Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Pengamat: Industri Otomotif Indonesia Minim Insentif

Thailand empat kali memberi insentif fiskal kepada industri otomotif.

13 April 2018 | 08.41 WIB

Seorang pekerja mengecek mobil yang siap diekspor di IPC Car Terminal, PT Indonesia Kendaraan Terminal (PT IKT), Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 8 Agustus 2017. ANTARA FOTO
Perbesar
Seorang pekerja mengecek mobil yang siap diekspor di IPC Car Terminal, PT Indonesia Kendaraan Terminal (PT IKT), Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 8 Agustus 2017. ANTARA FOTO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, menilai industri otomotif sulit mendapat insentif fiskal yang berbasis pada kinerja penjualan domestik atau ekspor. Padahal pelaku industri meminta keringanan pajak dan pungutan lain guna menggenjot penjualan yang tengah lesu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Menurut Faisal, daya saing sektor otomotif dalam menciptakan devisa masih kalah dibanding sektor lain. Sebab, kata dia, jika diukur dengan nilai mata uang, surplus perdagangan sektor otomotif relatif lebih rendah. Bahkan pada periode 2011-2014 neraca perdagangan sektor ini mengalami defisit yang cukup besar. "Jika melihat indikator itu, akan susah meminta insentif pemerintah," kata dia dalam diskusi di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis, 12 April 2018.

Baca: Thailand Unggul Jumlah Ekspor Mobil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), neraca perdagangan kendaraan bermotor pada 2011 mengalami defisit US$ 4,274 miliar. Setahun kemudian, defisit melebar menjadi US$ 4,9 miliar. Pada 2013 dan 2014, defisit bisa ditekan menjadi US$ 3,34 miliar dan US$ 1,03 miliar. Surplus baru terjadi pada 2015-2017, yakni berturut-turut senilai US$ 75 juta, US$ 569 juta, dan US$ 142 juta.

Faisal mengatakan, meski secara kuantitas ekspor kendaraan nasional terus bertumbuh, nilainya masih lebih rendah ketimbang kendaraan impor yang masuk. Penyebabnya, kata dia, masyarakat cenderung mengimpor kendaraan berharga tinggi, berkebalikan dengan nilai kendaraan yang diekspor.

Baca: Ekspor Toyota 2017 Tertinggi Sejak 1987, 2 Mobil Ini Paling Laku

Faisal pun mengimbau agar pelaku industri kendaraan bermotor mencari solusi lain untuk mengerek penjualan ketimbang menanti insentif dari pemerintah. Pelaku industri, kata dia, harus proaktif mencari pasar potensial. "Misalnya pelaku sektor jasa yang semakin tinggi pendapatannya," kata Faisal. Dia juga menyebutkan beberapa daerah potensial untuk pasar kendaraan bermotor, yakni provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi. "Kawasan timur, seperti Bali dan Sulawesi Selatan."

Wakil Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Kiki Verico, mengatakan, saat pasar domestik melemah, pelaku industri harus mengutamakan produk berorientasi ekspor. Namun, dia menambahkan, hal ini tidak mudah lantaran produsen selama ini cenderung membuat model kendaraan yang laku di pasar domestik. "Dalam kondisi ini, pemerintah harus berperan menciptakan lapangan kerja formal, karena pekerja formal adalah pasar paling potensial untuk meningkatkan penjualan kendaraan," ujar dia.

Ketua I Gaikindo, Jongkie Sugiarto, mengatakan hingga saat ini pasar kendaraan di Jawa dan luar Jawa masih bertumbuh positif. Pendorong penjualan, kata dia, adalah pembangunan infra-struktur yang membutuhkan kendaraan niaga. "Setelah sektor ini bergerak, akan memicu penjualan mobil penumpang."

Ihwal insentif, dia menyebutkan Indonesia masih kalah dibanding Thailand. Pada 2006-2017, pemerintah Thailand empat kali memberi insentif fiskal kepada industri otomotif, dari pembebasan bea masuk impor, pengurangan bea masuk komponen sampai 90 persen, kemudahan untuk produksi kendaraan ramah lingkungan 1 dan 2, hingga insentif untuk kepemilikan kendaraan pertama. Adapun Indonesia baru memberi satu kali insentif kepada industri otomotif melalui skema kendaraan murah ramah lingkungan (LCGC) pada 2013.

Fery Firmansyah

Redaktur pelaksana desk ekonomi dan bisnis. Lulus tahun 2002 dari Universitas Padjadjaran Bandung, Jawa Barat, lalu bergabung dengan Tempo pada 2010, kini sedang menempuh studi master bisnis di Universitas Gadjah Mada

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus