Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penertiban Perlintasan Ilegal Kereta Api

KAI Daop 1 Jakarta akan menutup 67 perlintasan sebidang di sepanjang jalur kereta wilayahnya. Pemerintah ingin mengurangi potensi kecelakaan dan kemacetan yang kerap terjadi di perlintasan ilegal tersebut.

22 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penutupan perlintasan sebidang kereta kerap menuai penolakan dari warga sekitar.

  • Warga memilih menggunakan perlintasan sebidang karena lebih dekat dan mudah.

  • KAI berencana menutup 67 lokasi perlintasan sebidang ilegal pada tahun ini.

JAKARTA – PT Kereta Api Indonesia (KAI) menggandeng pemerintah daerah untuk menertibkan sejumlah perlintasan sebidang ilegal di seluruh wilayah Daop 1 Jakarta. Badan usaha milik negara ini bahkan telah mengajukan rencana untuk menutup jalur perlintasan di 67 lokasi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi potensi kecelakaan yang kerap terjadi pada akses tanpa sistem pengamanan standar itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Untuk lokasi lainnya, saat ini masih dalam proses koordinasi dengan Kementerian Perhubungan dan pengurus kewilayahan setempat," kata Kepala Hubungan Masyarakat PT KAI Daop 1 Jakarta, Eva Chairunisa, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perlintasan sebidang ilegal paling baru yang mengalami penutupan berada di Jalan Rawa Geni, Depok, Jawa Barat. Kebijakan penutupan akses ini berjalan lebih cepat dibanding di lokasi lain. PT KAI, Kementerian Perhubungan, dan Pemerintah Kota Depok memasang lima tiang besi di setiap akses perlintasan tersebut, Kamis lalu. Mereka juga memasang spanduk besar berisi pemberitahuan bahwa perlintasan ditutup permanen demi keselamatan bersama.

Penutupan akses ilegal ini hanya berselang satu hari setelah peristiwa tabrakan kereta Commuter Line KA 1077 relasi Bogor-Jakarta Kota dengan sebuah mobil minibus, 20 April 2022. Pada saat itu, pengemudi tetap memacu kendaraan karena melihat palang perlintasan dalam kondisi terbuka atau terangkat ke atas. Kereta pun menghantam dengan keras bagian depan mobil hingga kendaraan tersebut terseret sejauh 10 meter. “Perlintasan ini tak punya pintu otomatis dan rambu peringatan. Sesuai dengan undang-undang, perlintasan liar harus ditutup,” ujar Eva.

Lintasan ilegal di antara Stasiun Tebet dan Stasiun Cawang, Jakarta, 21 April 2022. TEMPO/Fransisco Rosarian

Perlintasan sebidang di Jalan Rawa Geni merupakan pos buatan warga sekitar yang dibangun secara sederhana. Petugas yang berjaga pun adalah anggota masyarakat lokal. Mereka membangun akses ini dengan klaim mempermudah mobilitas warga kedua wilayah di sisi rel kereta. Perlintasan ini menjadi solusi karena akses atau lokasi penyeberangan resmi berada cukup jauh.

Berdasarkan data PT KAI, terdapat 455 lintasan sebidang di sepanjang jalur kereta Daop 1 Jakarta. Dari jumlah tersebut, 196 perlintasan di antaranya berstatus liar atau ilegal. “Dari target 67 lokasi, hingga April 2022, sudah tujuh perlintasan sebidang ditutup,” kata dia.

Perlintasan liar masih menjadi pilihan masyarakat. Salah satu contohnya adalah pembuatan perlintasan sebidang ilegal di antara Stasiun Tebet dan Stasiun Cawang, Jakarta Selatan. Salah satu penjaga palang, Firmansyah, mengklaim jalur penyeberangan yang menghubungkan Kelurahan Tebet Timur dan Kebon Baru itu bisa dilewati lebih dari seribu orang per hari.

Menurut dia, masyarakat kesulitan kalau harus menggunakan jembatan penyeberangan orang (JPO) yang jaraknya lebih dari 500 meter dari rumah mereka. Para pengguna sepeda motor juga enggan menggunakan perlintasan flyover karena kerap macet. Mereka merasa lebih nyaman meski harus merogoh uang sebesar Rp 1.000-2.000 sebagai sumbangan sukarela setiap melintas.

“Jadi, perlintasan ini juga bisa menjadi tempat kerja bagi yang menganggur. Setiap hari ada lima shift dari 05.30 hingga 20.00 WIB. Satu giliran jaga bisa tiga orang,” kata pria yang juga menjabat Ketua Rukun Tetangga (RT) 08 RW 05 Kebon Baru tersebut.

Berdasarkan pantauan Tempo, terdapat sekitar 10 perlintasan liar yang berjejer di kawasan itu. Palang perlintasan pun dibuat sangat sederhana, yakni terbuat dari bambu, kayu, atau tiang besi. Di setiap pos terdapat sebuah kotak, ember, atau wadah kecil sebagai tempat memasukkan sumbangan sukarela. Perlintasan sebidang ini digunakan pengemudi ojek online, pelajar, ibu rumah tangga hingga pedagang keliling.

Lintasan ilegal di antara Stasiun Tebet dan Stasiun Cawang, Jakarta, 21 April 2022. TEMPO/Fransisco Rosarian

Penutupan perlintasan sebidang memang kerap menimbulkan banyak polemik, terutama dari warga sekitar. Meski memiliki dasar hukum, PT KAI dan pemerintah daerah tak mudah membujuk masyarakat menggunakan akses penyeberangan atau perlintasan yang resmi dan aman. Beberapa kali rencana penertiban pintu perlintasan liar juga mendapat protes dan kecaman.

Direktur Keselamatan Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Edi Nur Salam, mengatakan pemerintah memang tengah berupaya mengurangi jumlah perlintasan sebidang karena rawan kecelakaan dan kerap memicu kemacetan. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian yang mulai melarang adanya perlintasan yang sebidang dengan jalan raya.

Kementerian pun telah mendorong pemerintah daerah untuk membangun perlintasan berupa underpass atau flyover. Menurut dia, Kementerian telah menutup sekitar 1.500 dari 2.000-an perlintasan sebidang resmi. Secara paralel, mereka juga berencana menutup perlintasan liar atau ilegal di 280 lokasi. “Bagaimanapun, yang kami lakukan ini adalah untuk menyelamatkan nyawa pengguna jalan dan memastikan kereta api dapat melintas dengan selamat,” ujar dia.

Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, menilai penutupan perlintasan ilegal memang bukan tanggung jawab PT KAI. Kewenangan penertiban ini berada di tangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut dia, pemerintah memang harus lebih giat menjalin komunikasi dan sosialisasi dengan warga sekitar tentang bahaya perlintasan liar. “Seharusnya seluruh perlintasan sebidang ilegal memang harus segera ditutup,” ujar dia.

FRANSISCO ROSARIANS | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus