Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Agar Dapur Musikus Terus Mengepul

Pandemi Covid-19 membuat para musikus kehilangan sebagian pemasukannya. Pengaturan soal tata kelola royalti dipercepat demi membantu mereka agar bisa memperoleh hak-haknya.

18 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pandemi ikut mempercepat pengaturan tata kelola royalti musik.

  • Memastikan agar musikus memperoleh hak-haknya.

  • Tarif royalti pemutaran musik di ruang komersial berbeda-beda sesuai dengan besaran usaha.

Selama masa pandemi Covid-19, Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Freddy Harris, sering didatangi dan dihubungi para musikus Tanah Air. Mereka meminta lembaga yang ia pimpin mempercepat pengaturan mengenai pembayaran royalti atas karya musik yang diputar secara komersial. Pasalnya, pendapatan para musikus anjlok karena pandemi. Royalti diharapkan bisa sedikit menolong mereka mengepulkan asap dapur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Celakanya, potensi pendapatan dari royalti itu tidak bisa diperoleh secara maksimal. Ada yang karyanya dimonetisasi pihak lain, tapi musikus tidak mendapatkan haknya dengan baik. “Keluhan terkait pembajakan juga masih banyak,” kata Freddy dalam konferensi pers daring, Jumat pagi, 16 April 2021. Itu sebabnya pemerintah mempercepat pencarian solusi bagi para seniman ini. Padahal, kata Freddy, isu itu tidak termasuk dalam program prioritas direktoratnya pada 2017-2022. “Rencananya baru dilakukan penataan secara total mulai 2022 supaya fokus.”  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejatinya, aturan tentang royalti musik sudah ada sejak 1990-an dan diperkuat lewat Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2012. Nah, Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Maret itu memuat aturan yang lebih spesifik. “Seperti besaran tarif dan mekanisme pemungutan royalti,” ia melanjutkan.

Tapi tidak melulu musikus yang mengeluh. Pengusaha hiburan yang terkena kewajiban membayar royalti pun teriak. Masalahnya, banyaknya Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)—lembaga yang mengelola hak royalti musikus—datang ke mereka. Ini menjadi kebingungan tersendiri karena mereka sudah membayar ke rekening Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) bentukan pemerintah. “Maka memang pemerintah harus hadir untuk mengatur tata kelolanya.”

Ilustrasi album musik. Tempo/Nurdiansah

Bukan hanya aturan, pemerintah pun menyiapkan sistem untuk mempermudah mengatur tata kelola royalti. Misalnya, dengan pembangunan pusat data musik Indonesia tahun ini. Pusat data ini berisi sistem informasi lagu dan musik. Jadi, sebuah karya bisa diketahui jelas siapa pencipta dan pemegang hak ciptanya. “Supaya pendapatan dari royalti bisa disalurkan secara tepat, transparan, dan akuntabel kepada pemegang hak ciptanya.”

Menurut Freddy, banyak musikus dan pemilik hak cipta sebuah karya yang nasibnya mengenaskan padahal karyanya banyak diputar. “Contohnya Benny Pandjaitan dari grup Panbers. Lagu dia mungkin setiap hari diputar di tempat karaoke atau kafe. Tapi, sampai akhir hayatnya, dia tidak mendapatkan haknya secara penuh.” Berdasarkan catatan Freddy, di Indonesia setidaknya ada 16 juta pencipta karya dan musikus yang harus diperhatikan nasibnya.

Freddy tidak menampik ada pula musikus yang merasa tak perlu mengambil hak royaltinya serta membebaskan karyanya diputar dan dimainkan siapa saja dan di mana saja. “Tapi bukan berarti musikus dan pencipta karya lain bisa diperlakukan sama. Karena dalam setiap karya itu menempel hak ekonomi dan hak moralnya.”

Dalam diskusi soal royalti musik di kanal YouTube Sahabat Seni Nusantara  pada Kamis lalu, Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Marulam J. Hutauruk, menjelaskan, dalam membayar royalti, pengusaha akan diberikan semacam logsheet untuk mencatat lagu-lagu yang diputar di tempat mereka. “Nantinya ada korespondensi antara LMKN dan pengusaha tempat hiburan,” kata dia.

Candra Darusman. TEMPO/Nurdiansah

Tarifnya tidak dihitung berdasarkan lagu yang diputar, tapi ditentukan oleh faktor penghitung. Misalnya, hotel berdasarkan jumlah kamar, restoran atau kafe berdasarkan jumlah kursi, dan seterusnya.” Penghitungan itu, ujar Marulam, membuat besaran biaya yang harus dibayar pengusaha akan berbeda.

Tempat usaha yang menggunakan musik sebagai latar, besaran royaltinya akan lebih murah dibanding pengusaha tempat hiburan seperti karaoke atau konser musik yang pemutaran musik menjadi komoditas utama mereka. Marulam juga menekankan bahwa pihak yang harus membayar tarif royalti adalah pengusaha, bukan penyanyi atau musikus yang tampil di tempat hiburan itu.

Musikus senior yang juga penasihat LMKN, Candra Darusman, menjelaskan, tarif royalti yang dibayar pengusaha bentuknya seperti paket lisensi. “Contohnya, pengusaha hotel yang punya kamar 1 sampai 50 unit harus membayar sekitar Rp 2 juta per tahun. Setelah punya lisensi itu, dia bebas memutar lagu apa saja dalam setahun,” tutur Candra.  

Candra juga memastikan ada keringanan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. “Di peraturan pemerintah ada pasal mengenai hal itu.” Jadi, pengusaha kecil tak perlu risau mengenai aturan baru ini. “Banyak pengusaha yang sudah bayar, tapi banyak juga yang belum. Aturan ini bermaksud memperbaiki distribusi royalti dan memelihara transparansi agar royalti dibayarkan kepada pihak yang karyanya dipakai secara komersial.”

PRAGA UTAMA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Praga Utama

Praga Utama

Bergabung dengan Tempo sejak 2011 sebagai periset foto dan beralih menjadi reporter pada 2012. Berpengalaman meliput isu ekonomi, otomotif, dan gaya hidup. Peraih penghargaan penulis terbaik Kementerian Pariwisata 2016 dan pemenang lomba karya tulis disabilitas Lembaga Pers Dr Soetomo 2021. Sejak 2021 menjadi editor rubrik Ekonomi Bisnis Koran Tempo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus