Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengidentifikasi 161 entitas usaha penyebab pencemaran udara.
Entitas usaha yang terbukti melanggar aturan emisi gas buang mendapat sanksi administratif hingga penutupan.
Pengawasan dan razia emisi gas buang industri harus dijalankan secara konsisten.
SEPEKAN ditutup pemerintah, para pemilik pabrik arang di Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur, sepakat beroperasi lagi mulai hari ini. Sebelumnya, Rabu, 23 Agustus lalu, mereka dilarang beroperasi lantaran dianggap menjadi salah satu penyebab pencemaran udara di Ibu Kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau tutup melulu, bagaimana bisa makan, bayar sewa lahan, dan bertahan hidup?" kata Ajan, seorang pekerja di salah satu pabrik arang, ketika ditemui di tempatnya bekerja, Selasa, 29 Agustus lalu. Ia mengatakan para pelaku usaha arang kesulitan lantaran pada saat yang sama mereka tidak mendapat kompensasi dari pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kawasan Lubang Buaya, setidaknya ada sepuluh pabrik arang rumahan. Mereka memproduksi arang dari batok kelapa dengan cara membakar 5-10 drum berisi bahan baku arang selama sepuluh jam. Pembakaran dilakukan dua kali sehari dengan hasil sekitar 20 kilogram arang dari setiap drum. Dengan demikian, setiap pabrik bisa menghasilkan 100-300 kilogram arang siap jual per hari.
Baca juga: Tebang Pilih Atasi Biang Polusi
Yayat Rukhiyat, warga yang tinggal di sekitar pabrik tersebut, mengatakan usaha pembakaran arang di Lubang Buaya telah berlangsung selama 3-5 tahun. Yayat mengeluhkan keberadaan pabrik-pabrik tersebut. "Bayangkan kalau satu pabrik membakar lima drum, artinya sepuluh pabrik membakar 50 drum selama sepuluh jam. Jangan tanya asapnya kayak gimana," kata dia.
Penutupan pabrik arang tersebut dilakukan pemerintah setelah pengamatan selama sepekan. Pemerintah menilai asap yang dihasilkan pabrik itu sudah tidak wajar. Berdasarkan pemantauan indeks standar pencemaran udara atau ISPU milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kualitas udara di kawasan itu tidak sehat—kategori warna kuning pada aplikasi.
Pabrik Arang di Jalan Anggrek RT 04 RW 02, Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta, 29 Agustus 2023. Tempo/Magang/Ohan
Penutupan pabrik arang di Lubang Buaya hanya satu dari berbagai penindakan pemerintah terhadap entitas usaha yang dianggap mencemari lingkungan. Selain terhadap mereka, pemerintah menjatuhkan sanksi administratif kepada 11 industri yang dianggap menjadi sumber polusi udara. Lini usaha industri yang terkena sanksi antara lain batu bara, peleburan logam, kertas, dan arang.
Tempo pun meninjau beberapa lokasi yang diduga sebagai sumber polusi tersebut, antara lain dua perusahaan yang telah disegel di Marunda, Jakarta Utara. Dua perusahaan tersebut adalah lokasi penampungan batu bara milik PT Wahana Sumber Rezeki dan PT Unitama Makmur Persada yang berlokasi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Jakarta Utara. Pada saat Tempo ke lokasi pada Selasa lalu, sama sekali tidak ada aktivitas di sana.
Warga yang tinggal tidak jauh dari sana, Korni, mengatakan dua perusahaan tersebut beroperasi hanya untuk menimbun batu bara. Menurut dia, tak ada perbaikan kualitas udara ketika perusahaan masih beroperasi ataupun setelah ditutup. "Kami tidak merasakan ada perubahan karena enggak tahu bahwa polusi di sini akibat batu bara atau dari pembakaran kabel di sekitarnya," kata dia.
Di Bogor, sumber polusi udara juga berasal dari beberapa daerah. Berdasarkan pengamatan Tempo di kawasan Kemang, Parung, dan Ciseeng, misalnya, sumber pencemaran tak hanya dari cerobong asap pabrik, tapi juga banyaknya galian dan kendaraan berat pengangkut hasil tambang. Selain itu, di wilayah timur Kabupaten Bogor, Tempo menyaksikan ada beberapa pabrik yang mengeluarkan asap hitam dan pekat dari cerobongnya.
Titik Sumber Pencemaran Udara
Ratusan Industri Pencemar Udara Teridentifikasi
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan tim kementeriannya telah mengecek sekitar 351 entitas usaha, termasuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). Hasilnya, teridentifikasi 161 sumber pencemaran yang kemudian diperiksa di enam stasiun pemantauan kualitas udara.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menemukan beberapa entitas yang emisi gas buangnya konsisten tidak sehat. Mereka, antara lain, tersebar di Bantar Gebang, Kota Bekasi, sebanyak 120 entitas; di Lubang Buaya 10 entitas; di Tangerang 7 entitas; di Tangerang Selatan 15 entitas; dan di Bogor 10 entitas. Setelah penindakan itu, Kementerian masih akan meneruskan langkah pengawasan dan pengenaan sanksi tersebut. "(Dilakukan) kira-kira 4-5 minggu ke depan untuk sebanyak yang tadi saya laporkan," ujar Siti.
Baca juga: Kelimpungan Atasi Polusi Udara Ibu Kota
Pengawasan ini dilakukan Satuan Tugas Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup sejak 21 Agustus lalu. Mereka bertugas mengawasi dan menindak sumber-sumber pencemaran tidak bergerak, seperti PLTU, PLTD, industri, pembakaran sampah terbuka, limbah elektronik, dan sebagainya, khususnya di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek).
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup, Rasio Ridho Sani, mengatakan, apabila menemukan pelanggaran serius, tim tersebut akan menghentikan kegiatan dan memberikan sanksi administrasi kepada perusahaan. Langkah lain yang bisa ditempuh adalah gugatan perdata ganti rugi lingkungan, penegakan hukum pidana, termasuk penerapan sanksi korporasi dan pidana tambahan.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Muara Karang, Jakarta. TEMPO/Subekti
Akibat Lemahnya Pengawasan Pemerintah
Menurut Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin, banyaknya entitas usaha yang menjadi sumber polusi udara Jakarta dan di sekitarnya disebabkan oleh sikap pemerintah yang tak ketat mengawasi dan tidak tegas merazia emisi. Lemahnya pengawasan itu terjadi terhadap sumber emisi kendaraan ataupun pabrik-pabrik.
Safrudin meminta pemerintah terus melanjutkan pengawasan dan razia emisi gas buang meski kualitas udara nantinya membaik. Pemerintah pun harus memastikan self monitoring emisi yang dilakukan pengelola pabrik berjalan optimal. Para pelaku usaha, baik berskala sedang maupun besar, harus dipastikan mengikuti mekanisme pelaporan dan penindakannya tak tebang pilih.
"Pembakaran sampah dan peleburan logam berskala rumah tangga juga harus dihentikan. Tidak kalah pentingnya pengendalian emisi kendaraan dengan razia emisi dan penghapusan bahan bakar kotor," kata Safrudin.
Baca juga: Ibu Kota Butuh Solusi untuk Polusi Udara
Pemerhati kebijakan publik, Agus Pambagio, menyebut pemberian sanksi administratif kepada perusahaan yang melanggar sebagai langkah tepat. Musababnya, ia mengatakan, akan sia-sia jika pemerintah memiliki aturan tapi tidak dijalankan dengan baik.
"Disiplin itu hanya bisa dibereskan dengan denda dan jangan tanggung-tanggung. Mahal sekalian biar orang kapok," kata dia. "Kalau ada aturannya begitu, ya, laksanakan. Tapi kalau enggak ada sanksinya, untuk apa dibuat."
CAESAR AKBAR | RIRI RAHAYU | OHAN (MAGANG) | NINDA DWI RAMADHANI (MAGANG) | MURTADHO (BOGOR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo