Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Adolfina Kuum dan Peggy Sarumi bergerak menentang para perusak lingkungan di Papua.
Era Purnama Sari kerap mendapat ancaman karena aktivitasnya memberikan bantuan hukum kepada masyarakat warga dalam konflik lahan dan hutan.
Kecintaan terhadap satwa liar membuat Dwi Suprapti berfokus pada penelitian dan konservasi hewan-hewan laut yang dilindungi.
SUNGAI adalah jalur transportasi penting bagi masyarakat Kabupaten Mimika, Papua. Namun, lebih dari satu dekade terakhir, warga kampung harus memutar lebih jauh lewat laut karena sungai-sungai kian dangkal sehingga sulit dilalui kapal bermotor. “Terjadi pendangkalan akibat limbah lumpur tailing dari tambang PT Freeport Indonesia,” kata aktivis lingkungan Adolfina Kuum pada Sabtu, 18 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama teman-temannya, Adolfina membentuk Lembaga Peduli Masyarakat Wilayah Mimika Timur Jauh pada 2013. Mereka melakukan sosialisasi ke kampung-kampung soal dampak tailing tambang ke sungai. Adolfina dan timnya juga membantu warga Mimika menuntut Freeport memperbaiki kondisi sungai-sungai yang rusak. “Sudah banyak kasus kapal terbalik, harta benda hanyut semua,” ujar perempuan 35 tahun itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Era Purnama Sari. Dok. Pribadi
Hingga saat ini, ada enam sungai yang tertimbun limbah tambang Freeport itu. Saking dangkalnya sungai-sungai, warga kampung harus mendorong kapal-kapal mereka saat menyeberang. Satu kampung bernama Pasir Hitam bahkan sudah terisolasi sehingga penduduknya memilih mengungsi ke kota. “Sudah banyak yang bicara soal limbah Freeport ini, tapi sampai sekarang tidak ada solusinya,” katanya.
Penduduk terpaksa menempuh jarak lebih jauh melewati pesisir Mimika. Perjalanan ini lebih berbahaya karena gelombang di laut yang tinggi. Menurut Adolfina, kecelakaan kapal terbalik pada Desember tahun lalu yang menyebabkan satu orang hilang di laut merupakan dampak dari terbatasnya transportasi sungai. “Warga sekarang tidak punya pilihan lain, harus lewat laut meski lebih berisiko,” ucapnya.
Gara-gara menyuarakan hak masyarakat atas sungai-sungai di Mimika, Adolfina dan timnya kerap mendapat ancaman. Sekretariat lembaga itu pernah dirusak pada 2014. Adolfina pernah diserang sekelompok orang ketika sedang beristirahat di rumahnya di Kota Timika pada Desember 2017. Belakangan, ketahuan seorang pelakunya pernah bekerja bersama Adolfina. “Dia tergiur uang dan sudah meminta maaf,” kata ibu satu anak itu. “Peristiwa itu tidak membuat saya takut, malah makin semangat berjuang.”
Kerusakan hutan-hutan di Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, yang memicu banjir bandang mendorong Peggy Sarumi menggeluti advokasi lingkungan. Dia mendampingi ratusan penduduk di Kampung Wonbu dan Sararti yang berjarak enam jam perjalanan darat dari tempat tinggalnya di Distrik Wandiboi. Dari warga kampung, dia mendapat cerita tentang para pembalak kayu liar yang masuk ke hutan mereka. “Warga tidak tahu perusahaan apa yang masuk, izinnya dari mana, tapi pohon ditebangi,” tutur Peggy pada Rabu, 22 April lalu.
Adolfina Kuum. Dok. Pribadi
Penebangan hutan ilegal di Wasior diperkirakan terjadi sejak 1996. Menurut Peggy, banyak perusahaan kayu diduga melakukan perjanjian lisan dengan kepala suku dan tokoh masyarakat untuk mendapatkan akses menebang pohon besar seperti merbau atau kayu besi. Perusahaan menjanjikan memperbaiki jalan, membangun rumah dan fasilitas air bersih, hingga memberi bantuan mobil untuk transportasi publik. “Tidak ada yang dipenuhi, yang dikasih akhirnya cuma mi instan, sarden, gula, kopi,” ujar mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Manokwari itu.
Dalam sehari bisa ada 100 pohon yang ditebang. Panjang batangnya lebih dari 10 meter dengan garis tengah mencapai 2 meter. Aktivitas pengangkutan kayu pun sering dilakukan malam hari agar tak terlihat warga kampung. Sebagian kayu yang sudah ditebang ada yang dikubur untuk mengelabui tim pemeriksa dari pemerintah. Di satu lokasi, Peggy bersama warga kampung pernah menemukan ada sekitar 50 batang kayu yang dipendam di hutan. “Di tempat lain mungkin juga banyak,” tutur perempuan 22 tahun itu.
Peggy mengumpulkan para ibu untuk terlibat dalam advokasi lingkungannya. Menurut dia, kaum ibu punya pengaruh besar jika mendapatkan kesempatan bergerak dan berbicara tentang hak-hak masyarakat yang berkaitan dengan hutan. Kaum perempuan, kata Peggy, juga bisa membangun kesadaran masyarakat mempertahankan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka. “Orang tua mendukung karena tahu saya bekerja untuk membantu masyarakat dan lingkungan,” ujarnya.
Era Purnama Sari terlibat menangani isu lingkungan dan kehutanan sejak bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum Padang, 11 tahun lalu. Masyarakat di Sumatera Barat kerap menghadapi konflik lahan dengan pemerintah dan perusahaan. Era dan timnya melakukan pendekatan kultural dan lewat kelompok perempuan sesuai dengan budaya di Sumatera Barat. “Ini membantu dalam advokasi lingkungan dan tanah. Perempuan juga bisa lebih banyak bergerak dalam urusan sengketa,” kata Era pada Sabtu, 18 April lalu.
Mantan Direktur LBH Padang itu juga membantu masyarakat dalam konflik lahan terkait dengan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga geotermal di kawasan Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Mereka memprotes proyek itu karena berpotensi merusak hutan ulayat, hutan lindung, dan ladang penduduk. “Kalau hutan dan ladang rusak, habis semua sumber kehidupan mereka,” ujar Era, yang menjabat Wakil Direktur Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia sejak 2018.
Era mengatakan pembangunan harus melibatkan masyarakat dan memperhatikan hak-hak mereka. Menurut dia, sangat jarang warga mengalahkan perusahaan tambang di pengadilan. Kemenangan terbesar mereka adalah ketika Pengadilan Tata Usaha Negara Padang mengabulkan gugatan LBH Padang kepada Gubernur Sumatera Barat untuk mencabut 26 izin tambang pada 2017.
Era pun sering mendapat ancaman karena aktivitasnya. Era bahkan menjadi korban serangan berita-berita miring setelah dia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menginvestigasi penangkapan para petani Serikat Mandiri Batanghari, Jambi, tahun lalu. Dia tak ambil pusing dengan ancaman itu. “Keluarga sudah tahu kegiatan saya dan terus memberikan dukungan,” katanya.
Peggy Sarumi. Dok. Pribadi
Kecintaan terhadap alam membuat Dwi Suprapti terjun ke dunia penelitian dan konservasi satwa laut besar atau megafauna akuatik, yang berisi penyu, keluarga hiu dan pari, serta mamalia laut, seperti lumba-lumba, dugong, dan paus. Dokter hewan lulusan Universitas Udayana, Bali, itu bahkan mengambil topik riset khusus penyu untuk skripsi hingga disertasi doktoralnya.
Menurut Dwi, Indonesia seharusnya meningkatkan penelitian dan konservasi satwa laut. Populasi sejumlah spesies penyu dan mamalia laut terus tertekan karena kerap menjadi buruan atau mati terdampar. “Topik megafauna akuatik dulu jarang diajarkan di kedokteran hewan karena tidak sepopuler hewan komersial seperti anjing, kucing, sapi, kambing, dan babi,” ujar Dwi, yang kini menjadi spesialis penyu di World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia.
Dwi menginisiasi pembentukan Indonesia Aquatic Megafauna (IAM) Flying Vet pada 2018. IAM Flying Vet adalah organisasi nirlaba berisi para dokter hewan yang memiliki minat besar menangani satwa laut. Saat ini anggotanya berjumlah 23 orang dokter hewan dari beberapa daerah di Indonesia yang kerap mengalami kasus satwa laut terdampar.
Aktivitas Dwi juga tak selalu berjalan mulus. Dia kerap ditentang sejumlah orang yang mencari penghasilan dengan berburu telur penyu. Toh, dia tak mau menyerah meski mendapat berbagai ancaman. Dwi bahkan masih menyimpan surat kaleng berisi ancaman yang dikirimkan ke kantornya. “Kegiatan penelitian dan konservasi harus terus berjalan, saya mendapat dukungan dari banyak kawan,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo