Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Selama PPKM, penambahan kasus harian Covid-19 di Ibu Kota mencapai 43.693 orang.
Dalam dua pekan terakhir, jumlah pasien Covid-19 yang meninggal mencapai 507 orang.
DKI mencatat 442 kluster keluarga baru dengan korban 1.241 orang sejak awal Januari 2021.
JAKARTA - Keputusan Pemerintah DKI Jakarta untuk memperpanjang masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mendapat kritik dari epidemiolog dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. Alasannya, pengetatan pembatasan yang diterapkan dalam dua pekan terakhir dinilai tidak efektif menekan laju penyebaran wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Ibu Kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mengatakan pemerintah DKI seharusnya menerapkan pembatasan seperti yang pernah dilakukan pada awal masa pandemi. “Fasilitas kesehatan (yang disediakan) tak akan sanggup menahan lonjakan jumlah pasien,” katanya, kemarin. “Apalagi penularan juga masih tinggi.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Jakarta memang memilih mengikuti kebijakan pemerintah pusat untuk menerapkan PPKM sejak 11 Januari lalu. Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 3 Tahun 2021 yang isinya merevisi sejumlah sanksi “berat” bagi pelanggar protokol kesehatan. Padahal sejumlah parameter penanganan pandemi menunjukkan angka yang lebih parah dibanding saat DKI menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid II pada September 2020.
Tri menilai aturan pembatasan dalam kebijakan PPKM tak sanggup menahan laju penularan wabah. Hal itu terbukti dengan data Dinas Kesehatan yang menunjukkan penambahan 43.693 kasus baru selama masa PPKM fase pertama. Angka ini naik 150 persen dari jumlah kasus baru dalam dua pekan sebelum PPKM, yaitu 30.196 kasus positif.
Indikator serupa terjadi pada jumlah keterisian ruang perawatan, khususnya kamar unit perawatan intensif (ICU) yang naik dari 79 menjadi 82 persen. Pemerintah memang berupaya mengantisipasi lonjakan jumlah pasien dengan menambah ruang perawatan. Namun lonjakan angka kasus justru lebih besar dari ruang perawatan yang disediakan. Krisis fasilitas kesehatan ini diduga turut mempengaruhi angka kematian pasien corona yang mencapai 507 orang dalam dua pekan terakhir.
Ketua Komisi Pemerintahan DPRD DKI Jakarta Mujiyono mempersoalkan kebijakan PPKM yang justru menghilangkan sejumlah pasal dan ketentuan sanksi kepada para pelanggar protokol kesehatan. Padahal DKI seharusnya lebih keras lagi menerapkan pembatasan saat seluruh grafik penanganan pandemi terus menanjak. “Apanya diperketat kalau mobilitas tak dibatasi,” ujar dia.
Mobil ambulans melintas pada Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Kawasan Kelapa Gading, Jakarta, 23 Januari 2021. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dwi Oktavia, mengatakan parameter pandemi dalam dua pekan terakhir masih dalam rangkaian dampak pelaksanaan libur panjang Natal dan tahun baru. Dia memperkirakan lonjakan jumlah kasus harian dan pasien aktif akan terus bertambah hingga akhir Januari ini.
Perkiraan itu merujuk pada data identifikasi kasus positif baru dalam satu pekan pertama pelaksanaan PPKM, 11-17 Januari 2021. Selama periode tersebut, angka penularan di lingkungan rumah tangga atau kluster keluarga meningkat dari 40 menjadi 44 persen dari total kasus positif di Ibu Kota.
Sejak awal 2021, Dinas Kesehatan mencatat ada 442 kluster keluarga yang menjadi pusat penularan virus corona dengan jumlah 1.241 kasus. “Mereka melakukan perjalanan (liburan) dengan kendaraan pribadi ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Banten,” ujar Dwi.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta, Arifin, mengatakan tengah mengkaji ulang penerapan sanksi progresif bagi pelanggar protokol kesehatan. Peraturan Gubernur Nomor 3 Tahun 2021 memang hanya menerapkan sanksi denda Rp 250 ribu dan kerja sosial kepada masyarakat yang tak mengenakan masker. Aturan ini menghilangkan ketentuan sanksi progresif Rp 500 ribu seperti pada Pergub 79 Tahun 2020.
Demikian pula dengan sanksi progresif kepada pelaku usaha yang hilang dalam aturan baru tersebut. Pelaku usaha yang melanggar protokol kesehatan hanya diancam denda Rp 50 juta dan sanksi administrasi penutupan. Padahal, sebelumnya pelaku usaha bisa terkena sanksi Rp 100 juta dan pencabutan izin usaha jika mengulangi pelanggaran protokol kesehatan. "Sedang dievaluasi rencana itu," kata Arifin.
Berdasarkan data Satpol PP, selama pemberlakuan PPKM ditemukan 21.615 orang melanggar kewajiban menggunakan masker di area publik. Dari jumlah tersebut, sesuai dengan aturan baru, sebanyak 528 pelanggar dikenai sanksi denda Rp 250 ribu dan sisanya menjalani kerja sosial selama 60 menit.
FRANSISCO ROSARIANS l IMAM HAMDI | ADAM PRIREZA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo