Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya menerima berbagai laporan tentang maladministrasi dalam seleksi PPDB tahun ini.
Sebagian besar laporan itu datang dari Kota Depok.
Beberapa laporan menyampaikan tentang dugaan jual-beli kursi dalam seleksi PPDB.
JAKARTA – Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya menerima berbagai laporan tentang maladministrasi dalam seleksi penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ini. Sebagian besar laporan itu datang dari Kota Depok. Bahkan beberapa laporan menyampaikan tentang dugaan jual-beli kursi dalam seleksi PPDB. Dugaan itu diperkuat dengan ketimpangan jumlah siswa yang lolos dalam sistem PPDB Jawa Barat dengan data faktual kuota di beberapa sekolah negeri. “Kami akan konfirmasi beberapa dugaan dan bukti yang dilaporkan,” kata Kepala Ombudsman Jakarta Raya, Teguh Nugroho, kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk itu, kata Teguh, hari ini Ombudsman meminta klarifikasi dari Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Dedi Supandi. Dugaan jual-beli kuota kursi di Kota Depok itu sudah menjadi persoalan menahun. Kasus ini memuncak saat Pemerintah Kota Depok dipersilakan menggelar PPDB secara offline, tahun lalu. Pemprov Jawa Barat kemudian berinisiatif mengambil alih seleksi PPDB tingkat sekolah menengah atas (SMA) dan kejuruan (SMK) di seluruh wilayahnya dengan menerapkan sistem daring, tahun ini. Alih-alih membaik, laporan serupa justru tetap diterima Ombudsman.
Kepala Keasistenan Pemeriksaan Ombudsman Jakarta Raya, Rully Amirulloh, mengatakan ada beberapa SMA negeri di Depok yang mengajukan kuota sekolahnya lebih sedikit dari kondisi faktual. Bahkan, secara akumulasi, sebuah sekolah negeri bisa mengosongkan atau tak mengajukan kuota hingga satu rombongan belajar atau sekitar 36 kursi ke PPDB Jawa Barat.
Temuan lain, kata Rully, muncul kuota sisa karena peserta PPDB yang lolos tak melaporkan diri. Sistem PPDB Jawa Barat tak memiliki aturan dan mekanisme untuk mengisi kuota kosong ini. Sedangkan di Jakarta, kata Rully, Pemprov menyiapkan seleksi tahap akhir yang juga digelar secara daring untuk seluruh kuota sisa selama PPDB. "Kami ingin menghindari terjadinya proses transaksional tertentu di luar jalur PPDB daring yang sudah ditetapkan oleh pemerintah," ujar dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dedi Supandi sendiri menyatakan siap diperiksa oleh Ombudsman Jakarta Raya perihal pelaksanaan PPDB tahun ini. Dia mengklaim telah menindaklanjuti semua laporan masyarakat tentang persoalan yang muncul selama pelaksanaan PPDB di tingkat SMA dan SMK tersebut. Begitu juga tentang dugaan sejumlah sekolah negeri mengurangi kuota. “Kalau itu dilakukan, sekolah justru akan mendapat kerugian,” katanya. “Karena Pemprov hanya mencairkan dana BOS (bantuan operasional sekolah) untuk jumlah siswa yang tercatat dari PPDB daring.”
Sejumlah siswa mengikuti pembelajaran tatap muka di salah satu SMP Negeri di Kota Bekasi, Jawa Barat, 22 Maret 2021. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Dedi mengklaim penerimaan siswa baru tingkat SMA dan SMK secara daring tahun ini cukup sukses. Pemerintah pun mampu merespons dengan cepat sejumlah persoalan yang muncul di lapangan. Salah satunya, kata dia, dugaan sistem PPDB yang membuat nilai siswa dari sejumlah sekolah menjadi anjlok. Hal ini sempat membuat orang tua dan peserta PPDB jalur prestasi kecewa dan protes karena kalah bersaing secara tidak adil. Berdasarkan pemeriksaan, kesalahan terdapat pada sekolah asal yang tak memasukkan seluruh komponen nilai. Padahal komponen nilai itu sudah diatur dalam sistem penghitungan kalibrasi jalur prestasi.
“Terbiasa dengan ujian akhir nasional (UAN) yang tinggal input angka akhir,” katanya. “Sekarang itu nilai rapor harus pakai penghitungan kalibrasi.”
Sementara itu, Dinas Pendidikan Provinsi Banten justru mendapat rapor merah karena lambat mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan yang muncul selama PPDB secara daring berlangsung. Ombudsman bahkan berencana merekomendasi kepada Gubernur Banten Wahidin Halim untuk mencopot Kepala Dinas Pendidikan Tabrani. “Kepala Dinas tak memberikan delegasi kepada pejabat harian, sehingga saat dia sakit, tak ada yang berani mengambil keputusan,” kata Ketua Ombudsman Banten, Dedi Irsan. “PPDB selama tiga pekan stagnan.”
Ombudsman mulai menerima laporan dari masyarakat saat masyarakat dan calon siswa mulai mendaftarkan diri untuk ikut seleksi jalur pertama sistem PPDB daring Pemprov Banten, yaitu Tahap Zonasi pada 21 Juni lalu. Saat itu, selama lebih dari satu pekan, peserta tak bisa mengakses laman PPDB karena server milik dinas pendidikan down akibat tingginya jumlah pengakses. Selama periode tersebut, Dinas Pendidikan Banten bersikap pasif karena Tabrani harus menjalani perawatan dan isolasi mandiri akibat terjangkit virus Covid-19.
Berdasarkan pemeriksaan Ombudsman, Dinas Pendidikan Banten juga diduga tak mempersiapkan pelaksanaan PPDB daring secara maksimal. Dugaan itu terlihat dengan tidak adanya daftar isian pelaksana anggaran (dipa) pelaksanaan. Pengembangan sistem PPDB pun tidak ada dalam daftar proyek dan anggaran dinas pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun ini. “Pencopotan kalau ditemukan kesalahan fatal, termasuk pelanggaran hukum selain maladministrasi,” kata Dedi.
Hingga berita ini ditulis, Pemprov Banten belum memberi tanggapan atas tuduhan Ombudsman tersebut. Tabrani pun hanya membenarkan informasi bahwa dirinya sedang dalam masa pemulihan dari serangan virus corona. “Sedang dirawat,” kata dia.
FRANSISCO | AYU CIPTA | M.A. MURTADHO | ADE RIDWAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo