Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tak mengalami kemajuan selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan lembaganya telah menyodorkan sebelas berkas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu kepada pemerintah. Namun pemerintah tak menyelesaikan satu pun kasus tersebut. "Dalam lima tahun terakhir ini tidak ada kemajuan," kata dia kepada Tempo, di Jakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Desakan agar pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu mencuat kembali dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, kemarin. Di Indonesia, peringatan Hari HAM ditandai dengan berbagai demonstrasi di sejumlah kota besar, di antaranya Jakarta, Yogyakarta, dan Semarang.
Ahmad Taufan menuturkan Komnas HAM di antaranya telah menyerahkan dokumen penyelidikan kasus pembantaian 1965, kasus Rumoh Geudong 1989, peristiwa Trisakti 1998, kasus Ninja, kasus Wasior, kasus Wamena, dan pembunuhan dukun santet di Banyuwangi pada 1998. Semua berkas kasus itu telah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Namun Kejaksaan mengembalikan berkas kasus tersebut dengan alasan adanya perbedaan metode penyelidikan kasus.
Selama ini, menurut Ahmad Taufan, pemerintah masih berfokus menangani kasus pelanggaran hak asasi yang terjadi di era kepemimpinan Jokowi. Beberapa di antaranya adalah kasus konflik agraria, kekerasan di Papua, dan demonstrasi mahasiswa pada September lalu.
"Kami merekomendasikan agar setiap penanganan kasus berasaskan keadilan dan bisa dilakukan melalui jalur yudisial maupun non-yudisial," kata Ahmad Taufan.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar, malah menilai jeblok atas penanganan pelanggaran HAM masa lalu oleh pemerintah Joko Widodo. Dia menyebut kinerja pemerintahan Jokowi lebih buruk dari kinerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Kasus lama enggak ada yang selesai, malah diperburuk dengan pelanggaran HAM baru," kata Haris. Dia mencontohkan kasus kekerasan dan kematian mahasiswa pada saat demonstrasi menentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada September lalu.
Lokataru Foundation juga mencatat ada pengekangan kebebasan berekspresi pada era Jokowi dengan cara mengkriminalkan sejumlah aktivis. Ada juga kasus kekerasan di Papua. "Yang harusnya dilindungi malah kehilangan haknya. Situasi HAM kita makin buruk," kata Haris.
Pegiat hak asasi dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Falis Agatriatma, juga menilai pemerintah di era Jokowi memiliki kecenderungan untuk mengkriminalkan aktivis yang berusaha mengungkap pelanggaran hak asasi. "Ini preseden buruk," kata dia.
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi, tak menampik anggapan bahwa pemerintah belum bisa menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Meski begitu, kata dia, pemerintah telah melakukan pendekatan ekonomi, sosial, dan budaya sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi.
Mualimin juga membantah tuduhan bahwa pemerintah Jokowi melakukan pelanggaran HAM baru. Menurut dia, pemerintah telah menindak tegas aparat penegak hukum yang terlibat dalam sejumlah kericuhan, seperti demonstrasi dan kekerasan di Papua. "Pemerintah memiliki komitmen untuk menegakkan hak asasi manusia," kata dia.
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo