Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan Raya Pos pecah menjadi dua di Tuban. Yang lurus ke Sedayu via Paciran terus menyusuri sisi pantai sampai ke Gresik merupakan jalur lama buatan Herman Willem Daendels. Sedangkan yang turun ke selatan melewati Lamongan ke Gresik adalah jalur baru yang dibuat pada 1930-an.
Kebanyakan orang kini mengenali jalur baru ini sebagai kelanjutan dari Jalur Pantai Utara (Pantura), yang membentang sepanjang pesisir utara Jawa dari Cirebon sampai Tuban, meski jalur baru ini tidak menyusuri pantai.
Para sopir dari Tuban yang akan ke Gresik kebanyakan memilih menggunakan jalur baru ini lantaran jaraknya lebih dekat dibanding Jalan Raya Pos. Jarak antara Tuban dan Gresik melalui jalur Daendels 88 kilometer, sedangkan bila melalui "Pantura palsu" itu jauhnya 81 kilometer.
Priyono, sopir truk 14 roda, misalnya. Ahad, 10 Mei 2015, ia mendapat tugas mengantar bahan baku parafin dari Bojonegoro ke markas perusahaan kilang minyak di pelabuhan Lamongan Integrated Shorebase. Alamatnya di jalan Daendels Kilometer 64-65, Kecamatan Paciran, Lamongan.
Satu-satunya cara menuju lokasi adalah dengan menyusuri jalan Daendels asli itu. "Kalau tidak terpaksa, saya tidak akan lewat jalan ini," kata pria 40 tahun tersebut. Priyono malas melewati jalan Daendels karena ada portal saringan truk Jembatan Sembayat di ruas Kecamatan Manyar, Gresik. Dinas Perhubungan menerapkan sistem buka-tutup sejak jembatan yang tiga tahun lalu nyaris ambrol itu diperbaiki. Truk yang rodanya lebih dari enam hanya boleh lewat pada waktu-waktu tertentu. Akibatnya, jika tersendat di sana, waktu tempuh jadi tak terduga.
Sopir truk logistik 12 roda, Budi Triyono, punya alasan lain. Pria 53 tahun itu lebih suka "Jalan Pantura" baru karena banyak tempat peristirahatan bagi pengemudi. Di sana hampir setiap 500 meter ada warung tempat kongko sopir truk. "Kalau di jalan Daendels tidak ada," ujar Budi.
Lebar jalan Daendels asli Tuban-Gresik 6 meter dan dipakai oleh kendaraan dari dua arah. Sedangkan Jalur Pantura baru itu lebar untuk satu arah bisa 9-10 meter. Kendati aspalnya sama-sama mulus, "Jalan Pantura palsu" rupanya lebih diminati. Sejauh pengamatan Tempo, memang truk besar jarang melewati jalan Daendels. Jikapun ada, hanya truk-truk bermuatan kecil beroda empat atau enam. Yang lewat sana umumnya kendaraan kecil, seperti mobil keluarga, sedan, dan minibus. Sesekali saja lewat bus.
Sementara itu, di "Pantura palsu", jalanan tampak seperti lautan tronton. Kepala Satuan Tugas Jembatan Timbang Widang Tuban-Banyuwangi Wiyoso mengatakan dalam sehari bisa 1.500-2.000 truk melalui Jalan Pantura. Mereka yang melalui Tuban umumnya hendak melanjutkan perjalanan ke Surabaya, Malang, Banyuwangi, hingga Bali.
"Yang lewat jalan Daendels itu biasanya truk yang menghindari jembatan timbang. Sebab, di sini kalau ketahuan kelebihan muatan harus bayar denda," katanya.
JOYO Isnadi, 100 tahun, mungkin adalah saksi mata jalan Daendels lama. Kakek ini sejak kecil hingga kini tinggal di rumah persis di tepi jalan itu. Ia mengatakan jalan Daendels pada masa kecilnya sangat sepi. Jalan itu baru ramai sejak banyak perusahaan membuka pabrik di sana. "Sebelumnya sepi. Dari zaman Belanda sampai Soeharto sepi," ucap Joyo.
Dulu, menurut dia, sejauh pandangan mata, rumah di pinggir jalan Daendels masih bisa dihitung jari. Berbeda dengan sekarang, rumah berimpitan satu sama lain. Joyo mengatakan ruas jalan Daendels di depan rumahnya diaspal pada 1936. Proyek itu digerakkan oleh pemerintah Belanda. Berbeda dengan cara-cara Daendels, pemerintah Belanda tak lagi menerapkan kerja paksa. "Semuanya diupah," ujar Joyo.
Pada tahun itu, kata Joyo, juga sudah ada cabang jalan di Tuban yang mengarah ke selatan. Pangkalnya di Tuban dan berakhir di Gresik. Cabang jalan itu kemudian berkembang menjadi Jalan Pantura. "Cabang itu sudah lama sekali, sejak 1930-an," tuturnya.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Cabang Lamongan Agus Mulyono mengatakan hal serupa. Nelayan yang juga jadi Kepala Desa Kandang Semangkon, Kecamatan Paciran, Lamongan, ini mengatakan, sekitar 20 tahun lalu, jalan Daendels di depan rumahnya serupa kawasan mati. Jarang sekali kendaraan hilir-mudik di sana. "Dulu di sini masih sangat sepi," katanya.
Sejak pemerintah Lamongan menetapkan pesisir Pantai Utara menjadi daerah pariwisata dan kawasan industri, daerah tersebut jadi hidup. Dalam 15 tahun terakhir, kawasan pesisir Pantai Utara yang dilewati jalan Daendels cukup ramai. Kepala Badan Perizinan dan Penanaman Modal Lamongan Chairil Anwar mengatakan banyak pabrik baru didirikan di sana, dari pabrik pupuk hingga pabrik pembuatan karung goni.
Pada 2013, pemerintah membangun tempat pelelangan ikan di Kecamatan Berondong, yang menjualbelikan tangkapan di laut sampai 300 ton per hari. Tempat itu merangsang pertumbuhan industri perikanan di sana. Chairil mengatakan setidaknya ada 12 pabrik pengolah hasil laut didirikan di pesisir Lamongan.
Pusat keramaian lain di pesisir Lamongan adalah Wisata Bahari Lamongan, yang dibangun berdekatan dengan tempat wisata Gua Maharani dan Tanjung Kodok. Di kawasan wisata yang dibangun di atas lahan seluas 18 hektare itu terdapat 40 lebih wahana bermain, dari roller coaster mini hingga kolam renang raksasa. Saat musim libur, 5.000-7.000 pengunjung bertandang ke taman rekreasi yang dibangun perusahaan Jatim Group itu. "Kami membuka taman rekreasi di sini karena mempermudah masuknya investasi," ujar Didik, Marketing Executive Wisata Bahari.
Kartiamah, 44 tahun, pemilik warung di dekat lokasi wisata tersebut, mengatakan sarana rekreasi itulah yang membuat jalanan Daendels sepi. "Sebelum ada ini, ya, sepi-sepi saja," ucapnya.
PERUBAHAN peran jalan Daendels tak hanya terjadi di ruas Tuban-Gresik. Sepanjang Anyer hingga Panarukan, ada banyak kasus serupa. Salah satu yang terpanjang adalah jalan Daendels ruas Jakarta-Bandung, yang telah tergantikan oleh jalan tol Cikampek-Padalarang (Cipularang), yang dioperasikan pada 2005. Adanya jalan tol Cipularang membuat rute Bogor-Puncak-Padalarang tak laku. Yang dulu jadi jalur logistik, kini lebih condong jadi jalur wisata.
Begitu juga jalan Daendels di ruas Palimanan hingga Cirebon. Jalan Daendels yang membentang hingga 70 kilometer itu tergantikan oleh jalan tol Palimanan-Kanci, yang dioperasikan pada 1998.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo