Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LOLOS di Helsinki, Finlandia, ternyata bukan jaminan semua butir rencana perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bisa mulus diteken 15 Agustus nanti. Suara paling garang menolak hasil dialog itu kini datang dari sejumlah anggota DPR RI, Senayan. Mereka menuding pemerintah SBY-Kalla tidak terbuka dalam membuat perundingan di luar negeri.
Penentang paling keras berasal dari Fraksi PDI Perjuangan, partai yang kini mengambil garis oposisi dengan peme-rintah SBY-Kalla. Fraksi partai itu de-ngan tegas meminta pemerintah segera menjelaskan hasil dialog da-mai ke DPR. ”Kalau tidak sesuai konstitusi, bisa fatal,” ujar Soetardjo Soerjogoeritno, Wakil Ketua DPR dari Fraksi PDI Perjuangan. Rencananya, pekan ini DPR akan segera meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan ih-wal hasil dialog itu ke parlemen.
Pertemuan itu, kata Soetardjo, untuk memastikan pemerintah betul-betul tidak melanggar konstitusi. Soalnya, Undang-Undang Dasar 1945 mengatur perlunya persetujuan DPR jika pemerintah mau membuat keputusan perundingan atau perang. Dikhawatirkan, keputus-an politik pemerintah pada dialog itu bertabrakan dengan hukum nasional. Apa-lagi kalau sampai ada kesalahan langkah dan membuat negara kesatuan berantakan. ”Pemerintah jangan terlalu optimistis DPR bakal menyetujui semua hasil dialog itu,” ujar politisi gaek itu, Kamis pekan lalu.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga ketua partai pemilik kursi terbesar di Senayan, memang optimistis persetuju-an para wakil rakyat akan diraih. Harap-annya, draf perjanjian informal itu bisa diteken sebelum tanggal 17 Agustus. ”Ini adalah hadiah ulang tahun bagi Republik Indonesia,” ujar Kalla beberapa waktu lalu. Dialog itu memang bisa menghasilkan kesepahaman yang maju. Antara lain, GAM bersedia melupakan ide merdeka dan tetap bersama Republik.
Dengan kemajuan itu, sampai dengan dialog putaran kelima di Helsinki ber-akhir Ahad pekan lalu, berbagai kesepakatan teknis pun disepakati dalam suasana bergairah. Kedua pihak pun lancar membubuhkan paraf pada draf per-janjian setebal delapan halaman. Isi-nya soal pemberian amnesti, pengaturan ekonomi, pengaturan keamanan, partisipasi politik, dan aturan hukum.
Hanya, pada putaran terakhir, dialog itu sempat berjalan alot. GAM menuntut hak mendirikan partai lokal bagi setiap warga Aceh bisa segera dimasukkan dalam butir perjanjian. Tapi utusan pemerintah tak bisa segera mengabulkannya. Delegasi Indonesia juga tak bisa ambil keputusan tegas. Soalnya, untuk me-nampung partai lokal itu harus mengubah undang-undang politik nasional.
Artinya, keputusan partai lokal bagi Aceh harus dengan persetujuan DPR RI. Karena itu, delegasi Indonesia tak berani mematok keputusan di Helsinki. ”Kita hanya menjelajahi kemungkinan bahwa partai lokal itu secara prinsip masih mungkin,” ujar pemimpin delegasi Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, di Helsinki dua pekan lalu.
Partai lokal itu rupanya inti tuntutan politik GAM dalam dialog itu. Soal-nya, mereka menyerahkan konsep self-govern-ment sebagai solusi damai. Indonesia sendiri tetap bertahan dengan konsep otonomi khusus. Meskipun begitu, akhirnya debat soal semantik apakah self-government atau otonomi khusus akhirnya reda. Para perunding sepakat mementingkan substansi ketimbang isti-lah. GAM juga mengatakan, apa pun yang mereka tawarkan, Aceh tetap bagian dari Republik Indonesia. Mereka juga meminta pada sistem politik baru nanti partai lokal boleh berdiri. ”Kalau tak ada partai lokal, tak ada perubahan politik,” ujar juru bicara GAM, Bakhtiar Abdullah.
Dialog yang ditengahi oleh Crisis Management Initiative itu—lembaga resolusi konflik pimpinan bekas Presi-den Finlandia Martii Ahtisaari—bahkan hampir berantakan gara-gara tuntutan partai lokal itu. Padahal, kedua pihak sudah melewati topik yang sulit sebelumnya, seperti soal pengaturan keamanan yang mencakup prinsip pelucutan senjata. Bagian pelucutan senjata itu, kata Bakhtiar Abdullah, akan di-atur lebih rinci lagi setelah penekenan perjanjian dilakukan nanti.
Debat yang tegang pun sempat terjadi pada dialog putaran kelima itu. Sumber Tempo yang menyaksikan perun-dingan itu mengatakan soal partai lokal membuat dialog macet hampir tiga jam. Padahal, Sabtu pekan lalu adalah hari terakhir dialog putaran kelima. Delegasi Indonesia mengusulkan partai lokal ada-lah partai nasional yang berbasis di Aceh. Sementara GAM meminta kata-kata ”berbasis nasional” dihilangkan. Akibatnya, dialog macet sampai te-ngah hari sehingga sang penengah Martii Ahtisaari turun tangan.
Agar suasana cair, Martii memutuskan jeda sejenak. Menurut sumber itu, saat itulah perunding GAM M. Nur Djuli mengajak salah seorang delegasi Indo-nesia berbicara khusus di luar ruang rapat. Kepada perunding Indonesia itu, M. Nur Djuli bertanya mengapa soal konsep partai lokal tak bisa disetujui langsung. Delegasi Indonesia itu meng-atakan, secara prinsip mereka setuju hak partai lokal. Tapi keputusan tak bisa diambil karena harus menunggu parlemen.
Perunding Indonesia itu akhirnya menelepon Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk melaporkan kemacetan itu. Kalla akhirnya setuju mencari kata-kata yang tepat dalam butir perjanjian agar tak heboh di parlemen. Lalu, masih ke-terangan sumber, Nur Djuli pun berembuk dengan Hamid Awaluddin. Intinya, menegaskan waktu perubahan undang-undang untuk mengizinkan partai lokal di Aceh bisa diberikan. ”Nur Djuli minta enam bulan,” kata sumber itu.
Usulan itu ditolak Hamid karena dia tak bisa berjanji untuk waktu sesempit itu. Hamid mengusulkan dua tahun, lalu Nur Djuli menawar lagi menjadi satu tahun. Akhirnya, disepakatilah bahwa partai lokal di Aceh secepatnya dalam waktu satu tahun dan selambat-lambatnya 18 bulan. Lalu, butir soal partisipasi politik yang berintikan partai lokal itu pun diparaf oleh kedua belah pihak.
Tapi, masih kata sumber itu, GAM tampaknya sedikit kecewa juga setelah acara paraf itu. Soalnya, meski usul mereka menarik TNI dan Polri non-o-rganik di Aceh disetujui, angka TNI dan Polri yang organik dirasakan masih terlalu besar. ”Jumlahnya menjadi sekitar 21.000 TNI organik di Aceh,” ujar sumber itu. Padahal, dalam perkiraan GAM, jumlah anggota TNI organik di Aceh di bawah Kodam Iskandar Muda hanya sekitar 7.000 personel.
Mayor Jenderal TNI Bambang Darmono, wakil militer dalam perundingan itu, meski tak turut berembuk, membantah bahwa angka yang disodorkan TNI mencampurkan yang organik dan non-organik. ”Tidak benar itu. Kita se-mua ingin persoalan Aceh ini cepat selesai, bukan makin runyam,” ujar bekas Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan saat Aceh berada di bawah darurat militer itu. Bambang, yang kini menjadi Komandan Pusat Persenjat-aan Infanteri, mengatakan semua angka pasukan organik dan non-organik akan ter-buka kepada publik setelah peneken-an perjanjian damai 15 Agustus men-datang.
Sampai saat ini memang belum ada perintah mundur bagi pasukan TNI, sampai kesepakatan perundingan formal dilakukan. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan TNI diperintahkan menahan diri atau tidak ofensif selama perundingan formal berjalan. ”Panglima TNI,” kata Juwono, ”sesuai perintah presiden sudah berge-rak ke Aceh menjelaskan keputusan politik damai itu kepada para prajurit,” ujarnya, Kamis pekan lalu.
Begitu juga dari Polri. Pasukan non-organik dari Polri akan segera dita-rik secara bertahap sampai 31 Desember nanti. Tapi, Kepala Polri Jenderal Sutanto mengatakan pihaknya sedang menghitung-hitung berapa kekuatan organik yang akan ditambahkan di Aceh. Menurut dia, satuan organik di Aceh akan diselaraskan dengan kebutuhan. Rasio kebutuhan polisi secara nasional adalah 1:800. Untuk Aceh, kata Sutanto, Polri akan menghitung ulang. ”Kami sedang susun drafnya, jumlahnya mungkin cukup besar,” ujar Sutanto, Kamis pekan lalu.
Memang, belum jelas mengapa jumlah pasukan pengamanan masih besar saat Aceh masuk ke tahap perdamaian. Dalam soal jumlah pasukan ini, GAM memang tak bisa melakukan tawar-menawar. ”Jumlah pasukan memang urusan tiap angkatan bersenjata dan tim monitoring,” ujar Nur Djuli.
Perjanjian itu juga telah menyepakati hadirnya Aceh Monitoring Mission, yang terdiri dari utusan Uni Eropa dan ASEAN. Meski begitu, tim pengawas yang dikirim bukanlah pasukan militer bersenjata. ”Mereka memang punya latar belakang militer,” ujar Duta Besar Uni Eropa, Jean Breteche, di Jakarta, Kamis pekan lalu. Maklum, tugas tim monitoring ini adalah mengawasi penarikan pasukan TNI serta penghancuran senjata milik GAM.
Nezar Patria, Sita Planasari, Agus Suprianto
Belajar dari Kasus Jenewa
Putaran kelima perundingan damai antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Mer-deka telah tuntas pekan lalu di Helsinki, Finlandia. Kedua kubu berhasil mencapai titik temu dalam sejumlah agenda. Inilah langkah awal yang menerbitkan harap-an akan berakhirnya konflik bersenjata dan kekerasan lain di tanah Aceh.
Kedua belah pihak tentunya akan belajar dari pengalaman gagalnya realisasi atas perundingan sebelumnya. Setidaknya, dari kesepakatan damai CoHA (Cessation of Hostility Agreement) yang dirintis Susilo Bambang Yudhoyono semasa masih menjadi Menteri Koordinator Polkam.
Perjanjian RI-GAM
Perundingan damai dirintis sejak Januari 2005, setelah bumi Nanggroe Aceh Darussalam dihantam musibah tsunami. Draf kesepakatan yang telah dihasilkan akan diuji lagi di lapangan. Rencananya, perjanjian kesepakatan damai itu sendiri akan diteken 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Prinsip Dasar Perundingan
- Penyelesaian masalah Aceh dilakukan seca-ra damai, menyeluruh, bermartabat, dan sustainable.
- Penyelesaian masalah Aceh dilakukan se-cara jujur, demokratis, dalam kerangka NKRI dan UUD 1945.
- Penyelesaian damai di Aceh akan mempermudah dan mempercepat pembangun-an di Aceh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo