak truk kayu sepuluh tahun lalu. Waktu itu Supriyono adalah tukang kayu di salah satu bengkel bak truk. Penasaran terhadap bisnis yang terus tumbuh subur di kampungnya di Subah, Batang, ia pun memberanikan diri meminjam uang ke bank untuk memulai bisnis yang sedang tren saat itu.

Modal awal yang dikucurkan bank hanya Rp 5 juta. Dengan duit itu, Supriyono membeli kayu mangga, dengan perkiraan ongkos produksi sekitar Rp 1,6 juta untuk satu bak truk. Bisnisnya berjalan mulus. Meski harga kayu terus melambung dan biaya produksi merangkak naik, pelanggannya tak kunjung surut. Hingga akhirnya ia berani membanderol harga bak truk bikinannya Rp 15-35 juta per unit, tergantung jenis kayu dan ukurannya. "Dalam sebulan, dulu bisa produksi lebih dari sepuluh. Omzetnya sekitar Rp 350 juta," ucapnya.

Omzet ratusan juta per bulan inilah yang mengundang lebih banyak pemain baru. Di Subah saja, kata Supriyono, ada lebih dari 30 pengusaha karoseri bak truk. Beberapa pengusaha bahkan memiliki lebih dari satu bengkel produksi. Produk dan karya mereka dengan variasi lukisan atau tulisan aneka rupa mudah terlihat di antara padatnya lalu-lalang kendaraan pengangkut logistik yang merayapi sekujur Jalan Raya Pos.

Bisnis karoseri juga merambat ke beberapa wilayah lain di Jawa Timur yang dilalui jalur ini. Salah satunya PT Win Jaya Mandiri, yang berdiri pada Februari lalu. Alasan mereka mendirikan usaha ini rata-rata sama: tergiur untung bisnis fantastis yang pernah dicetak pendahulunya. Namun, begitu usaha berjalan, tak sedikit dari mereka mendapati kenyataan yang jauh dari harapan.

Menurut Jamil, asisten manajer operasional di Win Jaya Mandiri, sejak usaha dibuka hingga saat ini, perusahaan bahkan belum mendapat konsumen yang meminta dibuatkan bak truk kayu. "Masih sebatas minta servis bak truk atau trailer. Ada juga yang datang untuk mengecat," ujarnya.

Bisnis yang lesu tak hanya menyerang pemain baru. Pemain lama, seperti PT Bobby Jaya Sentosa, yang pernah meraup omzet puluhan juta rupiah per bulan pada zaman Orde Baru, kini hanya tinggal nama. Bisnis mereka bangkrut sejak dua tahun lalu karena kompetisi yang menggila. "Lebih baik tutup, terlalu banyak pesaing. Susah kalau tidak kreatif," ujar Bobby Kusumanto, si bekas empunya perusahaan.

Namun tak semua bernasib malang. Masih ada pemain lama yang bertahan, bahkan sanggup berkembang. Di antaranya PT Adicitra Bhirawa. Perusahaan yang berdiri sejak 1986 ini menjadi salah satu pemain besar karoseri di Surabaya. "Intinya, harus pandai baca tren dan berinovasi," kata Freddy Pangkey, Presiden Direktur Adicitra.

Freddy selalu berupaya membuat dan menawarkan boks atau bak garapan bengkelnya sesuai dengan perkembangan selera dan kebutuhan konsumen. Ketika masyarakat terlihat lebih banyak mengkonsumsi minuman kemasan, ia membacanya sebagai sinyal bahwa karoserinya mesti lebih banyak memproduksi boks kendaraan pengangkut yang dilengkapi pendingin. Ia yakin akan banyak produsen minuman kemasan yang tertarik pada produk rancangannya. "Perniagaan terus tumbuh di Surabaya. Sebanyak apa pun pesaing, yang penting kita jeli lihat peluang," ucap Freddy berbagi kiatnya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Karoseri Indonesia T.Y. Subagio menuturkan, bisnis karoseri pembuatan truk tumbuh sejak investasi di Pulau Jawa digenjot oleh pemerintah. Terutama pada masa Orde Baru, saat pembangunan infrastruktur menjadi perhatian utama. Belum lagi distribusi hasil industri dari dan menuju Pulau Jawa, yang membuat permintaan truk tumbuh tinggi pada 1990-an dan awal 2000-an.

Banyaknya pemain yang menggeluti bisnis ini menjadi seleksi alam tersendiri bagi mereka yang ulet dan mampu bertahan menghadapi sengitnya kompetisi. Saat ini asosiasi mewadahi 212 perusahaan karoseri yang tergolong konsisten di arena industri perakitan yang kian padat. "Sembilan di antaranya merupakan perusahaan karoseri bak kayu," kata Subagio.

Beragam faktor yang membuat bisnis ini naik-turun. Selain implikasi kondisi ekonomi global dan dalam negeri yang tidak bisa dihindari, kebijakan serta lambannya pelaksanaan program pemerintah menjadi penentu nasib industri ini. "Program pemerintah itu penggerak ekonomi. Kalau ini lamban, tentu akan mempengaruhi sektor karoseri juga."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus