Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kelangkaan obat terapi pasien Covid-19 di pasaran mulai diatasi oleh pemerintah.
Kementerian Kesehatan menyebar obat ini ke dinas kesehatan provinsi, industri farmasi, apotek, dan rumah sakit.
Distribusi dengan skema stok penyangga jadi solusi untuk mengatasi kelangkaan.
JAKARTA — Kelangkaan obat terapi pasien Covid-19 di pasaran mulai diatasi oleh pemerintah. Kementerian Kesehatan menyebar obat ini ke dinas kesehatan provinsi, industri farmasi, apotek, dan rumah sakit. Distribusi obat ini pun diatur dengan skema stok penyangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Arianti Anaya, mengatakan instalasi farmasi pusat telah menggandeng dinas kesehatan di 34 provinsi. Mereka menyimpan obat dengan menggunakan mekanisme buffer stock. “Ini untuk mengantisipasi apabila stok obat di lapangan kosong,” kata dia dalam konferensi pers di Jakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, ketersediaan obat untuk pasien Covid-19 masih cukup untuk mengatasi lonjakan jumlah kasus. Saat ini, kata dia, stok obat terapi Covid-19 cukup banyak: Oseltamivir kapsul sebanyak 11,6 juta, Favipiravir ada 24,4 juta tablet, Remdesivir 148.891 vial, Azitromisin 12,3 juta tablet, dan Tocilizumab 421 tablet. Tocilizumab ini hanya digunakan untuk kasus kritis. Sedangkan stok multivitamin saat ini sebanyak 75,9 juta tablet.
Arianti menilai kelangkaan obat selama ini terjadi lantaran ada masalah dalam pendistribusian ke daerah. Ia meminta industri dan pedagang besar farmasi tidak menahan obat. "Ini agar obat bisa diakses masyarakat secepatnya," ujar dia.
Kelangkaan obat Covid-19 dialami rumah sakit dan keluarga pasien dalam beberapa hari terakhir. Obat ini hilang di pasaran setelah Kementerian Kesehatan menerbitkan surat keputusan yang mengatur harga eceran tertinggi 11 obat antivirus pada Sabtu pekan lalu. Obat yang kian langka itu, di antaranya, tablet Favipiravir 200 miligram seharga Rp 22.500; injeksi Remdesivir 100 miligram, Rp 510 ribu; infus intravenous immunoglobulin 10 persen 25 mililiter; dan tablet Ivermectin 12 miligram, Rp 7.500.
Vitamin D3 1000 IU yang biasa diberikan kepada pasien Covid-19 di Pasar Minggu, Jakarta, 7 Juli 2021. TEMPO/Nita Dian
Raibnya peredaran obat terapi Covid-19 hampir terjadi di semua daerah, di antaranya di Rumah Sakit Umum Daerah KRMT Wongsonegoro Kota Semarang. Padahal rumah sakit ini sedang merawat 500 pasien Covid-19. Wakil Direktur Pelayanan RSUD Wongsonegoro, Lia Sasdesi Mangiri, menyebutkan sejumlah obat sulit diperoleh atau terlambat datang. "Saat ini beberapa obat untuk pasien Covid-19 susah didapat karena kosong di distributor," katanya.
Lia mencontohkan salah satu jenis obat yang langka adalah Remdevisir atau antivirus. Menurut dia, selama ini obat tersebut diimpor dari India. "Padahal di sana juga ada pandemi. Di sana juga butuh," kata dia.
Lia bersyukur bahwa selama ini mendapat bantuan dari Dinas Kesehatan Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah untuk menutup kekurangan obat. "Jadi, untuk pasien rawat inap, kami bersyukur, alhamdulillah, karena sampai saat ini masih bisa terpenuhi," tuturnya.
Susahnya mendapatkan obat ini dialami Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung yang kehabisan Actemra. Persediaan sejumlah obat lainnya pun dalam kondisi krisis.
Kelangkaan obat juga diceritakan oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membidangi Majelis Pembina Kesehatan Umum, Agus Taufiqurrahman. Ia mengatakan rumah sakit di bawah Muhammadiyah kesulitan mencari obat untuk penanganan Covid-19. Hal ini terjadi di hampir seluruh rumah sakit binaan Muhammadiyah di Pulau Jawa.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan stok beberapa jenis obat di rumah sakit daerah mulai menipis akibat langka di pasar. Ganjar mengatakan sudah berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk segera memenuhi kebutuhan obat terapi Covid-19 di Jawa Tengah. "Beberapa obat utama sedang disiapkan pengamanannya oleh Kemenkes," katanya.
Menurut Ganjar, Kementerian Kesehatan segera menyuplai obat ke wilayahnya. Pendistribusian obat Covid-19 ini akan dikawal oleh aparat keamanan untuk menghindari kendala di jalan. "Dalam waktu dekat sudah terdistribusi dan diawasi ketat oleh kepolisian," ujar dia.
Arianti Anaya meminta industri tidak menahan obat. Dia juga mendorong industri farmasi meningkatkan kapasitas produksi. Jika industri akan mengimpor obat, pemerintah meminta agar mempercepat proses importasinya. "Kami juga pantau industri untuk segera mendistribusikan obat sehingga tidak ada penimbunan," katanya.
Polisi memeriksa penjualan jenis obat yang diatur dalam SK Menkes RI No. HK.01.07/MENKES/2021 tentang Harga Eceran Tertinggi dalam masa pandemi Covid-19 saat sidak di salah satu apotek di Blitar, Jawa Timur, 7 Juli 2021. ANTARA/Irfan Anshori
Kementerian Kesehatan pun akan meluncurkan aplikasi Farma Plus agar masyarakat bisa mengecek ketersediaan obat di apotek. Aplikasi ini dapat diakses dengan mudah. Misalnya, masyarakat dapat melihat stok obat Azitromisin di apotek Kimia Farma. Aplikasi itu akan menunjukkan lokasi apotek yang memiliki ketersediaan obat tersebut. "Farma Plus ini jejaringnya sampai ke seluruh Indonesia," ujar Arianti.
Meski demikian, Arianti meminta agar masyarakat tak sembarangan membeli obat untuk pasien Covid-19. Setiap obat yang dibeli, kata Arianti, harus berdasarkan resep dari dokter. "Seluruh anggota masyarakat sebelum membeli obat harus konsultasi dengan dokter dulu," ucap dia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menyatakan pemerintah terus berkoordinasi dengan industri farmasi dan jejaring distribusinya dalam memonitor ketersediaan obat untuk pasien Covid-19. "Dalam hal terjadi hambatan suplai impor dari luar negeri, Kementerian Kesehatan berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan kementerian terkait lainnya untuk membantu penyelesaian hambatan suplai," kata dia.
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan pemerintah semestinya membuat aturan lebih ketat tentang penggunaan obat terapi Covid-19. Sebab, di lapangan telah terjadi panic buying oleh orang yang sebetulnya tidak memerlukan obat itu. "Kalau pakai resep, kan enggak mungkin orang bisa beli borong. Ini orang bisa borong," katanya.
Menurut Pandu, pasien Covid-19 bergejala ringan sebetulnya tidak memerlukan obat. Untuk pasien bergejala ringan, kata dia, cukup istirahat di rumah dan mendapat nutrisi yang cukup. Adapun untuk obat bisa diprioritaskan kepada orang yang sedang dirawat di rumah sakit. "Tapi, fasilitas kesehatan kolaps, enggak bisa menampung orang lagi. Harusnya pemerintah membuat ruang perawatan baru," ujar dia.
MAYA AYU PUSPITASARI | FRISKI RIANA | JAMAL A. NASHR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo