Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHUN ini giliran Turki menjadi tamu kehormatan di ajang Pameran Buku Internasional terbesar sejagat, yang digelar di Frankfurt, 15-19 Oktober 2008 (Frankfurt Book Fair/FBF). ”Ini kesempatan berharga bagi para pengarang dan penerbit kami untuk menjalin hubungan dengan masyarakat buku internasional. Kami tidak berpengalaman menjual copyright, maka di sinilah tempat kami menggali pengetahuan itu,” kata ketua organizing committee Müge Gürsoy Sökmen kepada Tempo.
Dengan tema ”Turkey in all its Colours”, Turki menggelar berbagai produk budayanya di beberapa hall dengan total luas lebih dari 4.000 meter persegi. ”Dari seluruhnya 1.700 penerbit, kami terpaksa cuma bisa membawa 100 di antaranya,” ujar Sökmen. Mereka bergabung bersama sekitar 250 pengarang yang tersebar di Hall 5.1 untuk pengarang novel serta di Hall 3.0 untuk pengarang buku anak-anak dan komik. Ada 400 judul buku yang sudah dialihbahasakan ke bahasa Jerman—80 di antaranya buku fiksi dan anak-anak.
”Kehadiran Orhan Pamuk membuat Turki semakin bersinar,” kata Sökmen sambil tertawa lebar. Pamuk, penerima Hadiah Nobel 2006, yang buku-bukunya telah diterjemahkan ke lebih dari 50 bahasa, memang menjadi bintang yang terus bersinar sepanjang pameran berlangsung. Ia digeret ke sana-kemari. Dalam hitungan menit ia berpindah dari satu acara ke acara lain untuk berbicara dalam forum diskusi, pembacaan buku terbarunya The Museum of Innocence, atau ceramah di depan para mahasiswa.
Selain Pamuk, pengarang masyhur yang tampil adalah Yasar Kemal, Fazil Hüsnü Daglarca, Mario Levi, Nazim Hikmet, dan Mehmed Uzun. Cuma satu pengarang besar yang urung muncul karena sakit, yakni Gülten Akin. Yasar Kemal, penerima 19 penghargaan internasional, termasuk Hadiah Nobel 1973, yang usianya sudah beranjak 85 tahun, muncul tertatih-tatih dalam pembacaan buku yang dipadati pengunjung di Hall 5.1. Ada pula penyair besar seperti Ahmet Hasim yang tak lelah-lelahnya berjalan di seputar arena seraya bersyair tentang pengalamannya tinggal di Frankfurt.
Turki menyimpan banyak pengarang berbakat. Murathan Mungan, 55 tahun—bergelar master of arts dari Universitas Ankara—misalnya, tak cuma menulis novel. Ia sudah menerbitkan 15 buku puisi, di antaranya Stories on the Ottomans, Metal, dan Summer to Passes, yang tergolong buku-buku pujaan. Ia juga penulis drama untuk teater dan layar lebar, cerita pendek, dan esai, kritikus film dan teater, serta kolumnis politik.
”Walaupun Turki negara demokrat, militer amat berkuasa di sini. Maka para seniman harus pintar bermain, berupaya supaya jangan kena ciduk,” kata Mungan tentang kebebasannya berekspresi.
Umumnya pengarang Turki punya gelar akademik. Asli Erdogan, salah satu pengarang muda, sarjana teknik komputer. Ia terpaksa drop out dari studi untuk gelar doktornya di Rio de Janeiro karena waktunya habis untuk menulis. ”Saya menyadari skill saya sebagai penulis tidak terbatas. Gaya tulisan saya punya kualitas puitik,” katanya tentang karya-karyanya. Novelnya yang kedua, The City in Crimson Cloak, telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Prancis, dan Norwegia.
Erdogan satu dari 50 penulis yang besar pengaruhnya pada abad ke-21 versi majalah Prancis Lire. Di buku Silence of Life, Erdogan menciptakan kisah kegelapan yang kelam. Di situ pembaca diajak merasakan sebuah kegelapan yang membingungkan, tidak lagi tahu kapan atau di mana dirinya sedang berada; misteri yang melahirkan rasa penasaran.
Para pengarang muda ini disebut-sebut sebagai penerus jejak Pamuk. Mereka banyak muncul dalam arena diskusi dan bedah buku. ”Bagi pengarang muda yang belum pernah ke sini, barangkali mereka baru bisa menikmati kemegahan pameran ini. Persis seperti saya 18 tahun lalu,” kata Orhan Pamuk.
Satu lagi yang penting, Jerman punya kaitan erat dengan Turki, karena 1-4 persen dari populasinya keturunan Turki. Dan mungkin itulah yang membuat pengunjung FBF naik drastis tahun ini. Saat pameran dibuka untuk umum, dalam dua hari terakhir, hall Turki penuh pengunjung berkerudung. Buku beraneka tema yang baru boleh dijual pada hari terakhir pun langsung ludes diserbu pembeli. ”Pada hari pertama untuk umum malah jumlah pengunjung mencapai 78.218 orang, atau naik 8,1 persen dibanding tahun lalu. Ini adalah jumlah pengunjung terbanyak sepanjang sejarah pameran yang tahun ini menginjak usia ke-60 itu,” kata Thomas Minkus, juru bicara FBF, kepada Tempo.
Direktur FBF Jürgen Boos malah menegaskan, jumlah pengunjung naik 5,6 persen dibanding tahun lalu. Dari jumlah 299.112 orang, 186.240 adalah pebisnis buku, yang muncul di FBF untuk beroleh informasi tren buku dan industri media internasional.
Dari ribuan acara yang dikemas di ajang FBF ini, muncul tema ”pendidikan dan integrasi”. Banyak warga keturunan Turki, terutama generasi lama, yang menolak integrasi. Kendati sudah puluhan tahun tinggal di Jerman, mereka tak paham bahasa Jerman. Mereka hanya berhubungan dengan sesama Turki. Menyetel televisi pun memilih saluran Turki.
Sri Pudyastuti Baumeister (Frankfurt)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo