Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah dan parlemen memasukkan klausul masa penuntutan yang dapat kedaluwarsa dalam RKUHP.
RKUHP tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
RKUHP disebut justru dibuat untuk melindungi kekuasaan.
JAKARTA — Lima belas tahun perjuangan Maria Catarina Sumarsih seakan-akan berakhir sia-sia. Harapan untuk mendapatkan keadilan atas penanganan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu pupus sudah. Semuanya seolah-olah berakhir ketika pemerintah dan parlemen memasukkan klausul masa penuntutan yang dapat kedaluwarsa dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). “Ini menunjukkan pemerintahan sudah kembali pada masa Orde Baru,” kata Sumarsih, kemarin.
Sumarsih adalah ibu Benardinus Realino Norma Irawan, mahasiswa Universitas Atmajaya yang gugur saat Tragedi Semanggi pada 1998. Sumiarsih berupaya menuntut keadilan atas kematian putranya itu. Sejak 2007, ia berdiri di depan Istana Negara saban Kamis di akhir bulan. Kemarin, perempuan tua itu juga ikut berdiri di depan gedung parlemen bersama para aktivis HAM dan mahasiswa untuk menolak rencana pengesahan RKUHP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Pasal 136 RKUHP ditentukan batas waktu penuntutan suatu kasus pidana. Pembatasan itu didasari ancaman hukuman. Untuk pelanggaran HAM berat, dengan ancaman hukuman di atas 20 tahun penjara, akan dinyatakan kedaluwarsa atau gugur setelah melewati masa 20 tahun. Sumarsih khawatir, pasal ini dapat menjadi legitimasi impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu sehingga pembunuh anaknya tak akan pernah terungkap di pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumarsih menilai RKUHP tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Jika RKUHP disahkan, harapan untuk mengungkap pelanggaran HAM berat di masa lalu benar-benar padam. Pembunuh putranya tidak akan pernah mendapat hukuman.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Fatia Maulidiyanti, mengatakan RKUHP juga mereduksi konsep pelanggaran HAM berat yang semula tindak pidana khusus menjadi tindak pidana umum. “Maaf Bu Sumarsih, maaf para korban 1965, maaf para korban pelanggaran HAM berat, harapan kami yang sudah sangat tipis ini akan hilang jika RKUHP bermasalah itu disahkan,” ucap Fatia kepada Sumarsih.
Menurut Fatia, hilangnya sifat khusus pada kasus pelanggaran HAM berat berimplikasi besar, terutama dalam tahap pengusutan dan proses di pengadilan. Ini merupakan pertanda pupus harapan korban dan keluarga korban untuk mendapat keadilan dari negara. Persoalan ini juga dinilai mengancam demokrasi, terutama karena pasal-pasal dalam RKUHP justru lebih banyak mengakomodasi ancaman terhadap kebebasan hak-hak publik.
Jurnalis menempelkan poster protes menolak RKUHP di gerbang DPRD Jawa Barat di Bandung, 5 Desember 2022. TEMPO/Prima Mulia
Koordinator Presidium Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herdiansyah Hamzah, menyatakan organisasi yang menaungi akademikus itu sepakat menolak rencana pengesahan RKUHP. Mereka mendesak pemerintah dan parlemen membatalkan pengesahan rancangan undang-undang itu. “Sebab, pasal-pasal bermasalah dan mengancam kebebasan berpendapat warga masih dipertahankan,” kata dia.
Menurut Herdiansyah, selama ini pemerintah dan parlemen benar-benar tuli dan bungkam terhadap kritik publik. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya pasal-pasal yang dinilai dapat memberangus kebebasan sipil. Herdiansyah merujuk pada Pasal 218 hingga 220 RKUHP yang menyangkut ancaman pidana penghinaan terhadap harkat dan martabat presiden. Juga Pasal 210 dan 241 RKUHP tentang ancaman penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.
Herdiansyah menyebutkan pasal-pasal itu merupakan pasal karet. Klausul tersebut rentan disalahgunakan oleh penguasa untuk menjerat orang-orang yang kritis. Bagi dia, ini merupakan potret lahirnya rezim otoriter selepas 22 tahun melewati masa reformasi. “Rezim yang akan mengontrol total kebebasan warganya,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman tersebut. “Parahnya, praktik pembatasan ini akan dilegalkan melalui RKUHP.”
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, juga mengkritik rencana pengesahan RKUHP yang dia nilai melanggar konstitusi. Kata dia, RKUHP justru dibuat untuk melindungi kekuasaan. “Padahal undang-undang seharusnya melindungi publik dari penyimpangan kekuasaan,” ujar dia.
Feri menemukan undang-undang ini disusun dan dibahas tanpa melibatkan partisipasi publik. Padahal pemerintah bertanggung jawab menjamin hak publik, di antaranya hak untuk didengarkan, hak untuk diterima pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan jawaban jika usulan ditolak. Karena itu, Feri menyebutkan RKUHP ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Persoalan lain, RKUHP juga dinilai menjauhi semangat reformasi yang demokratis dan meninggalkan warisan pemerintahan kolonial Belanda. Justru draf RKUHP berisi ketentuan yang bersifat kolonialisme. Apalagi masuknya pasal-pasal ihwal pembungkaman terhadap kebebasan sipil untuk berekspresi dan berpendapat.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menyatakan perlu ada antisipasi setelah muncul banyak protes terhadap rencana pengesahan RKUHP. "Kita lihat saja, antisipasi. Masak begitu terus? Ya, disahkan sudah ada prosedurnya. Bagi yang tidak setuju, ada mekanismenya. Silakan saja," kata dia.
Mahfud menegaskan, pengesahan undang-undang sepenuhnya merupakan ranah parlemen. Namun dia tidak menjelaskan alasan pemerintah tetap memasukkan pasal-pasal bermasalah, terutama munculnya pasal yang dapat membelenggu kebebasan sipil.
Juru bicara tim sosialisasi RKUHP, Albert Aries, mengatakan pemerintah berharap draf rancangan undang-undang ini dapat segera disahkan meski muncul kritik dari publik. Menurut dia, perjalanan perumusan RKUHP sudah dimulai sejak 1963. Rencana pengesahan pada 2019 juga tertunda karena adanya penolakan. “Bukan sekadar menggantikan produk hukum pidana peninggalan Belanda, melainkan karena ada kebutuhan pembaruan hukum pidana dan sistem pemidanaan modern.”
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan pemerintah selalu menyarankan agar masyarakat sipil yang tidak puas terhadap RKUHP bisa menggugat ke MK. Padahal MK saat ini ditengarai memiliki konflik kepentingan dan terafiliasi dengan kepentingan politik. “Terakhir, misalnya, kasus hakim konstitusi Aswanto yang diganti oleh DPR karena putusannya. DPR jelas mengobok-obok MK.” Isnur juga melihat upaya perlawanan masyarakat sipil di gelanggang parlemen dan demonstrasi di jalanan melemah. Dia menduga hal ini terjadi karena pemerintah kian otoriter dengan membatasi kebebasan mahasiswa menggelar demonstrasi. Kepolisian juga kerap membubarkan secara paksa setiap aksi yang mengkritik pemerintah.
AVIT HIDAYAT | IMA DINI SHAFIRA | TIMOTHY NATHANIEL (MAGANG) | FENTI GUSTINA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo