Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BPN punya peran dalam menentukan harga ganti rugi sengketa lahan Jakpro.
PT Jakarta Propertindo hanya memiliki dua pilihan, membayar ganti rugi atau mengajukan gugatan lagi dengan bukti baru.
Pengadilan bisa menyita aset PT Jakpro jika BUMD itu menolak membayar ganti rugi.
JAKARTA – Pengadilan Negeri Jakarta Utara memerintahkan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) segera membayar ganti rugi sebesar Rp 120 miliar kepada Umar dan kawan-kawan dalam perkara sengketa lahan di Waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Jika Jakpro tidak juga menjalankan perintah itu, tidak tertutup kemungkinan pengadilan akan menyita aset milik badan usaha milik daerah (BUMD) tersebut. “Pembayaran ganti rugi itu sudah menjadi keputusan pengadilan,” kata juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Djoeyamto, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Djoeyamto mengatakan, pada Maret lalu, pengadilan telah melayangkan aanmaning (teguran) kepada Jakpro untuk membayar ganti rugi. Kemudian, pada 3 September, pengadilan membuat penetapan dan memerintahkan Jakpro segera membayar ganti rugi tersebut. Bahkan, pada 25 Oktober lalu, pengadilan mengirim juru sita ke kantor PT Jakpro untuk mengeksekusi putusan pengadilan. Namun eksekusi itu ditunda karena Jakpro belum menerima salinan penetapan dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Adapun nilai ganti rugi yang harus dibayarkan Jakpro kepada Umar sebesar Rp 120 miliar. Angka tersebut diperoleh berdasarkan penghitungan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Toto Suharto & Rekan yang ditunjuk oleh pengadilan.
Sengketa tanah antara Jakpro dan Umar sudah terjadi sejak 1999. Pada 2000, Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan hukuman bagi Umar untuk menyerahkan tanah seluas 5.000 meter persegi kepada Jakpro, atau yang saat itu bernama PT Pembangunan Pluit Jaya.
Dalam putusan itu, pengembang Pluit Jaya juga dihukum untuk memberikan ganti rugi sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 Tahun 1993. Namun pengadilan tidak menyebutkan nominal ganti rugi tersebut. Walhasil, sejak diputuskan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 2000 hingga 2015, urusan taksiran harga ganti rugi tak kunjung usai.
Djoeyamto mengatakan, jika Jakpro tak bersedia melaksanakan putusan tersebut, hanya ada dua pilihan, yakni eksekusi ganti rugi secara paksa dan mengajukan gugatan lagi jika menemukan bukti baru.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Junaedi, menyebutkan penggunaan NJOP sebagai dasar penentuan ganti rugi tanah sudah sesuai dengan Keppres Nomor 55 Tahun 1993. Terlebih keppres itulah yang menjadi dasar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara terkait dengan ganti rugi tanah di Waduk Pluit.
Menurut Junaedi, Pasal 15 keppres itu menyebutkan penentuan harga tanah harus memperhatikan nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah dan bangunan di lokasi tersebut. "Cara penghitungannya begitu, menggunakan NJOP sebagai dasar penghitungan nilai nyata," kata Junaedi. Namun penghitungan ini harus dibuktikan dengan kepemilikan tanah yang berkekuatan hukum. “Bukti kepemilikan ini menjadi dasar pembayaran ganti rugi.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Dok Tempo/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, beranggapan bahwa Keppres Nomor 55 Tahun 1993 sudah dikalahkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Berdasarkan Pasal 31 UU tersebut, Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan pihak yang berhak menentukan harga ganti rugi tanah.
Namun, jika pihak beperkara tidak cocok dengan penetapan harga tanah yang diputuskan lembaga pertanahan, penetapan pengadilan menjadi solusi selanjutnya. "Kalau tidak cocok harga BPN, bisa dibawa ke pengadilan negeri. Sebab, harga di pengadilan negeri lebih memaksa," kata Fickar.
Adapun anggota Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, Gilbert Simanjuntak, mengatakan putusan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Jakpro sudah inkrah yang tidak perlu lagi diperdebatkan. Walhasil, Jakpro harus memenuhi ketentuan untuk ganti rugi. "Jakpro sebaiknya taat hukum, bukan menyerahkan tanggung jawab kepada Pemprov DKI untuk ganti rugi,” kata anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut.
Sedangkan Ketua Komisi B, Abdul Aziz, berencana meminta keterangan dari manajemen PT Jakarta Propertindo tentang kewajiban ganti rugi Rp 120 miliar tersebut. "Besok (hari ini), kami akan panggil untuk klarifikasi," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
INDRA WIJAYA | RANDY DAVRIAN IMANSYAH (Magang)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo