Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pacuan Di Luar Gelanggang

KESIBUKAN bertugas sebagai dokter sekaligus perwira di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menyita sebagian besar waktu Mohamad Sarengat. Namun kecintaannya pada olahraga dan atletik tak pudar. Sarengat kembali ke dunia yang pernah membesarkan namanya. Menjadi pengurus Persatuan Atletik Seluruh Indonesia, Sarengat ikut mengawasi latihan serta membujuk anak-anak muda di daerah bergabung menjadi atlet. Ia juga melakukan pembaruan di Komite Olahraga Nasional Indonesia, yang tadinya dikenal "angker" bagi pengurus olahraga dan atlet daerah.

15 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peran Baru di Tempat Lama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih dari 10 tahun setelah menggantung sepatu larinya, Sarengat kembali terjun ke dunia atletik. Ia ikut membenahi sistem pembinaan dan rajin memotivasi atlet muda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENYANDANG gelar dokter dan menjadi perwira Angkatan Darat, Mohamad Sarengat kian sibuk. Pada 1970-an, sebagian besar waktunya habis di antara klinik, urusan keluarga, dan tugas kemiliteran. Belum lagi Sarengat adalah bagian dari tim dokter kepresidenan. Dia nyaris melupakan dunia olahraga dan atletik yang pernah membuat namanya tersohor.

Pacuan Di Luar Gelanggang

Meski demikian, dunia olahraga tak benar-benar pergi dari kehidupan Sarengat. Namanya masih berkibar sebagai pemegang rekor Asia nomor lari 100 meter sejak Asian Games 1962. Meski memutuskan pensiun seusai kejuaraan Pesta Olahraga Negara-negara Berkembang (Games of the New Emerging Forces/Ganefo) 1963, Sarengat masih diharapkan banyak orang turun gunung ikut membina olahraga dan atletik Indonesia.

Adalah Mohamad Hasan yang berhasil membujuk Sarengat kembali ke atletik. Pengusaha yang akrab disapa Bob Hasan itu adalah Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI). Dia juga orang dekat Presiden Soeharto.

Menurut Bob, latar belakang Sarengat sebagai atlet adalah alasan penting baginya meminta mantan sprinter itu menjadi pengurus PASI. Sarengat juga dinilai dapat menjadi patron bagi tim atletik. "Dia punya pengalaman dan motivasi untuk para atlet muda," kata Bob saat ditemui di sela-sela persiapan tim nasional atletik untuk Asian Games 2018 di Stadion Madya Senayan, Jakarta, akhir Juli lalu.

Bob bahkan sampai menelepon ke rumah Wakil Presiden Adam Malik, tempat Sarengat berdinas. "Telepon itu mengejutkanku," ujar Sarengat seperti ditulis dalam otobiografinya, Namaku Sarengat, yang terbit pada 2009.

Sarengat ingat sebelumnya bertemu dengan Bob Hasan dalam lomba atletik di Cibubur kala ia masih menjadi dokter Wakil Presiden Hamengku Buwono IX. Saat itu Bob sebenarnya sudah berusaha mengajak Sarengat membantunya mengurus atletik.

Sarengat bergeming dengan alasan sibuk dinas dan mencari nafkah untuk keluarga. Bob sampai menawari akan menanggung kebutuhan keluarga Sarengat. Tawaran itu berakhir tanpa keputusan dan Sarengat kembali sibuk dengan dunia kedokteran serta militer.

Bujukan melalui telepon di rumah Adam Malik itu meluluhkan Sarengat. Apalagi Bob langsung menawarkan posisi Ketua Bidang Pembinaan PB PASI. Sarengat ragu-ragu, tapi Bob terus mendesak. "Yang penting Pak Sarengat mau apa enggak? Yang lain-lain bisa saya atur, jangan khawatir."

Dengan dukungan Bob Hasan dan kawan-kawannya yang dulu juga menjadi atlet, Sarengat pun masuk PASI pada 1979. Ia langsung terlibat dalam pembuatan program dan jadwal latihan para atlet. Meski demikian, Sarengat tak meninggalkan tugasnya sebagai dokter pribadi wakil presiden.

Menurut adik Sarengat, Mohamad Yogyahartono, pengalaman Sarengat sebagai atlet jelas menarik bagi PASI. Apalagi Sarengat juga seorang dokter. Namun dia mengaku awalnya tak tahu apa isi detail obrolan antara Bob dan Sarengat. "Tiba-tiba waktu itu dia sudah di PASI," kata pria yang akrab disapa Tony itu pada akhir bulan lalu.

Di tengah usaha membina para atlet, Sarengat mendapati sejumlah masalah mengganjal atletik Indonesia, antara lain kurangnya pelatih dan fasilitas latihan. Para atlet di Jakarta biasa berlatih di kompleks Senayan, yang merupakan fasilitas olahraga terbesar di Indonesia. "Di daerah, atlet berlatih dengan sarana seadanya," ucap Sarengat. "Prestasi atlet menjadi tidak stabil."

Regenerasi atlet juga menjadi isu yang disorot Sarengat. Ia bahkan terlibat dalam perekrutan anak-anak muda untuk tim atletik. Bersama Bob Hasan, menurut Tony, Sarengat pergi ke daerah-daerah mencari talenta baru untuk dibina oleh PASI. "Bob Hasan itu terkenal total mengurus atletik. Sampai pelatih pun dikirim untuk latihan," kata Tony, yang juga mantan sprinter nasional.

Upaya mendapatkan bakat baru untuk tim atletik tidak selamanya mulus. Beberapa kali ada keluarga yang menolak anaknya menjadi atlet. Menurut Tony, penolakan itu lebih banyak disebabkan oleh keraguan keluarga akan masa depan atlet yang kerap dianggap tak jelas.

Ganjalan lain adalah anggapan dunia atletik tak cocok untuk perempuan. Tony mengingat pada 1980-an ada sejumlah pelari dan sprinter perempuan potensial dari Jawa Tengah. Namun keluarga melarang mereka menjadi atlet. Bob Hasan dan Sarengat turun tangan ikut membujuk. "Bob Hasan dan Mas Sarengat nyusul ke sana untuk menarik dia tetap menjadi atlet," ujar Tony.

Mandeknya prestasi Indonesia, menurut Sarengat, juga disebabkan oleh macetnya pembinaan olahraga di tingkat sekolah. Sarengat mengatakan sistem pembibitan dan pembinaan seharusnya dilakukan sistematis seperti pada banyak sekolah hingga perguruan tinggi di luar negeri.

Sebagai induk olahraga yang memiliki gerakan dasar lari, lempar, dan lompat, menurut Sarengat, atletik seharusnya dimasukkan ke kurikulum sekolah. "Di Indonesia, kalau sudah perguruan tinggi tidak ada olahraga, padahal usia mahasiswa adalah usia emas untuk olahraga," katanya.

Sarengat pun berfokus pada nomor lari perseorangan, seperti sprint 100 meter, hingga estafet. Namun dia tak meninggalkan nomor lain yang lebih teknis, seperti lari gawang, lempar cakram, dan tolak peluru. Selama di PASI, menurut Tony, Sarengat selalu menyemangati para atlet muda. Saat ada pemusatan pelatihan, ia kerap datang.

Pada era Sarengat, PASI merekrut sejumlah atlet berbakat. Beberapa sprinter yang mencorong antara lain Purnomo Muhammad Yudhi dan Afdiharto Mardi Lestari. Ada lagi Heru Prayogo, yang menjadi andalan di nomor 110 meter lari gawang. Mereka merajai trek lari nasional dan Asia pada 1980-an.

Purnomo bahkan sukses mematahkan rekor nasional sprint 100 meter, 10,4 detik, milik Sarengat yang bertahan selama 22 tahun sejak Asian Games 1962. Purnomo juga membuat rekor nasional baru 10,3 detik di Olimpiade Los Angeles, Amerika Serikat, 1984.

Sarengat sangat puas ketika Purnomo bisa mengalahkan rekor lari miliknya. Dia bahkan larut dalam haru dan menangis sambil memeluk Purnomo serta merayakan keberhasilan itu bersama. "Aku bangga sama kamu," ujar Purnomo menirukan ucapan sprinter idolanya itu.

Lima tahun kemudian, giliran Mardi Lestari mematahkan rekor Purnomo setelah membukukan waktu 10,20 detik di Pekan Olahraga Nasional 1989. Rekor nasional milik Mardi bertahan selama 20 tahun dan dipecahkan Suryo Agung Wibowo dengan catatan waktu 10,17 detik.

Adapun Heru Prayogo adalah pelari yang memecahkan rekor nasional milik Sarengat di nomor 110 meter lari gawang yang telah bertahan 25 tahun. Di SEA Games 1987, Heru membukukan waktu 14,29 detik atau 0,13 detik lebih cepat daripada rekor Sarengat. Rekor ini dikalahkan Edy Zakaria 17 tahun kemudian dengan waktu 14,11 detik saat mengikuti Olimpiade di Athena, Yunani. Sekarang pemegang rekor nasional di nomor ini adalah Rio Maholtra dengan catatan waktu 14,08 detik. Rio akan turun di Asian Games nanti.

Kinerja dan pengalaman Sarengat sebagai atlet ternyata memikat para pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia. Dalam sebuah pertemuan, Ketua Harian KONI Dadang Suprayogi pernah membujuk Sarengat untuk bergabung. Tawaran tersebut tak diindahkan Sarengat, yang kala itu masih disibukkan oleh tugasnya sebagai dokter pribadi Wakil Presiden Hamengku Buwono IX.

Tawaran itu datang lagi setelah Musyawarah Olahraga Nasional 1986. Saat itu Soerono terpilih menjadi Ketua Umum KONI menggantikan Hamengku Buwono IX. Tak tanggung-tanggung, kala itu Ketua Mahkamah Agung Ali Said yang menelepon Sarengat dan mengabarkan bahwa Soerono membutuhkan keahliannya di KONI.

Dalam pertemuan di rumah Soerono, seperti disebutkan dalam buku otobiografinya, Sarengat kaget dan bingung saat disodori formulir jabatan Sekretaris Jenderal KONI. Meski tegang, ia tetap mengisi formulir itu dan menyatakan kesediaannya menjabat sekretaris jenderal.

Dukungan Soerono meringankan beban yang sempat membayangi Sarengat. Menurut Soerono, Sarengat adalah orang yang tepat mengisi posisi Sekretaris Jenderal KONI karena dinilai punya wawasan olahraga. Sarengat juga seorang sarjana dan tentara serta memiliki waktu bertugas yang cukup. "Yang paling penting, direstui Presiden," kata Soerono.

Untuk meyakinkan Sarengat tentang posisinya di KONI, Sarengat diminta melapor kepada atasannya di Angkatan Darat. Ia menemui Try Sutrisno, yang kala itu menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Gayung bersambut, Try merestui tugas baru Sarengat di KONI.

Mendapat tugas baru, Sarengat mengawal persiapan tim nasional Indonesia menuju Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan. Namun dia menemui banyak ketimpangan di dalam tubuh KONI. Banyak orang yang hanya ingin menikmati pesta pora itu dan tak mengindahkan urusan para atlet.

Hasilnya, prestasi Indonesia di Seoul melorot ke posisi kesembilan. Padahal, empat tahun sebelumnya, Indonesia ada di peringkat keenam.

Gerah terhadap kondisi itu, Sarengat mereformasi sistem administrasi di KONI. Urusan surat-menyurat yang sebelumnya tak terkendali akhirnya bisa diatur ulang. Sarengat mendapati banyak surat yang tidak diketahui asal-usulnya masuk dan keluar dari KONI. Sempat mendapat kritik dan tentangan, perubahan sistem itu membawa hasil baik.

Sarengat pula yang menginisiasi penataan gedung KONI menjelang SEA Games. Bangunan itu tadinya kelihatan "angker" sehingga dijauhi para pengurus cabang olahraga. Lagi-lagi usahanya mendapat tentangan dan dianggap menghamburkan anggaran. Namun Sarengat bergeming.

Masa dinas Sarengat berakhir saat Musyawarah Olahraga Nasional 1990. Meski demikian, warisannya tetap tertoreh di lembaga itu. "Aku hanya ingin orang bangga kepada KONI dan percaya terhadap dunia olahraga," ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus