Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya mengungkap praktik pungutan liar di Rumah Tahanan Kelas II B Depok. Praktik lancung yang diduga melibatkan para petugas rumah tahanan itu terungkap melalui  rapid assesment  atau penelusuran cepat yang digelar Ombudsman sejak awal Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Teguh Nugroho menjelaskan pungutan liar di Rutan Depok antara lain berupa biaya kunjungan keluarga tahanan dan narapidana; uang penempatan tahanan di sel tertentu; uang ngemil (makanan ringan) petugas; hingga layanan pembebasan bersyarat. "Indikasi keterlibatan para petugas seperti sipir sangat kuat," ujar dia di kantornya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teguh menjelaskan, pungutan liar waktu kunjungan, misalnya, merupakan pelicin agar keluarga tidak antre lama untuk bertemu dengan tahanan atau narapidana. "Tarif" kunjungan sekali datang adalah Rp 25–150 ribu.
Pungutan liar lain yang nilainya lebih besar, menurut Teguh, adalah penempatan tahanan dan narapidana di sel tertentu. Tahanan baru bisa memilih sel dengan tarif Rp 2–8 juta. Pungutan sekali bayar itu ditujukan untuk mendapatkan sel yang isinya lebih longgar.
Teguh menjelaskan, tahanan dan narapidana yang membayar Rp 8 juta akan ditempatkan di sel yang agak kosong dan tidak bercampur dengan narapidana lama. Dengan begitu, tahanan baru bisa terhindar dari penindasan tahanan dan narapidana lama. "Dampaknya ialah adanya penumpukan tahanan dan narapidana di sel lainnya," ujar dia.
Setelah resmi menjadi warga "hotel prodeo", tahanan dan narapidana juga masih dimintai  uang sebesar Rp 50–100 ribu per minggu. Uang itu dibayarkan kepada petugas melalui tahanan pendamping atau "tamping". Tahanan khusus ini diangkat petugas untuk mengkoordinasikan sesama tahanan dan narapidana.
Kepala Keasistenan Penegakan Hukum Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya, Indra Wahyu, mengungkapkan temuan lainnya di Rutan Depok. Menurut dia, setiap tahanan dan narapidana dikenai iuran mingguan sebesar Rp 25–120 ribu. Duit itu disetorkan melalui kepala kamar. Kepala kamar selanjutnya menyetorkannya kepada foreman, yakni tahanan atau narapidana senior yang ditakuti tahanan narapidana lainnya, atas sepengetahuan petugas penjara.
Para tahanan dan narapidana, menurut Indra, juga masih dikenai pungutan uang ngemil atau makanan ringan untuk petugas pengawasan. Uang ngemil itu nilainya relatif lebih kecil dibandingkan dengan pungutan liar lainnya.
Menurut Indra, pungutan liar di Rutan Depok masih marak karena petugas di sana jarang dirotasi ke tempat lainnya. "Ada petugas yang sudah bertugas lima sampai delapan tahun dan enggak kena rolling," ujar dia. Walhasil, petugas di Rutan Depok sudah saling mengenal dengan tahanan dan narapidana. Hal itu, kata Indra, mendorong terjadinya pungutan liar dan pelanggaran lain di rumah tahanan itu.
Teguh menambahkan, pungutan liar di Rutan Depok masih terjadi lantaran lemahnya pengawasan dan penegakan tata tertib. "Kepala Rutan belum optimal dalam mencegah terjadinya maladministrasi dan tidak melakukan antisipasi," ujar dia.
Teguh juga meminta Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merotasi petugas Rutan Depok setiap dua tahun. Tujuannya, agar hubungan petugas dengan tahanan dan narapidana tidak terlalu intim dan meminimalkan praktik pungutan liar.
Kepala Rutan Depok, Bawono Ika Sutomo, menghargai temuan praktik pungutan liar oleh Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya. Dia berjanji menjadikan temuan itu sebagai bahan untuk memperbaiki pengelolaan dan regulasi di Rutan Depok. "Yang jelas kami berproses untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakat," ujar dia. IRSYAN HASYIM | GANGSAR PARIKESIT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo