Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANGLIMA Tentara Nasional Indonesia Jenderal Moeldoko kini harus menghadapi tudingan bahwa institusinya tak netral pada pemilihan presiden. Dari tentara di ujung paling bawah sampai pucuk pimpinan dituding menyokong salah satu kandidat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah "teguran" Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyebutkan ada usaha menarik perwira tinggi TNI berpolitik, muncul perkara baru: bintara pembina desa mengarahkan pilihan penduduk. Sejumlah informasi menyebutkan para bintara di berbagai tempat berkampanye agar masyarakat memilih "calon yang tegas"-diasosiasikan dengan Prabowo Subianto, perwira dengan pangkat terakhir jenderal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini senior Moeldoko pun berseteru secara terbuka. Para purnawirawan yang terpolarisasi pada kedua kandidat saling serang di media massa. Adu bicara itu mengeras setelah bocornya surat keputusan Dewan Kehormatan Perwira yang memberhentikan Prabowo Subianto dari militer akibat kasus penculikan sejumlah aktivis prodemokrasi pada 1998.
Jumat pekan lalu, Jenderal Moeldoko mengumpulkan semua panglimanya. Rapat tiga jam lebih itu dihadiri 61 perwira tinggi. Tiga kepala staf angkatan tidak hadir dan hanya mengirimkan wakil masing-masing. Mereka dibariskan di belakang Moeldoko ketika ia menggelar konferensi pers. "Kami solid, komando ada di tangan Panglima TNI," katanya.
Kepada Agustina Widiarsi dan Amos Simanungkalit dari Tempo, yang menemuinya di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat pekan lalu, peraih bintang Adhi Makayasa 1981 ini menjelaskan situasi yang terjadi.
Apa yang Anda harapkan dalam rapat dengan para panglima itu?
Evaluasi situasi terakhir. Kami juga menyiapkan seluruh kekuatan TNI untuk membantu kepolisian menjaga keamanan pemilu presiden. Saya menekankan kembali soal netralitas TNI. Semua panglima mengatakan siap bekerja keras menjaga netralitas. Masyarakat tak perlu ragu terhadap netralitas kami.
Netralitas TNI ditekankan lagi karena kasus babinsa yang menggalang dukungan?
Itu semua omong kosong. Tak ada babinsa yang mengintervensi masyarakat agar memilih calon presiden tertentu. Saya sudah memeriksa menyeluruh pimpinan anggota itu. Sudah final, tak ada garis komando. Tak perlu diperpanjang lagi karena tak ada yang melanggar netralitas. Saya tidak suka hal seperti itu dituduhkan kepada babinsa saya.
Sebenarnya garis komando babinsa itu ke mana?
Kalau operasi teritorial itu jalur panglima. Pembinaan teritorial itu di bawah Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Lalu mengapa kesimpulan Panglima TNI tentang kasus babinsa bisa berbeda dengan KSAD, yang menyatakan ada pelanggaran?
Dalam konteks situasi politik, yang menyampaikan memang seharusnya Panglima TNI. Begitu kasus itu muncul, langsung kami cek. Hasilnya, tak ada pelanggaran netralitas. Itu soal teknis personel babinsa bersikap saja. KSAD melihat dari konteks profesionalitas, ada hal-hal tidak pas yang dilakukan babinsa. KSAD memberi sanksi kepada yang bersangkutan.
Ada yang mengusulkan, selama pemilu presiden, babinsa ditarik dulu.
Tidak akan ditarik. Babinsa menjadi ujung tombak pembinaan teritorial sesuai dengan doktrin pertahanan yang diatur Undang-Undang Dasar 1945. Saya sudah memerintahkan seluruh pimpinan, danrem (komandan resor militer), dandim (komandan distrik militer), dan panglima daerah untuk menjaga teritorial dengan sebaik mungkin. Sebatas itu, tak boleh menabrak garis. Jika tidak netral, akan saya tindak tegas.
Bagaimana menjelaskan pengerahan babinsa di Sumedang?
Sudah kami cek dan itu isu. Saya sangat berharap masyarakat tak mencurigai TNI, baik babinsa maupun satuan teritorial lain.
Bagaimana Anda memastikan prajurit di tingkat bawah steril dari pengaruh mantan komandannya yang kini bergabung ke pendukung calon presiden?
Sejak awal kami sampaikan ke prajurit, jangan tidak netral karena rasa setia kawan kepada bekas atasannya, karena semangat kedaerahan, karena hubungan emosional, ataupun karena dikasih duit. Meski di blok sini ada mantan atasan, di blok sana juga ada, abaikan. Tak ada loyalitas kepada mantan atasan.
Loyalitas kepada mantan atasan itu maksudnya apa?
Kepada para purnawirawan pendukung kedua kandidat. Bisa siapa pun yang punya kepentingan macam-macam.
Tarung antar-purnawirawan jenderal sudah sedemikian sengitkah?
Anda sudah melihatnya. Saya prihatin karena situasi seperti ini, selain tak mendidik, bisa dipersepsikan tak sehat oleh para prajurit. Apalagi di bawah sudah berceloteh bahwa para senior ini, kalau saling menyakiti, meninggalnya tak usah diantar ke kuburan saja.
Seberapa keras pengaruh purnawirawan itu kepada prajurit?
Yang jelas, apa pun suara purnawirawan tidak akan mempengaruhi kami. Mau ngomong apa pun, TNI tak akan terpengaruh.
Anda bisa menjamin tak ada panglima Anda yang main mata?
Saya yakin karena, kalau macam-macam, mereka bisa saya copot. Dan tak perlu konsultasi dengan kepala staf angkatan untuk mencopotnya.
Bagaimana soal bocornya dokumen Dewan Kehormatan Perwira yang menjadi amunisi pertarungan?
Saya sudah tanya Kepala Sekretariat Umum Mabes TNI yang bertanggung jawab mengamankan arsip, apakah dokumen itu ada atau tidak. Ternyata dokumen itu tidak ada di Mabes TNI. Sedang kami lacak dan kami membentuk tim untuk itu. Saya belum pernah memegang, apalagi membaca versi aslinya, meski banyak beredar di YouTube. Karena itu, saya tak mau mengomentari sesuatu yang tak saya ketahui dan tak saya pahami.
Dokumen itu seharusnya di mana?
Saya belum bisa berbicara, karena sedang kami telusuri di mana posisinya. Sedang kami kejar siapa yang membocorkan.
Anda kabarnya bertemu dengan Jokowi beberapa kali.
Pertemuan dengan Jokowi sebagai gubernur dilakukan jauh sebelum pencalonan. Saya mengundang beliau ke Cilangkap, terkait dengan penataan kawasan di sekitar Mabes TNI yang padat, semrawut, dan macet. Kami berbicara soal kebutuhan penataan, anggaran, dan blusukan ke lapangan sekitar. Hanya itu. Terus terang, meski rumah dinas kami bertetangga, saya tak pernah loncat pagar.
Anda dikabarkan juga bertemu dengan Megawati.
Saya bertemu dengan Ibu Megawati di kediaman, soal kehadiran Grup D, pasukan pengamanan mantan presiden. Tidak hanya Ibu Mega, tapi juga Pak Habibie serta para mantan presiden dan wakil presiden lainnya. Lagi pula, saya tak sendiri. Ada beberapa perwira dari markas besar lainnya.
Anda kerabat mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut Moekhlas Sidik, yang kini menjadi petinggi tim pemenangan Prabowo?
Betul, dia adik ipar saya. Kami sudah lama tak bertemu.
Posisinya sebagai wakil ketua tim pemenangan Prabowo-Hatta apakah dibicarakan dengan Anda?
Enggak ada. Setiap ketemu Moekhlas, selalu urusan keluarga. Tak ada pembicaraan politik. Garis dan batasan saya sudah jelas untuk urusan seperti itu. Jadi enggak ada hubungannya.
Kepala Pusat Penerangan TNI juga pernah menjadi sekretaris pribadi Prabowo.
Terus kenapa? Kalau dia mau main-main dukungan, saya jelas akan memecatnya. Panglima TNI tak main-main.
Sebenarnya hubungan Anda dengan KSAD bagaimana?
Enggak ada apa-apa. Kemarin kami rapat bareng, apa yang salah?
Ada rivalitas di antara dua jenderal?
Apa lagi yang harus saya rivalkan? Saya sudah Panglima TNI. Selama ini, KSAD juga tak mbalelo pada perintah saya. Apakah ada pernyataan yang keras bertentangan? Hanya kemarin, kasus babinsa, yang sebenarnya tak bisa jernih dipahami masyarakat. Padahal sebenarnya kami solid.
Benarkah KSAD Jenderal Budiman sempat menjadi kandidat calon wakil presiden pendamping Jokowi?
Petunjuk Presiden sudah jelas, seluruh unsur pimpinan TNI dan Polri tak melakukan pendekatan kepada pimpinan partai politik. Kalaupun ada, itu isu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tak Ada Loyalitas kepada Mantan Atasan"