JAKARTA — PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasional (Daop) 1 Jakarta akan melakukan pengawasan secara berkala setelah
penggusuran bedeng di sekitar rel antara Stasiun Angke dan Kampung Bandan yang berjarak 4,1 kilometer, pekan lalu. Pengawasan tersebut dilakukan untuk mencegah munculnya kembali aktivitas masyarakat dan bangunan liar di sekitar lintasan kereta api.
"Pengawasan tetap dilakukan berkala sebagai upaya menjaga area jalur rel yang seharusnya steril untuk keselamatan," kata Kepala Humas PT KAI Daop 1, Eva Chairunisa, ketika dihubungi, kemarin, 14 Februari.
Sebelumnya, pada pekan lalu, 200 personel gabungan dari PT KAI serta unsur kewilayahan Jakarta Utara dan Jakarta Barat menertibkan 137 bangunan liar berupa bedeng atau hunian tak permanen. Pembersihan dilakukan untuk mengoptimalkan perjalanan kereta api yang melintas di daerah tersebut.
Sebelum pembersihan dilakukan, PT KAI Daop 1 telah memberikan sosialisasi kepada masyarakat di sekitar jalur kereta Stasiun Angke-Kampung Bandan. Tujuannya agar masyarakat yang memiliki barang dan bangunan ilegal segera berbenah dan mengosongkan lokasi.
Saat pembersihan dilakukan, PT KAI Daop 1 mengerahkan satu kereta luar biasa dengan rangkaian 20 gerbong datar yang berjalan dari Stasiun Angke-Kampung Bandan. Rangkaian gerbong datar kosong tersebut disediakan untuk mengangkut sampah dan sisa bangunan liar menuju tempat pembuangan.
Eva mengatakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, dalam Pasal 178 terdapat larangan setiap orang membangun gedung, tembok, pagar, tanggul, bangunan lainnya, bahkan menanam jenis pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta api. Sebab, benda-benda tersebut dapat mengganggu pandangan bebas dan membahayakan keselamatan perjalanan kereta api.
Sebelumnya, pada akhir tahun lalu, PT KAI Daop 1
Jakarta telah menertibkan jalur kereta api yang melintas di antara Stasiun Tanah Abang-Duri dan Stasiun Pasar Senen-Gang Sentiong. Selanjutnya, PT KAI Daop 1 masih akan melakukan penertiban serupa di beberapa lokasi lain demi memaksimalkan layanan kereta api. "Rencana selanjutnya (penertiban) di sekitar area Jakarta International Stadium," kata Eva.
Gubuk liar di permukiman kumuh bantaran rel kereta api di Jakarta. Dok Tempo/Aditia Noviansyah
Pengamat tata kota Yayat Supriatna mengatakan penertiban di jalur kereta api seperti di antara Stasiun Angke dan Kampung Bandan penting dilakukan. Sebab, hampir semua perlintasan kereta di Jakarta dekat dengan permukiman padat penduduk. Sempitnya wilayah yang tak sebanding dengan jumlah warga membuat aksi penyerobotan lahan di samping rel kereta kerap terjadi.
Menurut Yayat, penertiban perlu dilakukan untuk mencegah masyarakat masuk ke wilayah yang dekat dengan rel kereta api. Sebab, selain membahayakan masyarakat, layanan kereta api ikut terganggu akibat dampak aktivitas masyarakat di tepi rel.
"Kecepatan kereta jadi terbatas, membuat layanannya kereta tak maksimal. Belum lagi hunian padat itu rawan kebakaran dan tawuran yang bisa mengganggu kereta," kata Yayat ketika dihubungi, kemarin.
Walhasil, Yayat meminta PT KAI Daop 1 melakukan pengawasan ketat di jalur kereta yang sudah ditertibkan. Harapannya, agar masyarakat tak kembali lagi mencaplok lahan yang sejatinya menjadi hak pengelolaan PT KAI.
Jika perlu, PT KAI bisa berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta untuk ikut mensosialisasi larangan bagi masyarakat menggunakan lahan di samping rel kereta api. Jika perlu, Yayat meminta PT KAI Daop 1 memasang pagar dan menutup rapat area di samping lintasan kereta api. "Tak lupa ditulis larangan dan ancaman pidana bagi orang yang nekat menggunakan lahan di samping rel," kata Yayat.
Menurut dia, pemerintah harus tegas dalam mengawasi dan mengelola lahan tidur di Jakarta. Sebab, jika tidak diawasi dan dikelola dengan baik, dikhawatirkan masyarakat bisa memanfaatkan lahan tersebut secara ilegal. Jika sudah ditempati masyarakat, ujung-ujungnya pemerintah sendiri akan kerepotan saat melakukan penertiban. "Jangankan lahan tidur milik pemerintah, lahan hak milik orang saja bisa dipalsukan oleh mafia tanah," kata Yayat.
Sementara itu, pengamat tata kota Nirwono Yoga mengatakan bahwa menjamurnya bangunan ilegal di tanah negara terjadi karena pemerintah pusat dan pemerintah daerah sendiri yang tak menjaga baik aset tanahnya. Walhasil, tanah-tanah milik negara dengan mudah digunakan oleh masyarakat sebagai hunian dan tempat usaha.
Parahnya, pemerintah tak seketika melakukan penertiban ketika mengetahui aset tanah miliknya digunakan secara ilegal oleh masyarakat. Penguasaan lahan ilegal selama bertahun-tahun membuat upaya penertiban semakin sulit. Tak jarang upaya
penggusuran berujung gesekan antara masyarakat dan aparat negara. "Padahal, kalau sejak awal pemerintah tegas, tentu tidak akan terjadi hal seperti itu," kata Nirwono.
INDRA WIJAYA