Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pengamat: Penyusunan Kabinet Sepatutnya tanpa Kompromi

Pembentukan kabinet yang penuh kompromi politik dianggap menjadi biang buruknya kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo. Peneliti dari Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, mengatakan kinerja kabinet Jokowi mengecewakan lantaran proses pemilihan menteri tidak menerapkan standar integritas yang tinggi.

21 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pembentukan kabinet yang penuh kompromi politik dianggap menjadi biang buruknya kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo.

  • Peneliti Transparency International Indonesia Alvin Nicola mengatakan kinerja kabinet Jokowi mengecewakan lantaran proses pemilihan menteri tidak menerapkan standar integritas yang tinggi.

  • Akibat terlalu banyak kompromi, Jokowi tidak memiliki kontrol memadai terhadap kabinetnya sendiri.

JAKARTA – Pembentukan kabinet yang penuh kompromi politik dianggap menjadi biang buruknya kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo. Peneliti dari Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, mengatakan kinerja kabinet Jokowi mengecewakan lantaran proses pemilihan menteri tidak menerapkan standar integritas yang tinggi. "Cenderung kompromistis terhadap potensi konflik kepentingan," kata Alvin kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia mencontohkan banyak politikus yang diangkat menjadi menteri tidak melepaskan jabatannya sebagai ketua partai politik. Penunjukan menteri, kata Alvin, juga tidak melalui proses seleksi rekam jejak dan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi. "Jadi, keputusan memilih menteri lebih banyak pertimbangan politik dibanding bobot integritas," ucap dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akibat terlalu banyak kompromi, Alvin melanjutkan, Jokowi tidak memiliki kontrol memadai terhadap kabinetnya. Hanya dalam waktu satu tahun sudah ada dua menteri yang tertangkap komisi antirasuah. "Ini kita bicara soal penegakan integritas, berarti Presiden gagal membangun sistem integritas di timnya," katanya.

Menurut Alvin, Presiden Jokowi tidak perlu terlalu berkompromi jika hendak merombak kabinetnya pada waktu mendatang. Integritas dan rekam jejak baik sesuai dengan bidang kompetensinya, kata Alvin, harus menjadi pertimbangan utama. "Manajemen evaluasi di satu tahun ini juga perlu mempertimbangkan hal itu," ujar dia.

Separuh menteri kabinet pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo diisi oleh anggota partai politik. Sebanyak 16 jabatan menteri diisi oleh anggota dari enam partai pengusung Jokowi dalam pemilihan presiden 2019-2024. Belum setahun, dua menteri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerindra tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka adalah Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Kinerja sejumlah menteri lain dari partai politik ataupun nonpartai juga kontroversial. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, dari PDI Perjuangan, misalnya, kerap membuat kebijakan yang justru menyenangkan koruptor. Misalnya, memberikan remisi kepada narapidana korupsi.

Saat pandemi Coronavirus Disease 2019 melanda, kebijakan-kebijakan para menteri Jokowi juga kerap ambigu. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tak jarang membuat pernyataan kontroversial yang memperlihatkan santainya pemerintah menghadapi wabah.

Karena kekacauan kabinet pada periode keduanya, Presiden Joko Widodo berencana melakukan perombakan. Narasumber Tempo mengatakan Presiden tidak hanya akan mengganti menteri yang terkena kasus di KPK, tapi juga merotasi kabinetnya.

Pakar komunikasi Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah, menilai kondisi koalisi pemerintah yang terlalu dominan membuat Jokowi sulit bersikap independen dalam menentukan komposisi kabinet. Dengan demikian, menurut dia, muatan politis akan tetap mendominasi.

Senada dengan Dedi, pakar politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menilai bahwa kabinet Jokowi selama ini merupakan hasil kompromi untuk mendapatkan win-win solution. Menurut dia, kompromi politik menjadi bagian penting untuk menjaga stabilitas dukungan. "Kompromi itu satu keniscayaan, tapi yang penting kabinet harus bisa bekerja dan tidak korupsi. Saatnya duduk bareng dan mengevaluasi apakah portofolio itu bisa bekerja atau tidak," katanya.

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas optimistis Presiden Joko Widodo akan lebih mengedepankan aspek kapabilitas, kemampuan teknis, dan kemampuan memimpin. Selain itu, menurut dia, Jokowi akan mempertimbangkan aspek integritas yang saat ini menjadi sorotan publik.

Menurut Sirojudin, Jokowi saat ini memiliki kebebasan lebih untuk memilih calon-calon menteri pengganti sesuai dengan kriteria. Tak lagi berdasarkan kompromi dengan partai politik. Sebab, ia mengatakan, sejumlah partai yang telah diberi kesempatan, nyatanya tidak menunjukkan kinerja yang baik. “Saya rasa Presiden tidak punya beban. Mengganti Menteri Kelautan misalnya tidak harus dari Gerindra. Menteri Sosial juga masih banyak SDM (sumber daya manusia) di bidang itu yang tidak dibebani politik kepartaian,” ujar dia.

MAYA AYU PUSPITASARI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus