Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPUCUK surat "aneh" melayang ke meja anggota Komisi Pemilihan Umum, Hamid Awaluddin. Terbungkus amplop putih yang dibuat dari kertas bekas, surat itu terdiri dari empat lembar. Tiga halaman berisi proposal pembentukan sebuah partai politik. Satu halaman lagi berisi pesan "gado-gado". Di bagian atas ada ucapan selamat ulang tahun kepada Direktorat Jenderal Pengembangan, Pembinaan, Pengawasan Obat, Makanan, Minuman, dan Isapan Tradisional Gigi Palsu Departemen Bantuan Kesehatan Negara RI. Ada yang lebih ajaib: di bawah halaman "gado-gado" tersebut tertera undangan perkawinan.?
Mau mengundang kawinan, atau mau bikin partai? Ternyata dua-duanya. Dan ini bukan lelucon. Pengirim surat itu jelas, Prof. Dr. Noordin Ibrahim, S.H., laki-laki 62 tahun yang mengaku ahli tauhid dan memperoleh gelarnya dari sebuah universitas Islam di Medan. Atribut yang dipasang Noordin juga sedap: calon presiden 2004 dari Partai Reformasi Pembasmi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dia juga mengaku bahwa 14 tahun lalu, "Saya adalah menteri pada departemen tadi." (Ternyata, setelah dicek, nama Noordin tak pernah ditemukan sebagai menteri, juga direktorat "isapan tradisional gigi palsu" itu?dan tidak pernah ditemukan satu pun instansi pemerintah yang khusus menangani gigi-gigi palsu.) Di bagian atas surat itu terpampang nama partai?logo hijau bergambar tangan memegang palu?serta alamat partai itu di kawasan Cimanggis, Jakarta.
Partainya Noordin yang ternyata sangat serius ini didaftarkan di Departemen Kehakiman 25 September 2002 lalu. Bahkan partai ini siap ikut pemilu. Oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Partai Pembasmi KKN diberi nomor registrasi 2002-09-0218 dengan stempel SK Menteri Kehakiman No. MUM.06.08-264. "Partai kami adalah pembunuh niat pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme," kata Noordin tentang agenda utama partainya. Tapi kenapa suratnya bercampur undangan kawin? "Tidak ada yang salah. Saya memang hendak mengawinkan anak saya. Silakan datang. Juga kalau Anda mau menyumbang partai kami," katanya.
Partai Noordin hanya satu di antara partai politik yang menjamur menjelang Pemilu 2004. Hingga akhir pekan lalu, Departemen Kehakiman telah menerima pendaftaran 237 partai. Sebagian di antaranya adalah partai lama yang didaftarkan sebelum Pemilu 1999 lalu (148 partai). Sisanya, 89 partai, adalah partai yang benar-benar anyar.
Sejumlah nama bermunculan. Dari kalangan nasionalis muncul musisi Eros Djarot (Partai Nasionalis Bung Karno) atau Rachmawati Sukarnoputri (Partai Pelopor). Ada pula pengamat ekonomi Syahrir (Partai Perhimpunan Indonesia Baru), bekas Kepala Sosial Politik ABRI Letjen Purnawirawan R. Hartono (Partai Karya Peduli Bangsa), atau bekas Menteri Otonomi Daerah Ryaas Rasyid (Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan).
Partai lama yang tak lagi bisa ikut pemilu karena mendapat kurang dari 2 persen suara dalam Pemilu 1999 (electoral threshold) pun berganti rupa. Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) pimpinan bekas Menhankam Jenderal (Purn.) Edi Sudradjat bersalin wajah menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Hartono Mardjono, yang terdepak dari Partai Bulan Bintang (PBB), kini mendirikan Partai Islam Indonesia.
Ramai, meriah, repot. Itulah yang bakal terjadi jika semua partai lolos seleksi dan ikut Pemilu 2004. Dalam hitungan kasar, jika 237 partai ikut pemilu, lambang partai mesti dicetak di atas lima kertas suara seukuran kertas koran. Jadi, untuk pemilihan DPR pusat dan daerah tingkat I dan II, seorang pemilih harus masuk bilik suara dengan membawa sedikitnya 15 kertas besar itu. Dikalikan dengan jumlah pemilih di Indonesia, pengadaan kertas suara saja pasti jadi problem yang tidak sederhana.
Tapi tak semua partai bakal bisa masuk pemilu. Bahkan tak semua partai bakal sah menjadi partai politik dengan status badan hukum yang diakui Departemen Kehakiman. Status yang diterima Partai Pembasmi KKN dan sejenisnya saat ini adalah terdaftar. Artinya, hanya dicatat oleh Departemen Kehakiman. Nantinya keberadaan partai itu akan diatur oleh Undang-Undang Partai Politik No. 31/2002, yang telah dikeluarkan DPR akhir November 2002 dan disahkan Presiden Jumat dua pekan lalu.
Dalam undang-undang itu syarat menjadi partai dibuat sulit. Sebuah partai, misalnya, harus punya kantor minimal di 15 provinsi (setengah dari jumlah provinsi yang ada di Indonesia). Di provinsi itu mereka harus punya cabang di 50 persen dari jumlah kabupaten. Lalu, di tiap kabupaten mereka harus punya markas di sedikitnya 25 persen dari jumlah kecamatan.
"Partai yang telah didaftar di Departemen Kehakiman sebelum undang-undang itu berlaku diberi waktu sembilan bulan untuk memenuhi persyaratan," kata Hamid Awaluddin. Dengan kata lain, September 2003 nanti Departemen Kehakiman akan menyisir kelengkapan partai. Jika di lapangan ternyata nihil, partai itu akan dianggap tidak ada alias sayonara.
Dibandingkan dengan Undang-Undang No. 2/1999 tentang Partai Politik, undang-undang baru ini jelas lebih menyulitkan. Dulu, hanya perlu mengumpulkan 50 tanda tangan orang untuk syarat pendirian partai. Setelah didaftarkan ke Departemen Kehakiman, menurut undang-undang yang lama, sebuah partai bebas mengibarkan bendera.
Meski diikat oleh peraturan baru yang sulit, sebagian besar partai tetap yakin bisa berkesempatan menjual "kecap". Partai anti-KKN itu mengaku memiliki cabang di 29 provinsi. Partai lain serupa.
Yang jadi masalah, antara lain, soal kantor. Tengoklah markas Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Reformasi pimpinan dai kondang Zainuddin M.Z. di Semarang. Kantor di bangunan peninggalan Belanda itu lebih mirip rumah tua ketimbang markas partai. Rumput di depannya setinggi lutut. Pagar yang kusam dan karatan dikunci rapat seperti tak pernah dibuka.
Aktivitas kantor nyaris tak ada. Di dalam kantor hanya terdapat empat meja yang disimpan di ruangan ketua dan sekretaris partai. Mengirim atau menerima faks harus dilakukan di rumah salah satu pengurus partai karena di sana tak ada mesin faks. Sehari-hari kantor itu hanya dihuni seorang staf, seorang pembantu, dan seorang penjaga.
Kantor Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK) Semarang hampir serupa. Di sana memang ada saluran telepon dan televisi 14 inci. Tapi bangunan kantor nyaris remuk: beberapa bagian eternitnya bolong besar dan karpet lantai dipenuhi debu. Selain menjadi markas provinsi, kantor ini juga dijadikan tempat berkumpul aktivis partai dari 25 cabang partai di tingkat kabupaten dan kecamatan.
Soal kantor dan syarat berat lainnya ini membuat banyak aktivis menilai Undang-Undang Partai kelewat membelenggu. Menurut Ryaas Rasyid, pembatasan partai mestinya dilakukan oleh Undang-Undang Pemilu dan bukan Undang-Undang Partai. Artinya, pintu bagi pembentukan partai baru seharusnya dibuka lebar-lebar, tapi syarat untuk ikut pemilu dibuat ketat.
Ryaas bahkan menduga di lapangan nanti Undang-Undang Partai tak akan efektif. "Apakah mungkin aparat Departemen Kehakiman di sebuah kabupaten memverifikasi partai di kecamatan yang jauh-jauh. Bayangkan, ada berapa ribu kecamatan di Indonesia ini? Bukankah Departemen Kehakiman tidak punya aparat di daerah selain lembaga pemasyarakatan?" kata Ketua Umum Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan ini.
Undang-Undang Partai juga dituding mengabaikan aspirasi daerah dan terlalu berbasis nasional. Dalam undang-undang ini sebuah partai diwajibkan memiliki kantor pusat di Jakarta. Dengan ditambah kewajiban memiliki cabang di 15 provinsi, akan sulit bagi sebuah partai berbasis daerah yang tak memiliki cabang di daerah lain untuk diakui keberadaannya. "Partai lokal yang lebih berkonsentrasi menyelesaikan program dan persoalan kabupaten atau kecamatan tak mendapat tempat," kata Hadar Gumay, Ketua CETRO, LSM yang bergerak di bidang pengkajian pemilu.
Tapi Hadar dibantah Sukowaluyo Mintohardjo, mantan Ketua Panitia Kerja DPR untuk pembentukan Undang-Undang Partai Politik. Menurut Suko, prinsip-prinsip dalam Undang-Undang Partai sudah sesuai dengan fungsi partai politik. "Kepengurusan di minimal 50 persen provinsi masalah kecil bagi partai nasional. Undang-undang ini memang mengatur partai nasional, bukan partai lokal. Kalau nantinya dibutuhkan adanya partai lokal, ya dibuat undang-undang yang baru," katanya.
Di dalam pikiran pembuat undang-undang baru itu, setidaknya disimpulkan dari keterangan Suko, jumlah partai memang dibatasi. "Biaya operasional partai politik itu mahal sekali. Biayanya dari mana? Dari iuran dan sumbangan anggota. Sumbangan itu harus efektif. Jadi, sebuah partai mestinya didirikan dengan kepastian bahwa ia akan ikut pemilu," tutur politikus PDIP itu lagi.
Meski terkesan meyakinkan, bagi sejumlah orang argumentasi ala Suko ini mengandung bias partai besar. Partai semacam PDIP menghendaki pembatasan partai baru untuk mengurangi saingan dalam berebut kekuasaan. Selain itu, ada yang menduga, dengan jumlah partai yang terbatas, peluang partai "lama" untuk meraup sumber-sumber dana jadi lebih besar. "Ini jelas ada kepentingan partai yang berkuasa. Mereka enggak mau dong rekrutmen dana partai disaingi oleh partai baru," kata Ryaas Rasyid.
Ujung-ujungnya duit juga. Dan inilah topik paling hangat dalam Undang-Undang Politik baru ini. Beleid ini memang luar biasa progresif dalam hal pengaturan dana partai. Sementara sebelumnya seorang simpatisan hanya diizinkan menyumbang maksimum Rp 15 juta kepada sebuah partai, sekarang sumbangan itu boleh hingga Rp 200 juta. Sumbangan dari perusahaan dinaikkan dari Rp 150 juta menjadi Rp 800 juta.
Dengan peraturan ini, partai-partai yang sudah memiliki banyak "teman berduit" akan mudah menjaring dana tanpa harus melanggar aturan. "Apalagi tak ada larangan bagi partai untuk menerima sumbangan dari konglomerat bermasalah, misalnya," kata Emmy Hafild, aktivis LSM Transparency International.
Menurut undang-undang baru, partai memang wajib melaporkan kondisi keuangannya yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada Komisi Pemilihan Umum. Tapi, persoalannya, partai tidak diwajibkan melaporkan siapa yang memberikan sumbangan. Di sinilah pintu bagi praktek "konsesi dan koneksi" jadi terbuka lebar.
Usulan Transparency International agar partai melaporkan kondisi keuangannya kepada publik melalui pemuatan di media massa juga tak digubris DPR. "Padahal sekarang yayasan saja wajib memuat neraca keuangannya di koran-koran," kata Emmy, geram.
Emmy boleh murka. Tapi kenyataannya undang-undang itu telah diteken. Partai harus tunduk kepada aturan itu sebelum meluncur menuju Pemilu 2004.
Untuk menggenapi persiapan Pemilu 2004, masih ada perangkat hukum lain yang masih ditunggu: Undang-Undang Pemilu. Peraturan yang terakhir inilah yang hingga kini masih terkatung-katung nasibnya.
Padahal, tanpa Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Partai nyaris tak bisa bekerja. Tengoklah persoalan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setelah tim Departemen Kehakiman selesai memeriksa kelengkapan partai politik di daerah-daerah, tugas verifikasi selanjutnya diserahkan kepada KPU. Lembaga inilah yang memutuskan apakah sebuah partai boleh ikut pemilu atau tidak.
Menurut Hamid Awaluddin, tim yang akan bekerja adalah KPU daerah. "Tapi pembentukan KPU daerah?termasuk soal struktur dan wewenangnya?masih menunggu Undang-Undang Pemilu. Terus terang saya ketar-ketir," kata Hamid.
Waktu memang mepet. Jika setiap partai diberi waktu untuk menyesuaikan diri dengan Undang-Undang Partai hingga September 2003 nanti, waktu Departemen Kehakiman dan KPU untuk bekerja kurang dari 10 bulan hingga pelaksanaan pemilu pertengahan 2004 nanti. "Waktunya sangat sempit," kata Hamid. Ini di luar problem teknis: dari 30 provinsi yang ada, baru 18 provinsi di antaranya yang telah memiliki kantor KPU daerah. Di luar itu kosong-melompong
Sampai sekarang belum jelas kapan Undang-Undang Pemilu 2004 disahkan. Jadi, pertanyaan yang relevan: akankah Pemilihan Umum 2004 jadi dilaksanakan pada pertengahan 2004?
Arif Zulkifli, Tomi Lebang, Tjandra Dewi
Cara Mendirikan Partai Baru
|
Pasal-Pasal Bermasalah Undang-Undang Partai Politik 1. Pasal 2 Ayat 3(b) soal pembentukan parpol yang mensyaratkan parpol punya kepengurusan minimum 50 persen dari jumlah provinsi, 50 persen dari jumlah kabupaten/kota, dan 25 persen dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Masalah Persyaratan ini bisa menghalangi masyarakat di suatu provinsi atau kabupaten untuk menyampaikan aspirasi lokalnya. 2. Pasal 2 Ayat 3(c) dan Pasal 19 bahwa setiap parpol harus memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak memiliki persamaan pokok atau keseluruhan dengan parpol lain Masalah Beberapa partai memilki lambang kepala banteng, meski "ekspresi" sang banteng berbeda-beda. Di Departemen Kehakiman, tercatat banyak parpol yang punya kesamaan lambang sehingga timbul persoalan partai mana yang berhak memiliki lambang ini. 3. Pasal 17 dan 18 soal keuangan partai politik. Partai dibenarkan menerima sumbangan dari perorangan sebesar Rp 200 juta dan dari perusahaan Rp 800 juta per tahun. Masalah Peraturan ini membuka peluang terjadinya praktek kolusi, korupsi, antara partai dan pengusaha atau perorangan 4. Pasal 9 tentang kewajiban parpol membuat pembukuan penyumbang partai dan jumlah sumbangan secara terbuka untuk diketahui masyarakat dan pemerintah Masalah Tidak diatur bagaimana cara masyarakat mengetahui laporan keuangan dan penyumbang itu. Apalagi, DPR menolak usul agar laporan itu dimuat di media massa. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo