Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengiriman buku gratis dihentikan, pegiat literasi dan taman bacaan kebingungan.
Kiriman buku bacaan turun drastis.
Mereka sedikit terbantu oleh perusahaan angkutan yang menggratiskan pengiriman buku.
Sepanjang 2017 hingga akhir 2018, Robianto, pemilik pedati pustaka asal Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, punya “ritual” bulanan bersama anak-anak di sekitar rumahnya. Mereka membongkar paket-paket yang berisi buku kiriman para donatur dari berbagai daerah. “Kalau dihitung, mungkin ada 400 kilogram buku yang sudah saya terima waktu itu,” kata Robi—panggilan akrab robianto—kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Robi tak hanya “menikmati” sendiri ratusan buku yang ia terimanya. Karena koleksi buku di perpustakaan di rumahnya maupun yang dijajakan di pedati pustaka sudah mencapai ribuan, Robi kerap mengirim ulang buku-buku sumbangan itu ke rekan-rekannya. “Saya kasih ke teman-teman yang punya taman bacaan di sekitar Cirebon, Banten, sampai Kalimantan.” Bahkan, kalau kiriman buku sedang sepi, Robi sengaja menyisihkan penghasilan dari pekerjaannya sebagai buruh bangunan untuk berbelanja buku di pasar loak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walau penghasilannya pas-pasan dan hanya cukup untuk dibelikan buku, Robi terbantu berkat adanya program pengiriman buku gratis (free cargo literacy) yang waktu itu disediakan oleh PT Pos Indonesia. Ongkos mengirim buku bagi pegiat literasi seperti Robi memang memberatkan. Sebab, jumlah buku yang ia kirim bukan hanya satu atau dua eksemplar, melainkan bisa mencapai ratusan eksemplar dengan bobot sepuluh kilogram. “Mungkin kalau ditotal, saya sudah kirim 300 kilogram buku.”
Robianto (kanan) mendampingi seorang anak membaca buku di taman bacaan keliling Pedati Pustaka di Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. (Dok. Pribadi)
Tapi pada awal 2019, fasilitas itu terhenti. Program free cargo literacy diambil alih Badan Bahasa Kementerian Pendidikan. Sebetulnya, walau beralih ke Kementerian, program ini sempat berjalan dan tetap gratis. Tapi hal ini menyulitkan para pegiat di daerah. Pasalnya, untuk mengirimkan buku, mereka harus mendatangi kantor dinas pendidikan yang letaknya jauh dari lokasi mereka. Berbeda dengan Kantor Pos yang biasanya ada hingga di tingkat kecamatan.
Secara terpisah, pada awal Maret lalu Kepala Badan Bahasa Kementerian Pendidikan, Dadang Sunendar bahkan menyatakan bahwa program pengiriman buku gratis yang dikelola lembaganya dihentikan pada tahun ini. "Tahun ini belum ada kelanjutan program tersebut. Kami masih menunggu arahan Menteri Nadiem Makarim," kata Dadang seperti dikutip dari Tempo.co.
Gara-gara program free cargo literacy tak sepraktis dulu, kiriman buku kepada Robi maupun rutinitas mengirim buku oleh Robi ke rekan-rekannya menjadi berkurang drastis. “Sekarang sepi banget. Saya kasihan dengan teman-teman yang baru membuka taman bacaan. Semangat mereka tinggi, tapi terbentur masalah biaya dan pasokan buku,” ujarnya.
Walau begitu, Robi tetap membantu teman-temannya di sekitar Cirebon dan Indramayu yang menginginkan membuka taman bacaan. Maret lalu, misalnya, ia membantu salah satu kawannya yang membuka taman bacaan gratis di salah satu musala di Indramayu. “Saya bantu belikan rak-rak bukunya. Beberapa bukunya juga dari saya.” Jika dihitung, mungkin ada 40 taman bacaan di sekitar Cirebon yang pendiriannya dibantu Robi. “Tapi banyak yang vakum karena pengelolanya mahasiswa atau karyawan. Yang masih aktif sekarang ada 15 lokasi.”
Aktivitas taman bacaan keliling Pedati Pustaka di Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. (Dok. Pribadi)
Robi sendiri di sela-sela pekerjaannya masih meluangkan waktu untuk nangkring di Alun-alun Kecamatan Gegesik dekat rumahnya untuk membuka lapak buku gratis. Lapak itu ia hadirkan dalam bentuk pedati yang ditarik sepeda motor. “Setiap akhir pekan, saya pasti di sana. Anak-anak sudah menunggu.” Pada hari biasa, rumahnya juga terbuka bagi anak-anak sekitar yang ingin membaca. “Istri membuka kelas pelajaran tambahan cuma-cuma, mengajari anak-anak belajar membaca, berhitung, atau mewarnai.”
Pada awal masa pandemi, Robi sempat vakum selama tiga bulan karena melihat kondisi tak memungkinkan untuk ia membuka taman bacaannya. “Tapi warga di sekitar dan desa tetangga telepon saya, minta pedati pustaka dibuka lagi. Mereka sangat haus bacaan,” tuturnya. Jadilah, meski dengan pembatasan jarak sosial dan protokol kesehatan, Robi masih rutin berkeliling dengan pedati pustakanya.
Inisiator Pustaka Bergerak—komunitas yang mengkoordinasi ribuan pegiat literasi di seluruh Indonesia—Nirwan Arsuka mengatakan keluhan yang dialami Robi itu juga dirasakan semua pegiat literasi. “Ritual pesta buku bulanan yang dilakukan para pegiat literasi setiap kali menerima paket donasi buku jadi hilang,” ujar Nirwan. Padahal hal ini yang membuat jaringan pegiat literasi di Tanah Air terus berkembang dan terjalin erat.
“Persoalan utama penghentian program ini adalah biayanya memang tinggi. Sedangkan PT Pos menggunakan dana corporate social responsibility mereka yang terbatas. Tapi sekarang oleh Kementerian, birokrasinya malah rumit,” Nirwan menjelaskan.
Alasan lain program free cargo literacy dikelola Kementerian adalah untuk menyeleksi buku-buku yang dikirim ke daerah. Memang ada beberapa cerita pegiat literasi dari komunitas agama tertentu menerima buku atau bacaan agama lain. “Tapi hal ini selesai di tingkat bawah. Mereka dengan sukarela dan senang hati menyalurkan kembali ke komunitas yang tepat, kok,” kata Nirwan.
Inisiator Pustaka Bergerak, Nirwan Ahmad Arsuka. Dokumetasi Pribadi
Sepanjang 20 bulan program itu berjalan dan dikelola PT Pos Indonesia, Pustaka Bergerak mencatat setidaknya ada 313 ton buku yang sudah terkirim secara gratis ke seluruh penjuru Nusantara. “Ini bukan jumlah main-main, mengingat indeks literasi negara kita masih rendah.” Saat ini, para donatur dan pegiat literasi harus berpikir panjang sebelum mengirim paket buku. “Di dalam Jawa mungkin biayanya masih cukup murah. Tapi kalau sudah ke pulau lain, ongkosnya bisa lebih mahal daripada harga buku,” tuturnya.
Kini Pustaka Bergerak berinisiatif mengkoordinasi pengiriman buku-buku dari donatur kepada komunitas dan pegiat literasi di Pulau Jawa. “Untungnya masih ada perusahaan otobus, travel, atau truk yang mau menampung paket-paket kami. Sering para sopir menggratiskan ongkos setelah tahu bahwa isi paketnya buku.” Namun tetap saja, jangkauan mereka terbatas karena tak sampai ke pelosok. “Pegiat harus mengambil di pool bus atau agen travel, dan itu mengeluarkan ongkos lagi.”
Bulan lalu, kendala itu dirasakan Robianto. “Saya dikasih kabar ada donatur mau kasih 300 eksemplar buku baru untuk teman-teman di Cirebon.” Tapi karena tak punya ongkos untuk menjemput paket itu ke Jakarta, Robi pun membayar travel untuk pengiriman paketnya. “Keluar ongkos Rp 350 ribu, hasil patungan teman-teman di sini. Soalnya saya juga pekerjaan sedang tak tentu, jadi berat kalau harus bayar ongkos kirim sendiri.”
PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo