Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penantian 28 Tahun

KIPRAH I Nyoman Nuarta sebagai pematung bermula saat ia kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada 1973. Semula pria yang kini berusia 66 tahun ini memilih jurusan seni lukis.

11 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KIPRAH I Nyoman Nuarta sebagai pematung bermula saat ia kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada 1973. Semula pria yang kini berusia 66 tahun ini memilih jurusan seni lukis. Ketika sudah dua tahun mengikuti perkuliahan seni lukis, Nuarta lantas kepincut patung. "Karena tiga dimensi, saya suka yang kasar-kasar juga, dan materialnya bisa dipegang, diremas," katanya dalam sebuah perbincangan dengan Tempo beberapa waktu lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai mahasiswa seni patung, saat itu Nuarta ingin mengembangkan gaya patung realis-gaya yang terus ia pertahankan hingga sekarang. Keinginannya itu seperti melawan arus besar, karena di jurusan seni patung ITB pada 1970-an tengah berkembang gaya abstrak dan formalis yang mengandalkan komposisi bentuk. Sejumlah dosen pun kerap mempertanyakan ide patung realis Nuarta. "Otak masih goblok, keinginan doang besar. Jadi bulan-bulanan dosen, sampai dicuekin," ujarnya, mengenang. Namun ia tak surut. Nuarta yakin suatu saat patung realis akan booming.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Merasa tersudut di kampus, ia lantas mencari teman yang mau mendukung gagasannya. Bersama Jim Supangkat, yang kini menjadi kurator seni, Nuarta memunculkan Gerakan Seni Rupa Baru. Gerakan itu, kata Nuarta, menolak pengelompokan seni dalam berbagai -isme. Bagi mereka, karya seni bisa berupa apa saja. Gerakan itu juga ikut mendorong Nuarta menggali lebih banyak hal tentang patung realis. Selain merasa menemukan dunianya untuk berkarya, sejak itu ia menancapkan tekad bekerja sebagai pematung.

Pada 1975, Nuarta membuat karya patung pertamanya berupa torso atau model rangka tubuh manusia. Berbahan poliester resin, patung itu berukuran 35 x 25 x 67 sentimeter. Wujud patung itu tubuh perempuan tanpa pakaian. Tanpa kepala dan kedua lengan serta kaki, patung yang mulus tersebut berlubang-lubang di bagian pinggang ke bawah.

Menjelang kelulusannya, Nuarta memenangi sayembara "Patung Monumen Proklamator Indonesia" pada 1979. Patung Sukarno-Hatta karyanya kini tegak berdiri di Jalan Proklamasi, Jakarta. Patung setinggi 5 meter itu berbahan perunggu. Dalam sayembara tersebut, seniman kelahiran Tabanan, Bali, 14 November 1951, itu bersaing dengan dosennya, G. Sidharta. Karya itu pun kemudian menjadi tonggak popularitas Nuarta sebagai pematung.

Bagi Nuarta, mematung juga menjadi cara berterima kasih kepada Tuhan atas jalan kesenian yang ia dapatkan. "Berkarya… itulah sembahyang saya," ucapnya. Pengaruh Hindu dalam karyanya menjadi benang merah, seperti mengandung narasi karena ia senang bercerita, juga bernapaskan filsafat hidup dengan alam dan manusia. Inspirasinya ketika membuat patung berasal dari semua gejala yang terjadi. "Kebaikan atau malapetaka bisa jadi ide juga kalau dicerna dengan baik," katanya.

Sebelum mematung, Nuarta menyiapkan ide dan material serta memahami situasi, seperti lokasi penempatan patung serta karakter cuacanya. Pemilihan material tidak bisa gegabah karena material patung, seperti kayu dan logam, punya karakter khas masing-masing. Faktor lingkungan juga menjadi pertimbangan. Misalnya soal kadar asam yang tinggi dari hujan dan kadar garam yang gampang membuat bahan logam, seperti besi atau baja, berkarat. Pilihan itu kemudian harus dikreasikan, misalnya memakai kuningan yang setingkat dengan perunggu. Untuk bisa meracik logam yang aslinya di alam campuran tembaga dengan timah itu, Nuarta harus belajar sendiri. "Karena oleh pematung lain pembuatannya dirahasiakan, jadi harus bereksperimen sendiri," tuturnya.

Karya-karya monumental lain Nuarta kemudian lahir. Pada 1987, ia membuat patung Arjuna Wijaya di Jakarta. Sekitar lima tahun kemudian, ia merancang Monumen Jalesveva Jayamahe. Patung setinggi 30 meter itu berdiri di Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut di Surabaya pada 1993. Selain itu, Nuarta terus produktif membuat patung yang kemudian ia simpan di NuArt Sculpture Park, galeri seni yang ia dirikan di Bandung pada 2000. NuArt, yang berdiri di atas lahan seluas sekitar 3,6 hektare, kini berkembang menjadi ruang seni dan wisata publik.

Nuarta menyatakan senang karena pekerjaannya selama ini tidak hanya menghidupi keluarganya, tapi juga menafkahi para pekerjanya yang pernah berjumlah sekitar 1.000 orang sebelum krisis moneter 1998 mendera.

Berdirinya patung Garuda Wisnu Kencana merupakan impian lama Nuarta. Setelah jatuh-bangun selama 28 tahun, ia akhirnya mewujudkannya. "Pembuatan patung Garuda Wisnu Kencana itu dari rambut saya panjang sampai botak," ucapnya.

Anwar Siswadi (Bandung), Bram Setiawan (Bali)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus