Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Panitia Seleksi KPK Cecar ‘Kasus Etik’ Firli

Firli juga ditanya mengenai biaya penginapan anak dan istrinya di hotel selama dua bulan.

28 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Panitia Seleksi Calon Pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi mengorek motivasi Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, Inspektur Jenderal Firli Bahuri, mendaftar sebagai calon pemimpin lembaga antirasuah. Rekam jejak Firli yang pernah dipulangkan ke kepolisian ketika menjabat Deputi Penindakan KPK mencuri perhatian anggota Panitia Seleksi. "Tujuan Bapak itu apa? Apa karena menjadi pimpinan KPK itu enak? Untuk memperkuat KPK? Dahaga pengabdian di KPK? Atau sebetulnya Bapak ingin membalas dendam?" kata anggota Panitia Seleksi, Marcus Priyo Gunarto, saat tes wawancara di kantor Sekretariat Negara, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain soal tujuan, Panitia Seleksi menanyakan soal dugaan pelanggaran etik yang pernah dilakukan Firli semasa menjabat Deputi Penindakan KPK. Kala itu, Firli dituding melanggar kode etik lantaran bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat, Zainul Majdi, pada 2018 yang sedang menjadi saksi dalam dugaan korupsi dana divestasi Newmont. Di tengah pemeriksaan dugaan pelanggaran etik itulah Firli ditarik kembali ke kepolisian lalu dipromosikan menjadi Kepala Polda Sumatera Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada panita dan panelis, Firli membenarkan bahwa ia pernah bertemu dengan Tuan Guru Bajang-sapaan akrab Zainul-pada masa penyelidikan dugaan korupsi Newmont. Namun ia membantah melanggar aturan karena pertemuan itu tidak disengaja. Pertemuan itu, kata Firli, juga sudah diklarifikasi oleh lima pemimpin KPK saat itu. "Hasilnya dari pertemuan itu bahwa tidak ada fakta yang mengatakan bahwa saya melanggar etik, karena unsurnya memang tidak ada. Dia bukan tersangka, dan saya tidak mengadakan hubungan," ujar dia.

Klarifikasi Firli dibantah oleh juru bicara KPK, Febri Diansyah. Menurut dia, pemimpin KPK tidak pernah mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan bahwa Firli tidak bersalah. Bahkan, Febri menambahkan, tim pengawas internal tak hanya menemukan satu pertemuan yang dilakukan Firli, melainkan tiga atau empat kali. "Pimpinan menugaskan Dewan Pertimbangan Pegawai untuk membahas lebih lanjut, tapi proses ini tidak selesai karena yang bersangkutan tak menjadi pegawai KPK lagi," kata dia.

Pertanyaan berlanjut pada dugaan gratifikasi yang diterima Firli. Menurut Ketua Panitia Seleksi Yenti Garnasih, ada yang melaporkan bahwa Firli pernah dibiayai seseorang untuk menginapkan anak dan istrinya di Hotel Grand Legi, Mataram, selama dua bulan, sejak 24 April hingga 26 Juni. "Ini hanya masukan dari masyarakat, Pak Firli. Saya hanya menyampaikan saja. Saya tidak menuduh, ya, Pak. Apakah Bapak bisa klarifikasi?" kata Yenti.

Firli membenarkan pernah menginapkan anak dan istrinya di hotel selama dua bulan. Namun ia mengatakan pembayaran hotel dilakukan oleh istrinya. "Dalam amplop cokelat, saya ada buktinya. Tidak benar saya terima gratifikasi karena menginap di hotel," kata dia.

Sesi wawancara Firli ditutup pertanyaan panelis Luhut Pangaribuan, yang menyoal kasus rekening gendut. Namun pertanyaan itu tak terjawab karena Yenti menutup sesi dengan alasan waktu telah habis.

Sebanyak tujuh dari 20 calon pemimpin KPK mengikuti uji publik bersama sembilan anggota Panitia Seleksi dan dua panel ahli di Kantor Sekretariat Negara, kemarin. Selain Firli, enam orang lain yang mengikuti wawancara di hari pertama uji publik ini adalah Wakil Ketua KPK Alexander Marwata; Inspektur Jenderal Antam Novambar; Widyaiswara Madya Sespim Lemdiklat Polri Bambang Sri Herwanto; karyawan PT Bank Mandiri, Cahyo R.E. Wibowo; dan penasihat Menteri Desa, Jimmy Muhamad Rifai Gani. Wawancara 13 kandidat lain digelar hari ini dan besok.

Dari tujuh calon yang menjalani uji publik kemarin, nama Firli dan Antam yang paling banyak disorot. Sama-sama berasal dari kepolisian, keduanya dinilai memiliki rekam jejak yang tidak bersih.

Sama seperti Firli, Panitia Seleksi mengklarifikasi tuduhan yang selama ini ditujukan kepada Antam. Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri itu dituding pernah mengintimidasi mantan Direktur Penyidikan KPK, Komisaris Besar Endang Tarsa, agar mau menjadi saksi meringankan dalam kasus rekening gendut yang menyeret nama Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan. Peristiwa itu terjadi di restoran cepat saji McDonald’s Ciledug, Tangerang, pada 8 Februari 2015.

Versi Antam, saat itu Endanglah yang berinisiatif untuk memberikan keterangan yang meringankan Budi dalam sidang praperadilan. Menurut Antam, Endang bercerita bahwa ada kesalahan yang disengaja dalam penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka. "Saya senang, bahagia, karena polisi mau bela polisi. Ternyata dia tidak datang. Marah saya karena merasa dibohongi," tutur dia.

MAYA AYU PUSPITASARI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus