Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Bagi yang tak bisa diam, mereka cenderung memakai pakaian yang mencolok mata. Ada yang memakai baju dan jaket warna-warni. Bahkan rambutnya dicat dengan kelir tak lazim, seperti hijau muda, biru, dan jingga.
Sesuai dengan nama pergelaran tersebut, Citayam Fashion Week (CFW), mereka bak model yang berjalan di panggung catwalk. Bedanya, panggung mereka sebatas trotoar dan zebra cross. Tampak sejumlah petugas Dinas Perhubungan DKI Jakarta membantu para model dadakan itu menyeberang zebra cross.

Aneka gaya busana di Citayam Fashion Week di Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta, 18 Juli 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Keunikan peserta Citayam Fashion Week beragam, di antaranya para pria yang berbusana layaknya perempuan. Contohnya, ada seorang pria yang memakai baju terusan pendek jauh di atas lutut dengan rambut pirang. Sekilas mirip mendiang Marilyn Monroe. Ia berjalan ke sana kemari sembari menerima ajakan foto pengunjung lain. Sayangnya, ia enggan diwawancarai saat ditemui Tempo, Rabu lalu.Banyak pula pria yang memakai baju khas pria, tapi gerak dan cara berbicaranya kemayu. Ige, salah satunya. Pria berusia 25 tahun itu memakai kaus putih berbalut jaket ketat berkelir hitam. Tak lupa ia memakai celana jins ketat dan sepatu sneaker. Namun ketika diajak ngobrol, gelagat kemayunya tak bisa ia sembunyikan.
Ige tak sendirian. Ia ditemani kawannya yang mengaku bernama Bubble Hadis. Pria berusia 36 tahun itu juga berkelakuan centil mirip perempuan. Padahal ia memakai sandang pria berupa kaus pendek dan celana pendek. Keduanya menolak disebut pria kemayu. Mereka beralasan gerak-gerik gemulai sekadar gaya.
Hadis dan Ige seketika mengernyitkan dahi ketika ditanya tentang rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menindak dan mengedukasi pria peserta Citayam Fashion Week yang memakai busana mirip pakaian perempuan. Hadis dan Ige dengan tegas menolak wacana tersebut.
Menurut Hadis, Pemerintah Provinsi DKI terlalu serius melihat fashion. Hadis menganggap busana feminin yang dipakai kaum Adam dalam Citayam Fashion Week hanya sebagai mode pakaian alias fashion. "Itu cuma gaya-gayaan doang," kata Hadis.
Ia menganggap Pemprov DKI tak adil jika asal menindak para pria kemayu dalam Citayam Fashion Week. Sebab, faktanya para artis pria yang tampil di stasiun televisi juga kerap mempertontonkan gaya berpakaian perempuan.
"Ya, sudah. Tindak juga mereka dong. Atau sekalian banci yang mangkal (prostitusi) layak untuk ditindak. Salah kami apa coba kalau sampai ditindak?" kata Hadis.
Ige menyebutkan Pemprov DKI tak punya hak untuk menindak bahkan menangkap pria berpakaian perempuan dalam Citayam Fashion Week. "Kalau ditangkap, kan berarti sudah melanggar aturan. Kami melanggar aturan apa?" kata Ige.
Ige dan Hadis merasa semakin banyak tekanan terhadap kegiatan Citayam Fashion Week. Sebab, sebelumnya ada saja isu yang ditabrakkan, dari menimbulkan kemacetan hingga sampah.
Keduanya tak berkeberatan jika memang Citayam Fashion Week di Dukuh Atas akhirnya dibubarkan pemerintah provinsi. Sebab, lagi-lagi, CFW sekadar kegiatan unjuk ekspresi dan hiburan. Keduanya yakin masih ada tempat lain yang bisa digunakan untuk lokasi fashion show dadakan lainnya di Jakarta.
Peserta lain Citayam Fashion Week, Faldo, menyebutkan para pria kemayu di Dukuh Atas sejatinya pendatang baru. Saat tren SCBD atau Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok bermula beberapa pekan lalu, sangat jarang pria yang berani tampil vulgar dengan baju perempuan.
"Setelah viral saja mereka datang ke sini. Ikut panjat sosial saja," kata remaja berusia 16 tahun yang mengaku hampir saban hari datang ke Dukuh Atas itu.
Menurut Faldo, para pria kemayu berani tampil beda lantaran ingin viral. Maklum, CFW kini sudah menjadi magnet kuat di media sosial. Karena isu pria kemayu berbaju perempuan, Faldo khawatir Citayam Fashion Week dibubarkan oleh pemerintah. Faldo mengaku kesal jika sampai hal tersebut terjadi. Mau tak mau, ia hanya bisa mengikuti aturan pemerintah.
"Nanti pasti ada tempat lain buat seperti ini lagi (Citayam Fashion Week)," kata dia.
Suara penolakan juga datang dari Sheren Zahra, mahasiswi berusia 20 tahun yang kerap kongko di Haradukuh--julukan Dukuh Atas mengacu pada fenomena fashion Harajuku di Tokyo. Sheren setuju dengan rencana pemerintah provinsi menertibkan pria berpakaian feminin di Citayam Fashion Week. Menurut Sheren, gelagat kemayu para pria itu tak elok dipertontonkan, terlebih orang yang datang ke Dukuh Atas sangat banyak dengan rentang umur beragam.
"Tetap bisa berekspresi, tapi harus sesuai dengan norma dan kodrat yang berlaku," kata dia.
Riyan Saputra, pemuda asal Citayam, satu suara dengan Sheren. Namun ia memberikan catatan khusus kepada Pemprov DKI saat bertindak nantinya. Intinya, pemerintah harus tetap menjunjung hak berekspresi mereka. "Kalau nyeleneh, harus dibina," kata dia.
Sejatinya, pria dengan busana perempuan bukan hal baru di dunia fashion. Penyanyi berkebangsaan Inggris, Harry Styles, sempat menjadi bahan omongan lantaran sering memakai pakaian perempuan dalam pemotretan dan acara tertentu. Dia memadu-padankan gaun, rok, dan blus perempuan.
Perancang busana dan kritikus mode Sonny Muchlison menyebut gaya pakaian Harry Styles itu sebagai cross feeding. Namun Sonny tak melihat unsur cross feeding dalam fashion pria kemayu di CFW.
Menurut dia, berlintas busana (cross-dressing) terjadi ketika seseorang berpakaian sesuai dengan gender yang berbeda dengannya, tapi tetap mempertahankan kodrat gender yang sebenarnya. “Cross-dressing dengan perilaku kemayu yang berlebihan itu salah,” kata Sonny.
Dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu memandang para pria berpakaian perempuan dalam CFW sebagai orang yang pandai memanfaatkan situasi. Mereka tak lebih sebagai aktor konten media sosial. Walhasil, Sonny berharap masyarakat cerdas membedakan ekspresi fashion dengan ulah demi viral.
Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengajak semua pihak melindungi anak-anak dan remaja dari perilaku LGBT. Riza mengaitkannya dengan dugaan perilaku busana yang menyimpang dalam Citayam Fashion Week.
Meski begitu, Riza menegaskan bahwa Pemprov DKI tetap akan memberikan ruang berekspresi bagi masyarakat, seperti di Dukuh Atas. Namun dengan catatan, tak boleh ada unsur LGBT dalam pergelaran tersebut.
INDRA WIJAYA | ANGGI ROPININTA PANGARIBUAN (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo