Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUASANA mendadak senyap. Tak ada sama sekali suara yang merambat ke telinga. Beku, layaknya angin yang berembus dingin di wilayah Woodford, Queensland, 80 kilometer ke utara Brisbane, Australia, awal November lalu.
Di sebuah ruangan seluas 35 meter persegi, di dalam kompleks penjara milik pemerintah Negeri Kanguru, 27 warga negara Indonesia duduk melingkar. Sweater hijau kombinasi kuning khas Australia membungkus tubuh mereka. Wajah mereka tegang. "Ayo, santai saja, ceritakan semuanya. Ini ada yang menjenguk kalian, Bapak Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dari Jakarta," ujar Fahmi Jamaludin Malik, anggota staf konsuler di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Sydney yang setia mendampingi mereka dalam proses bantuan hukum selama ini, memecah hening.
Denny Indrayana, sang wakil menteri, tersenyum mendengar pembukaan Fahmi. Setelah itu, rona-rona tegang pun mengendur. Satu per satu warga Indonesia yang tertangkap gara-gara kasus penyelundupan manusia itu pun bercerita tentang kisah mereka sejak terlibat hingga tertangkap.
"Saya ini cuma diajak-ajak, Pak. Uangnya saya butuh. Mohon ditelusuri lagi siapa-siapa saja pemain besarnya. Jangan kami saja yang ditangkap," kata Narru Sampara, 41 tahun, nelayan yang tertangkap pada 2010. Narru mendapat vonis lima tahun penjara dari Mahkamah Agung Australia.
Denny lantas mengangguk. Suara lain muncul dari Kial Henuk, warga Bima, Nusa Tenggara Barat. Ia memohon pemerintah Indonesia mempertanyakan uang yang tersita saat penangkapan mereka. "Walau tidak besar, itu berarti untuk kami, Pak," ujarnya. Saat ditanya sudah berapa kali tertangkap, dengan lantang ia menjawab, "Dua kali, Pak." Pengakuan Henuk pun langsung mengundang tawa.
Berdasarkan cerita para nelayan itu, di dalam penjara Australia, mereka bisa bekerja dan menghasilkan uang. Di penjara Woodford ada 15 bidang pekerjaan yang bisa mereka karyakan. Namun kebanyakan warga negara Indonesia memilih bertukang dan menjadi kru pencuci baju. "Gajinya 26 dolar per hari, biasanya habis untuk merokok dan menelepon. Tapi, kalau yang hemat, bisa menabung," kata Nittu Ory. "Saya juga mohon pemerintah mau memperhatikan nasib keluarga yang kami tinggalkan. Nyaris tak ada penghasilan setelah kami tertangkap."
Sayang, perjumpaan hanya singkat, 20 menit saja. Setelah beberapa nelayan Indonesia berbicara dan mengeluhkan nasibnya, Denny mencoba menjawab keluhan mereka. "Sekarang saya sudah mendengar langsung. Mudah-mudahan kami bisa membantu. KJRI Sydney pasti membantu proses hukum Anda semua. Maaf, tak bisa berlama-lama," ujarnya.
Kelar berdialog, semua berjabat tangan. Genggaman tangan mereka erat sekali. Kepada Tempo, Fahmi lantas menerangkan kondisi warga negara Indonesia yang sedang menjalani hukuman. Di tiga negara bagian, Queensland, South Australia, dan New South Wales, jumlahnya 84 orang. "Sejak 2008, pemerintah melalui semua konsulat jenderal di Australia sudah memulangkan lebih dari 326 orang," katanya.
Saatnya pulang. Penjara Woodford sangat nyaman. Tak ada tembok yang membatasi para tahanan dari kehidupan luar. Hanya gulungan kawat berduri menjulang setinggi hampir enam meter yang membentenginya.
Tentang makanan di penjara, para nelayan mengatakan enak. Makanan halal bagi muslim disediakan. Penjara Australia memegang teguh rasa saling menghormati keberagaman agama. Termasuk soal ibadah. "Kami merayakan hari raya dengan tenang di sini," kata semua narapidana.
Soal nelayan Indonesia, pengawas penjara Woodford, Rob, memuji sifat mereka. Para nelayan ini dinilai sangat sopan dan rajin. "Sering, kala saya berkeliling malam, mereka sedang melakukan salat berjemaah. Itu sangat menyentuh. Mereka sebenarnya orang yang sangat baik," ujarnya kepada Tempo. "Jauh dalam hati saya yakin mereka bukan pembuat onar."
Sandy Indra Pratama (Brisbane)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo