Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan melihat ada pihak-pihak tertentu yang berupaya menyudutkan suporter klub sepak bola Arema FC dalam tragedi Kanjuruhan. Paling tidak, upaya tersebut muncul di media sosial. Berbagai narasi yang disebarkan itu seolah-olah ingin menunjukkan bahwa tragedi itu pecah karena ulah para suporter. "Kita harus kritis dalam menerima berita dan tidak boleh langsung menyimpulkan begitu saja," kata Media and Campaign Manager Amnesty International Indonesia, Nurina Savitra, di Kanjuruhan, Malang, kemarin, 5 Oktober.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad, juga melihat fenomena yang sama. Ia menduga narasi-narasi yang memojokkan Aremania—kelompok suporter Arema FC—itu dilakukan para pendengung. Jasa para buzzer ini biasanya digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk "cuci tangan". Dalam konteks tragedi Kanjuruhan, kata Hussein, sasaran empuk untuk dijadikan kambing hitam adalah Aremania. "Itu adalah upaya melokalisasi isu dengan menyalahkan Arema," kata dia.
Menurut Hussein, pemanfaatan pendengung ini kerap terjadi dalam berbagai kasus yang melibatkan kepolisian. Bahkan ini seperti sudah menjadi pola untuk menghindari tanggung jawab. "Nanti kita lihat ada atau tidak aparat keamanan yang diminta pertanggungjawaban," ujarnya.
Hussein berpendapat, jika memang ada Aremania yang bersalah dalam kasus ini, seharusnya ditangkap untuk diproses sesuai dengan aturan. "Jadi, bukan dipukul, ditendang, dan ditembak gas air mata," ucapnya. Tindakan seperti itu jelas melanggar hukum. Berdasarkan aturan internasional, gas air mata dilarang digunakan di dalam stadion. Larangan tersebut tercantum dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations. Pada Pasal 19 huruf b tertulis "No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used". "Karena dampaknya sangat mengerikan. Di sini fungsi kita adalah meminta akuntabilitas negara," ujar Hussein.
Dalam tragedi Kanjuruhan, kata Hussein, belum ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab atas penembakan gas air mata. Petugas di lapangan tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena mereka dibekali dengan senjata tersebut. Kalaupun mereka bertindak atas keputusan sendiri, tetap saja atasannya harus ikut bertanggung jawab. "Terjadi pembiaran yang dilakukan oleh atasan," ucapnya. "Penggunaan gas air mata (di Stadion Kanjuruhan) ini termasuk pembunuhan."
Para suporter memegang bendera pendukung Arema FC di lapangan Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Insiden di Stadion Kanjuruhan adalah tragedi kemanusiaan. Hussein menilai kasus itu merupakan akumulasi dari berbagai kekerasan yang selama ini dilakukan oleh kepolisian. Ia mendesak pemerintah mengubah kultur kekerasan di tubuh lembaga penegak hukum ini. "Kebrutalan polisi dan TNI ini tidak hanya sekali terjadi," kata dia. "Perlu evaluasi dan menarik benang merah ke belakang."
Untung (bukan nama sebenarnya), suporter Arema FC, mengatakan banyak informasi di media sosial yang salah tentang pemicu kerusuhan di Stadion Kanjuruhan. "Saya tahu karena lihat langsung dari bangku VIP," ucapnya.
Menurut Untung, saat ada penonton yang masuk ke tengah lapangan setelah pertandingan selesai, kondisi sebenarnya masih terkendali. Suasana mulai memanas setelah polisi tiga kali menembakkan gas air mata ke sentel ban (lintasan di tepi lapangan) sisi utara. "Saya heran, kok, sudah ditembakkan gas air mata? Padahal suporter di tribun tidak bergerak," katanya.
Tembakan gas air mata itu justru memicu penonton di tribun selatan turun ke lapangan. Mereka berniat membatu teman-temannya yang berada di sisi utara. Melihat penonton mulai tidak terkendali, polisi mengarahkan pelontar gas air mata ke sisi selatan. "Kalau (tembakan gas air mata) ke arah utara, hanya sampai pagar pembatas. Tapi yang di selatan ke langsung ke tribun penonton," ujar Untung.
Saat itulah korban mulai berjatuhan. Awalnya, Untung melihat satu perempuan pingsan dan digotong kawan-kawannya. Tidak sampai satu menit, ia melihat lagi korban-korban lain yang juga digotong. "Saya tidak tahu mereka itu selamat atau termasuk korban yang meninggal," kata dia.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia, Julius Ibrani, menilai kesalahan dalam pengamanan di Stadion Kanjuruhan sudah terjadi sejak awal. Untuk menangani suporter sepak bola, penyelenggara pertandingan dan aparat seolah-olah menghadapi orang-orang yang mengancam keamanan negara. "Tidak perlu melumpuhkan dengan menembak gas air mata secara langsung ke arah tribun penonton," ujar Julius.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal, Dedi Prasetyo, mengatakan, untuk mengungkap peristiwa di Stadion Kanjuruhan, tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi. Karena itu, Tim Investigasi Polri harus bekerja secara komprehensif. "Itu sedang dikaji oleh tim. Terkait (dengan Panpel Arema FC), ada pendalaman. Masih ada beberapa keterangan yang dibutuhkan tim," ujarnya.
Tim Investigasi, kata Dedi, juga menggali petunjuk dari rekaman kamera pengawas atau closed-circuit television (CCTV) yang terdapat di stadion. Rekaman CCTV itu antara lain menggambarkan situasi di pintu 9 hingga 14 Stadion Kanjuruhan. Di titik-titik itulah ditemukan banyak korban.
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan, berdasarkan video amatir yang beredar di masyarakat, ada sejumlah prajurit TNI yang diduga melakukan kekerasan terhadap penonton. "Lima prajurit diperiksa, empat di antaranya mengakui perbuatannya," kata Andika.
Menurut Andika, tindakan para prajurit itu sudah masuk pidana. "Seperti yang kita lihat di video, kan itu menyalahi sekali," ujarnya. "Mereka akan dikenai hukuman, minimal Pasal 351 KUHP."
IMAM HAMDI | DEWI N. PILIANG | FENTI GUSTINA | EKO WIDIANTO (MALANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo