Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ceritanya, begini. Sugiono, 40 tahun, penduduk Jalan Terusan Leo, Bandung, sehari-hari pengusaha, mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama Kotamadya Bandung, agar disahkan menjadi anak Allah. Mengaku sebagai pemikir, Sugiono mengklaim dirinya penemu satu ilmu, yaitu ilmu penalaran. Menurut ilmu yang ditekuninya belasan tahun ini: "Alam itu kosong. Dan kosong itu Allah". Karena lahir dari kekosongan, maka, ia sebut dirinya "anak" Allah. Dari dasar penalarannya itulah lalu Sugiono mohon fatwa kepada Pengadilan Agama, agar ia dinyatakan "anak tunggal" Allah. Ia tak menyanggah punya orangtua yang melahirkan, tapi disebutnya "orangtua angkat" yang tugasnya cuma melahirkan. Sedangkan yang menciptakannya, katanya, adalah Allah, maka ia merupakan anak Allah. Selain minta pengabsahan tersebut, sekaligus ia menggugat Ketua Badan Amil Zakat (BAZ) Kotamadya Bandung, Drs. H. Moch. Husein Jachyasaputra. Seketika BAZ jadi "sasaran tembak"-nya, menurut Sugiono, karena pemberi zakat itu beribadat kepada Allah. Namun, karena tidak pernah mendapat zakat, kemudian ia mengajukan dua pasal gugatan: 1. Yang berhak menerima zakat adalah Allah penerima alam, yaitu "saya sendiri". 2. Menghukum tergugat agar menyerahkan zakat kepada Allah, yaitu kepada "Saya anak Allah". Urusan musykil itu dilayani. "Pengadilan tak bisa menolak begitu saja. Setelah majelis memeriksa, baru kita putuskan menolak atau tidak," kata Drs. A. Yunus, ketua panitera pengadilan itu. Akhir Juni lalu, pengadilan bersidang. Dipimpin Drs. Aep Saepudin sebagai hakim ketua. Di sidang, Sugiono menyatakan alasannya mengaku sebagai "anak tunggal" Allah adalah karena punya kelebihan sebagai pemikir yang menemukan ilmu menemukan Dia. "Tapi ia mengaku tidak punya mukzizat dan tak pernah dapat ilham," ungkap Saepudin kepada Dwiyanto Rudi S. dari TEMPO. Dan tentang kondisi Sugiono? "Pernah diuji, kelihatannya ia sehat dan tegar. Ia mampu berargumentasi dan mempertahankannya. Bahkan, kalau fatwa itu dikeluarkan oleh pengadilan, ia akan menyebarkan ilmunya, tapi kalau tidak, maka akan dihentikannya. Itu kan pemikiran orang waras," kata Saepudin. Sidang lanjutan, 7 Juli lalu, batal. Sebab, Sugiono mencabut perkaranya. Cuma, pihak Pengadilan Agama berencana meneruskan perkara ini. Sugiono akan dipanggil kembali. "Kami tidak bisa langsung membekukan perkara ini. Kalau mau dicabut, ya, cabut nanti di persidangan yang akan datang. Pencabutan perkara juga harus di hadapan Majelis," kata A. Yunus. Dalam sidang hari itu, kehadiran Sugiono diwakili oleh sepucuk surat. Alasannya, antara lain, disebut: tidak mau melanjutkan pemeriksaan karena perkaranya sudah dimuat di sebuah koran di Bandung. Itu merugikannya. Gara-gara berita itu, banyak orang memusuhinya, termasuk keluarganya. Sugiono menyesali pengadilan. Pemeriksaan itu seharusnya tertutup, karena urusan ini diakuinya berlawanan dengan pendapat umum. Bahkan, katanya, ia sudah memberikan Pengadilan Agama suatu ilmu. Dan menurut penalarannya, orang yang memberi ilmu itu mestinya mendapat imbalan. Karena merasa dirugikan, malah Sugiono berniat menggugat Pengadilan Agama melalui Pengadilan Negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo