Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERSEMBUNYI di rawa-rawa dan hutan bakau, dengan kapal-kapal kecil yang berpotongan ramping, sekonyong-konyong mereka menyerang dan menguras isi kapal-kapal yang berani melintas di perairan Selat Malaka. Mereka, para perompak, muncul lantas menghilang di antara gelombang.
Ya, para perompak tampaknya menguasai setiap lekuk anatomi wilayah laut yang membentang dari barat laut ke tenggara sepanjang 778 kilometer, dengan lebar 2 sampai 100 kilometer itu. Kondisi geografis Selat Malaka lumayan ideal untuk kerja rutin mereka. Ada ribuan pulau, selat sempit, dan muara sungai, yang semuanya menjadi tempat persembunyian sempurna bagi mereka.
Mereka merampas emas, perak, porselen, dan barang berharga lainnya, termasuk para budak—hingga pertengahan abad ke-19, perbudakan masih legal. ”Para awak kapal juga dipaksa menjadi budak dan dijual,” kata Singgih Tri Sulistyo, pakar sejarah maritim Nusantara Universitas Diponegoro, Semarang. Bahkan Singgih menyinggung: para perompak ini menjadi bagian dari dunia perdagangan saat itu. Kota-kota kolonial yang terus bermunculan di sepanjang Selat Malaka—khususnya di Semenanjung Melayu—membutuhkan tenaga-tenaga segar. Begitu juga pengembangan pertambangan timah dan perkebunan karet yang sangat menguntungkan Inggris. Praktek semacam ini terus berlanjut, meski perbudakan kemudian dilarang Inggris dan Belanda.
Malaka pada pertengahan abad ke-19, di sanalah para perompak membagi dan menjual hasil jarahan mereka. ”Malaka merupakan pintu penting bagi dunia ekonomi, politik, dan kebudayaan Asia Tenggara,” demikian dikatakan Singgih. Bukan cuma itu, menurut sejarawan Adrian B. Lapian dalam bukunya, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16-17, di Malaka kapal-kapal bertemu dan menunggu angin yang baik untuk meneruskan perjalanannya atau kembali ke negeri asal. ”Pelayaran besar yang tergantung pada tenaga angin sudah tentu memerlukan pengalaman dan pengetahuan tentang sistem angin di perairan ini,” demikian A.B. Lapian dalam bukunya tersebut.
Para perompak tentu saja sangat memahami sistem itu. Para perompak asal Sulawesi dan Filipina Selatan memang biasa melakukan aksi mereka hampir di setiap titik di seluruh perairan Asia Tenggara. Dan tidak sedikit di antara mereka yang melakukan kegiatan ini sebagai kerja sampingan. Ada yang berfungsi sebagai pedagang manakala khusus pada musim berdagang. Ada yang digerakkan oleh motif politik. Atas sponsor raja-raja pribumi yang tengah bermusuhan dengan kekuatan kolonial, mereka mulai menyerang kapal-kapal asing. ”Sering kali mereka justru menjadi kepercayaan para penguasa, seperti Sriwijaya, Kesultanan Malaka, dan Kesultanan Johor, untuk menjaga keamanan di kawasan ini,” kata Singgih. Artinya, mereka ikut serta melakukan patroli laut, memerangi bajak laut lain, serta mengarahkan kapal-kapal pedagang menuju pelabuhan yang dikehendaki.
Perompakan terhadap kapal-kapal Eropa pada abad ke-18 memang sering terjadi. Pasalnya, teknologi perompak dan Eropa masih seimbang. Kapal-kapal Eropa dan kapal-kapal pribumi, menurut Singgih, sama-sama menggunakan tenaga angin serta pendayung. ”Hanya kapal-kapal perompak pada saat itu didesain dengan bentuk yang ramping sehingga dapat bergerak lincah daripada kapal-kapal Eropa,” Singgih menambahkan.
Karena itulah, Belanda kemudian sangat membatasi perdagangan mesiu dan senjata api. Belanda sangat khawatir amunisi jatuh ke tangan para perompak ataupun aktivis kegiatan politik pribumi. Namun pasar gelap atau black market berkembang pesat di Selat Malaka dan tempat-tempat lain di sekitarnya, sehingga para perompak dengan mudah dapat mengakses senjata-senjata api serta mesiu yang dibutuhkan.
Imbalan yang diterima kelompok-kelompok yang berani menantang kaum kolonialis di laut ini beragam. Selain berhak atas barang-barang rampasan, para perompak mendapat hadiah yang tidak sedikit dari raja. Berdasarkan catatan sejarah, para perompak juga mendapat hak-hak istimewa dalam kerajaan. Mungkin inilah yang menjelaskan mengapa orang-orang Bugis punya pengaruh cukup besar dalam kehidupan keraton di Semenanjung Malaka. ”Selain sebagai pedagang, saya pikir mereka perompak. Tapi mereka berhasil melakukan mobilitas sosial vertikal dan menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan,” kata Singgih.
Baru pada abad ke-19, teknologi kapal Eropa berkembang karena penemuan mesin uap. Sementara itu, kekuatan perompak tidak dapat mengejar kekuatan itu. Sejak paruh abad ke-19 inilah, perompakan sudah mulai dapat ditekan oleh penguasa kolonial. Keberhasilan ini juga didukung oleh kerja sama dan konsolidasi di antara sesama kekuatan kolonialis. Sebelumnya, hubungan antara Belanda dan Inggris diwarnai kecurigaan, ingin saling merebut wilayah kekuasaan. Kedua kekuatan ini mulai bisa saling memahami dan membuat perjanjian mengenai batas-batas koloni mereka dan yang terpenting memberantas perompakan. Namun lanun tetap ada dan selalu menjadi momok di Selat Malaka hingga kini.
Sita Planasari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo