Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Pencemaran Udara Jakarta Picu Kanker? Ini Jawab Pemprov DKI

Bersikukuh pencemaran udara Jakarta masih dalam batas aman, Dinas LH bertanya, "Kita ikut WHO atau Amerika Serikat?"

15 Februari 2019 | 08.21 WIB

Sebuah lampu merah terlihat diselimuti kabut dan asap polusi di Jakarta, 27 Juli 2018. REUTERS/Beawiharta
Perbesar
Sebuah lampu merah terlihat diselimuti kabut dan asap polusi di Jakarta, 27 Juli 2018. REUTERS/Beawiharta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah DKI Jakarta bersikukuh pencemaran udara Jakarta masih dalam batas aman. Standar pun disebutkan telah sesuai dengan yang digunakan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Seksi Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Agung Pujo Winarko, menanggapi data dari Greenpeace Indonesia bahwa pencemaran udara Jakarta telah beberapa kali melampaui batas ambang wajar. Terakhir disebutkan Greenpeace terjadi Kamis dinihari dan pagi, 14 Februari 2019.

Masyarakat memakai masker pada aksi peduli udara bersih yang digelar di Bundaran HI, Jakarta, Rabu 5 Desember 2018. Aksi tersebut menuntut aksi nyata pemerintah untuk membuat strategi dan rencana aksi yang jelas secara hukum guna membenahi darurat polusi di Ibukota. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

"Kami menggunakan standar dari WHO. Kalau berpatokan dengan standar itu udara di Jakarta masih aman," ujar Agung, Kamis 14 Februari 2019. 

Agung mengatakan kalau alat pemantau udara milik pemerintah memantau polusi jenis Particulate Matter (PM) 10 saja. PM 10 adalah partikel polusi berbentuk asap, debu, dan uap yang berukuran 10 mikron. Selama ini, kata Agung, jumlah polutan PM10 di Jakarta berkisar 49-81 mikrogram per meter kubik dan masih dalam zona hijau alias aman.

Parameter pengukuran itu berbeda dengan yang digunakan Greenpeace, yakni PM2,5. Jenis polutan ini merupakan debu kecil berukuran 2,5 mikron yang dihasilkan dari sisa pembakaran, mulai dari bahan bakar fosil, PLTU Batubara, dan transportasi.

"PM 2,5 berbahaya, karena ukurannya dan dampaknya yang karsinogenik (menyebabkan kanker)," ujar Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Ariyanu.

Berdasarkan data yang dicupliknya dari stasiun pemantau udara milik Kedutaan Besar Amerika Serikat di selatan Jakarta, Bondan mengungkapkan kalau jumlah polutan PM 2.5 telah berada di atas ambang batas wajar, yakni sebanyak 88 - 102 ug/m3, pada Kamis dinihari dan pagi. Angka yang sama telah memicu sekolah-sekolah diliburkan serta anak-anak dan orang tua dilarang keluar rumah di Bangkok, Thailand.

Agung mengakui perbedaan paramater pengukuran itu. Namun dia berdalih mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 sebagai standar pengukuran pencemaran udara.

Warga berada di dalam instalasi ruangan bebas polusi udara di kawasan Jakarta Selatan, Kamis, 13 September 2018. Ruangan tersebut diatur agar udara di dalamnya lebih bersih dari udara luar ruang Kota Jakarta sebagai bentuk kampanye pentingnya melakukan upaya pengendalian terhadap sumber-sumber polutan. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Agung lalu mempertanyakan metode Greenpeace dalam pengambilan sampel udara Jakarta. Menurutnya, selama ini tak ada komunikasi antara dinas dengan lembaga swadaya masyarakat itu. 

"Perlu ditanyakan ke Greenpeace, bakunya (pengukuran pencemaran udara Jakarta) yang berlaku di Indonesia itu ikut WHO atau Amerika Serikat," kata Agung.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus