Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga Pulau Rempang menegaskan tidak menolak pembangunan, tapi melawan rencana relokasi. Lebih dua dekade hak mereka terkatung-katung.
Berbeda dengan ketika menjamin hak warga Pulau Rempang, pemerintah menyokong penuh rencana lama pengembangan kawasan oleh kelompok usaha Tomy Winata. Jadi proyek strategis nasional setelah ada komitmen investasi Cina.
Warga Rempang sempat meminta pertolongan ke Istana Negara namun tak ditanggapi. Harapan kini tersisa di mediasi Komnas HAM.
BUKAN hanya tindakan aparat keamanan di Pulau Rempang pada Kamis, 7 September lalu, yang membuat Suardi kesal. Warga Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, Kota Batam, ini juga dongkol karena upaya paksa pengukuran dan pematokan lahan dalam dua hari terakhir menjadi penanda bahwa upaya masyarakat untuk mendapatkan legalitas hak atas tanah kepada pemerintah selama ini betul-betul terabaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami tidak menolak pembangunan, melainkan menolak kampung kami direlokasi," kata Suardi, yang juga menjadi juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang-Galang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suardi menuturkan, lebih dari dua dekade terakhir, warga Pulau Rempang tak bisa mengurus legalitas tanah mereka. "Sejak ada surat Wali Kota Batam yang minta camat dan lurah enggak menerbitkan surat-surat tanah untuk masyarakat," ujarnya.
Larangan yang dimaksudkan Suardi itu terbit dalam surat tertanggal 17 Januari 2002 yang diteken Mambang, Sekretaris Kota Batam saat itu. Bertindak atas nama Wali Kota Batam, dalam surat tersebut, Mambang melarang semua camat se-Kota Batam mengeluarkan surat keterangan atas tanah kepada siapa pun, baik badan hukum maupun perorangan.
Mambang juga meminta para camat menginstruksikan seluruh lurah dan kepala desa menjalankan isi surat tersebut. Langkah ini dilakukan dalam rangka penertiban administrasi dan hukum pertanahan di Kota Batam. Surat bernomor 09/TP/I/2002 itu juga ditembuskan kepada Ketua DPRD Kota Batam dan Ketua Otorita Batam—kini bernama Badan Pengusahaan Batam (BP Batam).
"Setelah itu, Rempang, Galang, dan Galang Baru ditetapkan sebagai daerah status quo," kata Suardi. "Kami juga tidak mengerti apa maksudnya itu."
Bentrokan warga Rempang dengan aparat kepolisian di Batam, 7 September 2023. ANTARA/BP Batam
Bibit konflik pertanahan sudah bersemi pada Agustus 2004. Di tengah sulitnya masyarakat mengurus sertifikat hak atas tanah, Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam mengikat perjanjian dengan PT Makmur Elok Graha, anak perusahaan Artha Graha Group.
Perjanjian itu diteken pada 26 Agustus 2004 oleh Wali Kota Batam Nyat Kadir serta Deputi Operasional Otorita Batam Benyamin Balukh. Adapun PT Makmur Elok Graha (MEG) diwakili Tomy Winata, bos Grup Artha Graha. Acara penandatanganan perjanjian juga disaksikan beberapa pejabat saat itu, seperti penjabat Gubernur Kepulauan Riau, Ismeth Abdullah; Ketua DPRD Batam Taba Iskandar; dan Wakil Ketua DPRD Batam Soerya Respationo.
Berdasarkan perjanjian itu, PT MEG mengantongi hak eksklusif untuk mengembangkan dan mengelola kawasan Pulau Rempang seluas 17 ribu hektare—hampir sepertiga luas wilayah DKI Jakarta. Rempang digadang-gadang menjadi kawasan wisata terpadu eksklusif (KWTE). Inilah cikal bakal rencana pembangunan Rempang Eco-City, yang tahap penyiapan lahannya memicu bentrokan antara aparat keamanan dan masyarakat setempat pada Kamis lalu.
Menurut Suardi, warga Pulau Rempang dan Galang yang tersebar di 16 kampung tua sebetulnya telah beberapa kali mengupayakan legalitas hak atas tanah mereka. Lagi-lagi, karena adanya surat larangan terhadap para camat dan lurah sejak 2002, upaya masyarakat itu membentur tembok.
Baca juga:
Mengutuk Represi di Pulau Rempang
Paranoia Melihat Aparat Bersenjata
Suardi mengatakan harapan masyarakat untuk mendapat legalitas tanah sempat kembali muncul ketika Presiden Joko Widodo menggalakkan reforma agraria berupa sertifikasi tanah. Program strategis nasional itu pulalah yang melecut warga Rempang, Galang, dan Galang Baru membentuk Keramat sebagai wadah untuk kembali memperjuangkan hak atas tanah mereka.
"Kami kumpulkan masyarakat untuk menyiapkan fotokopi surat-surat yang diperlukan untuk mendapatkan legalitas," kata Suardi. "Tapi sampai hari ini, BP Batam bilang tidak ada penguasaan lahan di sini."
Kondisi itulah yang menurut Suardi memicu kekecewaan warga Rempang. "Kami orang kampung tua ini merasa tidak dihargai. Padahal nenek moyang kami sudah ada di sini sebelum BP Batam itu ada," kata dia.
Beda Perlakuan untuk Calon Pengembang
Tatkala pintu legalitas tanah masyarakat terkunci, akses bagi calon pengembang untuk merealisasi rencana mereka menyulap Rempang justru dibuka seluas-luasnya. Pemerintah Kota Batam dan BP Batam terus mengupayakan agar perjanjian yang diteken pada 2004 dengan PT Makmur Elok Graha terlaksana. Dalam dua tahun terakhir, pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator Perekonomian turun tangan mempercepat realisasinya.
Meski mengantongi hak eksklusif sejak 2004, PT MEG sebetulnya baru berupaya menghidupkan lagi rencana lamanya tersebut pada awal pemerintahan Jokowi. Proyek pengembangan kawasan Rempang sempat mati suri sejak 2007. Kala itu, proyek ini diterpa kasus dugaan korupsi ketika dua pucuk surat kaleng beredar hingga ke Istana Negara. Gara-gara kasus ini, bos Artha Graha, Tomy Winata, sempat dipanggil Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, yang saat itu dipimpin Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri.
Baca laporan lama Tempo tentang proyek Rempang pada 2007: |
|
Berdenyut Setelah Mati Suri | |
Tomy Winata: Enggak Ada Urusan dengan Istana | |
Tomy: Kerja Sama Batam Tak Ada Kelanjutan | |
Polisi Periksa Tomy Winata |
Langkah PT MEG dimulai lagi pada 16 Februari 2015. Perseroan, seperti tertuang dalam dokumen "Batam-Rempang Eco City" yang disusun PT MEG tertanggal 15 Juni 2023, mulai mengirim surat kepada Wali Kota Batam dan BP Batam. Mereka mengajukan permohonan tindak lanjut kerja sama.
Sepanjang tahun itu, PT MEG juga mulai melobi Jakarta. Perseroan mengirim surat permohonan dukungan kerja sama kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta Menteri Koordinator Perekonomian.
Peluang mereka semakin terbuka ketika Jokowi membentuk Satuan Tugas Percepatan Paket Kebijakan Ekonomi pada pertengahan 2016. Di pengujung tahun itu, PT MEG mengirim surat pemberitahuan rencana pengembangan kawasan Rempang kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal. Mereka juga mulai berkomunikasi dengan Kelompok Kerja IV, bagian dari Satuan Tugas Percepatan Paket Kebijakan Ekonomi khusus untuk urusan penanganan dan penyelesaian kasus.
Surat-menyurat, juga rapat-rapat, sejak saat itu juga semakin intens melibatkan PT MEG, BP Batam, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Pada periode 2018-2021, Rempang bahkan sempat disiapkan untuk menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK).
Dokumen itu menunjukkan berbagai upaya PT MEG mendapatkan dukungan Pemerintah Kota Batam, BP Batam, hingga kementerian dan lembaga atas rencana pengembangan Rempang. Secara berjenjang, lewat BP Batam dan Gubernur Kepulauan Riau, perseroan memohon pelepasan kawasan hutan menjadi area penggunaan lain (APL).
Peluncuran Program Pengembangan Kawasan Rempang Eco-City Batam Provinsi Kepulauan Riau, di Jakarta, 12 April 2023. Ekon.go.id
Upaya ini belakangan disokong Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Airlangga ikut mengurus masalah ini karena sejak 2016 juga ditunjuk sebagai Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam—posisi yang sebelumnya diemban Gubernur Kepulauan Riau.
Lewat surat bernomor IPW/163/M.EKON/06/2022, misalnya, Menteri Airlangga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mempercepat persetujuan pelepasan kawasan hutan di KPBPB Batam. Dalam surat tertanggal 30 Juni 2022 tersebut, Airlangga mengingatkan KLHK bahwa KPBPB Batam dikelola BP Batam.
Tak cukup sekali, Kementerian Koordinator Perekonomian kembali melayangkan surat pada 29 Desember 2022. Kali ini, Kementerian Lingkungan Hidup diminta mempercepat penyelesaian isu strategis di sektor lingkungan hidup dan kehutanan dalam 38 proyek strategis nasional (PSN) dan 5 proyek non-PSN. Dalam warkat bernomor IPW-326/M.EKON/12/2022 itu juga terlampir daftar proyek yang dimaksudkan. Pengembangan kawasan Rempang masuk di urutan teratas matriks proyek non-PSN.
BP Batam dan PT MEG kian mendapat angin pada awal tahun ini. Kementerian Agraria akhirnya memberikan hak pengelolaan (HPL) kepada BP Batam atas tanah Kota Batam, Kepulauan Riau, pada 31 Januari 2023. Sejak saat itu, PT MEG juga mulai merespons Xinyi International Investment Limited, kelompok usaha asal Cina, yang sebulan sebelumnya telah mengirim surat pernyataan minat (letter of interest) atas rencana pengembangan industri pengolahan pasir kuarsa dan pasir silika di Rempang.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Hadi Tjahjanto belakangan juga menyatakan dukungannya. Menjawab surat Menteri Airlangga, Menteri Hadi dalam surat itu menegaskan bahwa, "Kementerian ATR/BPN mendukung pembangunan dan pengembangan yang dilakukan oleh PT Makmur Elok Graha."
Dalam surat bernomor B/PF.01/1404/V/2023 tertanggal 26 Mei 2023, Hadi sebenarnya juga menuliskan bahwa hasil overlay peta pola ruang menunjukkan lokasi rencana pengembangan kawasan Rempang berada di kawasan hutan, kawasan yang memberikan pelindungan di bawahnya, kawasan suaka alam, kawasan pertanian, kawasan permukiman, dan kawasan budi daya lainnya. Karena itu, ihwal lokasi yang masih berstatus kawasan hutan, Kementerian Agraria menyarankan koordinasi dilakukan dengan Kementerian Lingkungan Hidup.
Kementerian Lingkungan Hidup pada 26 April lalu memang telah membentuk tim terpadu untuk mengevaluasi pelepasan kawasan hutan yang sudah lama diusulkan PT MEG melalui BP Batam. Peran KLHK memang krusial. Hampir seluruh wilayah Rempang merupakan kawasan hutan beraneka fungsi, dari taman buru, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hingga hutan produksi konversi.
Sejumlah ladang milik warga berada di kawasan hutan Sembulang, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, 21 Agustus 2023. ANTARA/Teguh Prihatna
Kemarin, 10 September 2023, kepada Tempo, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, memastikan bahwa hingga saat ini belum ada pelepasan kawasan hutan di Pulau Rempang. "Masih dalam proses karena ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi," kata Hanif. Namun dia belum bisa menjelaskan lebih dari keterangan tersebut.
Toh belum adanya kepastian tentang pelepasan hutan tak membuat rencana pengembangan Rempang tersendat. Dalam tiga bulan terakhir, sokongan kepada PT MEG semakin menjadi-jadi. Pada 28 Juli lalu, bertempat di Shangri-La Hotel, Chengdu, perseroan dan Xinyi Group meneken perjanjian kerja sama di hadapan Presiden Joko Widodo yang tengah melawat ke Cina.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, yang turut menyaksikan penandatanganan perjanjian itu, mengungkapkan bahwa Xinyi akan menggelontorkan US$ 17,5 miliar atau setara dengan Rp 264 triliun untuk membangun kawasan industri kaca dan panel surya terintegrasi di Rempang. Xinyi, kata dia, juga telah menanamkan modal senilai US$ 700 juta di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur. "Kalau kita sudah sukses membangun ekosistem penghiliran dari nikel, sekarang mulai kita dorong pasir kuarsa," kata Bahlil saat itu.
Puncaknya, sepekan sebelum bentrokan antara warga Rempang dan aparat keamanan pecah pada Kamis pekan lalu, proyek pengembangan kawasan Rempang naik kelas. Menteri Airlangga, lewat Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023, mengubah daftar proyek strategis nasional. Rencana pengembangan Rempang Eco-City ada di dalamnya.
Klaim Investasi untuk Pembangunan Ekonomi
Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Perekonomian, Wahyu Utomo, tak merespons upaya klarifikasi Tempo sejak Jumat lalu ihwal peran Kementerian yang menyokong pengembangan kawasan Rempang dan menjadikannya sebagai PSN. Wahyu tak menerima panggilan telepon dan hanya membaca pesan yang dikirim Tempo ke nomor telepon selulernya.
Begitu pula juru bicara sekaligus Komisaris PT MEG, Fernaldi Anggadha, yang semula meminta Tempo memberikan daftar pertanyaan. Namun ia tak menjawab pertanyaan tersebut, termasuk ihwal peristiwa-peristiwa yang tertuang dalam dokumen perseroan tertanggal 15 Juni 2023, hingga laporan ini diturunkan.
Sedangkan Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, menjawab singkat ketika ditanyai soal warga Rempang yang telah lama berupaya mengurus legalitas hak atas tanah, tapi tak pernah berhasil. "BP Batam juga baru mendapat hak pengelolaan lahan atas Rempang pada 12 April 2023," kata dia, Jumat lalu.
Menurut dia, pengembangan Rempang Eco-City akan dilakukan sebagai mandat dari pemerintah pusat yang menetapkannya sebagai PSN. Ariastuty mengklaim proyek ini akan membawa dampak bagi pembangunan ekonomi Indonesia dan kesejahteraan masyarakat.
Direktur Pengaturan Tanah Pemerintah, Sri Panoto, menjelaskan bahwa proyek Rempang Eco-City telah diputuskan pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonomian. Kewenangan Kementerian Agraria, kata dia, hanya pada administrasi pertanahan. Sedangkan tanah di Rempang termasuk yang dikuasai BP Batam. "Jadi, seharusnya BP Batam yang mengurus tanah masyarakat itu agar bagaimana itu diselesaikan. Di sana kan kawasan otorita," ujarnya.
Karena itu pula, Toto—demikian Sri Panoto kerap dipanggil—menampik tudingan bahwa Kementerian Agraria mempersulit masyarakat yang hendak mengajukan sertifikat tanah. Dalam konteks Kota Batam, menurut dia, Kementerian hanya menindaklanjuti jika ada rekomendasi dari pemegang APL, yakni BP Batam. Di sisi lain, sebagian besar wilayah di Rempang merupakan kawasan hutan yang menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup.
Soal surat dukungan dari Menteri Agraria terhadap program percepatan Rempang Eco-City, Toto mengatakan Kementerian pada prinsipnya mendukung untuk kepentingan negara, terutama investasi di masa mendatang. Namun, dia memastikan, dukungan itu tetap dalam koridor terpenuhinya sejumlah persyaratan. "Kami tidak mungkin serta-merta mendukung kalau ternyata ini merusak lingkungan," kata Toto.
Pemerintah sejak awal memang menegaskan akan menggenjot investasi. Sebelum menyaksikan penandatanganan perjanjian kerja sama antara PT MEG dan Xinyi Group pada 28 Juli lalu, Jokowi juga menggelar pertemuan dengan Kamar Dagang Indonesia di Cina (Inacham) dan sejumlah pengusaha Tiongkok. Dalam pertemuan itu, yang juga digelar di Shangri-La Hotel, Chengdu, Presiden meminta para investor tidak ragu menyampaikan kendala-kendala yang dihadapi ketika berinvestasi di Indonesia.
"Saya berharap, kalau ada masalah-masalah di lapangan, baik mengenai pembebasan tanah maupun mengenai izin, tolong disampaikan," kata Jokowi. "Informasi dari Bapak-bapak semua akan kami tampung dan kami akan selesaikan."
Pertemuan kerja sama antara Xinyi International Investmen Limited dan PT Makmur Elok Graha dalam membangun ekosistem penghiliran industri kaca dan panel surya di Indonesia di Hotel Shangri-La, Chengdu, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), 28 Juli 2023. Presidenri.go.id
Upaya Terakhir Meminta Pertolongan Jakarta
Sebetulnya, sebulan sebelum lawatan Jokowi ke Cina itu, warga Pulau Rempang sempat berupaya meminta pertolongan Istana Negara. Awal Juni lalu, perwakilan Keramat Rempang-Galang datang ke Ibu Kota untuk melayangkan surat ke sejumlah kementerian dan lembaga. Surat bertajuk "Permohonan Legalitas Lahan Masyarakat Kampung-kampung di Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru" tertanggal 2 Juni 2023 itu juga mereka tujukan kepada Presiden melalui kantor Kementerian Sekretariat Negara.
Menurut Karinus, anggota Keramat yang waktu itu turut pergi ke Ibu Kota, hingga saat ini surat itu tak berbalas. "Tidak tahu kenapa," ujarnya, kemarin.
Dalam surat itu, Keramat Rempang-Galang menegaskan bahwa mereka bukan lembaga swadaya masyarakat, melainkan murni dari keluarga yang selama ini tinggal di 16 kampung tua di Rempang, Galang, dan Galang Baru. Mereka bercerita bahwa kampung-kampung tersebut telah ada sejak Kerajaan Melayu Islam Riau Lingga pada 1834, yang diperintah Sultan Abdurrahman Muazzamsyah.
Pada masa awal kemerdekaan, kampung-kampung itu beberapa kali beralih wilayah administrasi, dari Kewedanaan Tanjungpinang, Kecamatan intan Selatan, Kecamatan Bintan Selatan, hingga dimekarkan menjadi Kecamatan Galang. Belakangan, wilayah itu menjadi area perluasan kawasan berikat di bawah Otorita Batam, yang kemudian bersalin wajah menjadi BP Batam hingga saat ini.
"Sampai saat ini, kita sudah merdeka selama 77 tahun, tapi di tempat kami tidak ada surat-menyurat lahan," demikian tertulis dalam surat warga Rempang kepada Jokowi itu. "Harapan kami kepada Bapak Presiden bisa menyelesaikan, mendudukkan masalah kami, sesuai dengan program Bapak Presiden yang berpihak ke masyarakat."
Kemarin, Tempo berupaya meminta informasi mengenai surat masyarakat ke Istana tersebut kepada Faldo Maldini, Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Bidang Komunikasi dan Media. Namun ia tak merespons pertanyaan Tempo. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Yohanes Joko, setali tiga uang.
Karinus mengatakan harapan warga Rempang kini tersisa di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang pada Juni lalu juga menjadi tempat mereka mengadu. Hari ini, Komnas HAM akan menggelar pertemuan pramediasi pertama bersama Gubernur Kepulauan Riau, Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam, Kapolda Kepulauan Riau, dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam. Pertemuan yang digelar sebagai tindak lanjut atas pelaporan warga Rempang ini, menurut komisioner Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo, diharapkan bisa menemukan solusi perihal hak masyarakat atas tanah mereka. "Tapi sikap kami tidak berubah. Kami menolak relokasi," kata Karinus.
ANDI ADAM FATURAHMAN | IMAM HAMDI | AGOENG WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo