Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penolong dari Bumi Rencong

DUNIA selam dikenalnya secara tak sengaja. Pertemuan dengan dunia bawah laut itu terjadi ketika Yusniar Amara sedang menggandrungi olahraga mendaki gunung. Dua kegiatan ekstrem itu mengantar perempuan 36 tahun dari Aceh ini bergabung dengan Badan SAR Nasional pada 2006. Setelah itu, ia rutin membantu operasi penyelamatan, di laut, sungai, dan pegunungan. Berbagai misi penyelamatan telah ia lakoni. Operasi pencarian kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 di Selat Karimata pada 2015 adalah misi internasional pertamanya.

18 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YUSNIAR Amara pernah bersumpah tidak akan pernah menyelam lagi. Penyebabnya, ia hampir mati terseret ombak Pantai Lampuuk, Aceh Besar. Kejadian 14 tahun lalu itu sangat membekas di ingatannya. "Kaki saaya tiba-tiba kram sehingga harus diseret seorang kawan ke pinggir pantai," ucap Yus-sapaan akrab Yusniar-di kantor Pos Siaga SAR Sabang, Aceh, dua pekan lalu.

Kala itu Yusniar, kini 36 tahun, sedang mengikuti pemusatan latihan tim selam Aceh Besar untuk menghadapi Pekan Olahraga Daerah (Porda) Aceh 2002. Ketika dia kram, rekannya lupa memberi tahu bahwa mereka sudah tiba di tepi. Yusniar lantas dilepas begitu saja. Bersamaan dengan itu, ombak datang dan menggulung dia kembali ke tengah laut. "Untung saya menahan napas agar tidak menelan air," katanya.

Yus selamat setelah membiarkan tubuhnya dimuntahkan ombak kembali ke pantai. Teman-temannya sempat berpikir Yus tewas. Sebab, tak banyak orang yang mampu selamat dari gulungan ombak seperti itu. Akibat kejadian itulah Yus mengeluarkan sumpah tersebut. Bukan apa-apa, ia jengkel atas kelalaian temannya yang menyeret ke pantai dan melepaskannya. Tapi, keesokannya, Yus sudah menyelam lagi.

Laut dan Yus kini seolah-olah tak bisa dipisahkan. Ia pun dikenal sebagai jagoan selam perempuan di antara anggota penyelamat Badan SAR Nasional (Basarnas). "Setahu saya, tidak ada perempuan di Basarnas yang punya kualifikasi seperti dia," kata Kepala Balai Pendidikan dan Pelatihan Badan SAR Nasional Noer Isrodin Muchlisin. "Dia punya kemampuan spesial dalam menyelam."

Kebolehan Yus terlihat dari sertifikat yang dimiliki. Ia mengantongi sertifikat selam B1 dari Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia. Sertifikat itu untuk instruktur. Untuk mendapatkan sertifikat B1, Yus harus melalui beberapa tahap, dari mengambil sertifikat A1 (penyelam pemula), A2 (penyelam tingkat lanjut), dan A3 (penyelam yang sudah bisa melakukan aksi penyelamatan).

Berbekal kemampuan menyelam, Yus dilibatkan dalam berbagai operasi penyelamatan besar, seperti pencarian pesawat dan awak pesawat Nomad P-833 milik TNI Angkatan Laut yang jatuh di perairan Ujung Karang, Sabang, Desember 2007; penyelamatan korban gempa dan tsunami Mentawai 2010; dan pencarian korban kapal pariwisata yang tenggelam di Danau Takengon, Aceh, pada 2012.

Terakhir, Yus menjadi satu-satunya penyelam perempuan Indonesia yang dilibatkan dalam operasi SAR internasional pesawat AirAsia QZ8501, yang jatuh di Selat Karimata, awal tahun lalu. Sayangnya, operasi tersebut tidak berjalan mulus.

Kegagalan itu bukan yang pertama dialami Yus. Perempuan yang besar di Indrapuri, Aceh Besar, ini pernah mengalami kegagalan yang lebih pahit, yakni gagal menemukan pacarnya yang hilang saat tsunami melanda Banda Aceh pada Desember 2004. Tiga bulan operasi pencarian dilakukan, kekasihnya itu tak kunjung ditemukan.

Kejadian tersebut membuat Yus terpukul. "Saat melakukan operasi pencarian itu, yang saya cari adalah jam tangan G-Shock yang saya yakini menempel di tangan kanannya. Itu hadiah dari saya setelah meraih medali perunggu selam di Pra-Pekan Olahraga Nasional 2004," ujarnya.

Saking terpukulnya, Yus menolak ajakan menikah dari beberapa orang yang mencoba mendekati setelah kekasihnya dinyatakan hilang. "Tak semudah itu melupakannya. Saat masih menjadi relawan, kami selalu bersama-sama ketika ada operasi dan latihan SAR atau menjaga pantai," tutur Yus. Hingga kini ia belum menikah.

Pengalaman pahit itu tak lantas membuat Yus menjauhi kegiatan SAR. Pada 2006, setahun setelah diwisuda dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, dia mengikuti tes untuk menjadi pegawai negeri sipil Basarnas. Pada saat yang sama, Yus juga mendaftar sebagai pegawai negeri sipil dinas pendidikan untuk menjadi guru. Yus lolos dari kedua tes tersebut, tapi lebih memilih masuk Basarnas. "Saya lebih merasa nyaman di Basarnas. Saya sudah akrab dengan dunia itu," ucapnya.

Sejak kuliah, Yus memang aktif di organisasi mahasiswa pencinta alam dan menjadi ketua perkumpulan itu. Kegiatan ini pula yang membuat ia akrab dengan Sabang, kota di Pulau Weh, yang berjarak 45 menit penyeberangan laut dari Pelabuhan Ulele, Banda Aceh. "Semua gunung di Sabang sudah habis saya jelajahi," kata Yus, yang juga mantan atlet karate.

Setelah menjelajahi gunung-gunung itu, Yus mulai menyelami dunia bawah air pada 2002. Ini bermula ketika dia diminta menggantikan seorang atlet selam yang patah kaki untuk mengikuti Pekan Olahraga Daerah Aceh 2002. Sejak itulah ia jatuh cinta pada dunia bawah air. "Rasanya seperti pulang kampung," ujar Yus ketika ditanya apa yang ada di kepalanya setiap kali menyelam.

Kecintaan pada dunia selam ini jugalah yang mendorongnya bergerilya membentuk ulang kepengurusan Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia Aceh, yang porak-poranda akibat tsunami 2004. Dia juga memimpin teman-temannya kembali berlatih di pantai untuk menghadapi Kejuaraan Nasional Selam 2005. "Padahal saat itu orang-orang masih trauma ke pantai, kami malah mendatangi pantai."

Kepala Kantor SAR Banda Aceh Suyatno melihat potensi kepemimpinan dalam diri Yus. Ia pun tak segan-segan mempercayakan tugas merintis pos SAR di Sabang kepadanya. Sejak Senin pekan lalu, Yus, yang kini berstatus sebagai rescuer berpangkat pengatur, mulai bertugas sebagai koordinator Pos Siaga SAR Sabang. "Dia punya banyak kenalan di sana dan bisa membuat anggotanya nyaman bekerja," kata Suyatno.

Juli Hermanto, anak buah Yus, mengatakan bosnya itu jago dalam berkoordinasi dan memiliki relasi yang luas. Masyarakat Sabang, menurut dia, banyak mengenal Yus karena ketangguhannya sebagai wanita langka di Aceh. "Ini membuat urusan mempersiapkan pos menjadi lebih mudah," ujarnya.

Soal ini, Yus mengatakan kemudahannya dalam mendapatkan bantuan adalah berkat relasi akrabnya dengan anggota instansi penting di Sabang, seperti TNI dan kepolisian. "Apalagi ini urusan kemanusiaan, mereka pasti bersedia membantu," ujarnya. Kini Yus sudah punya "keluarga kecil" di Sabang: satu kantor dan tiga bawahan-Juli, Hasyimi, dan Musallim. Mereka berempat sangat akrab sejak bertugas di Banda Aceh.

Selama tiga hari Tempo bersama mereka di Sabang, terlihat bahwa ketiga lelaki itu menaruh respek terhadap Yus. Sedangkan Yus memperlakukan mereka seperti adik sendiri. Tak jarang masalah pribadi mereka ungkapkan dan meminta nasihat dari sang kakak.

Agar hubungan mereka lebih akrab, tak jarang Yus mengundang ketiga anak buahnya itu ke tempat tinggalnya untuk menikmati masakannya. "Kak Yus memang pandai menempatkan diri," kata Juli. "Dia tahu kapan memunculkan sisi femininnya dan kapan harus bersikap seperti lelaki. Dia sama sekali tidak kaku."

Begitulah Yus. Terkadang bisa tegas, tapi suaranya juga bisa lembut ketika sedang bersenandung di mobil, seperti saat kami menyusuri jalanan Sabang yang naik-turun dan berkelok-kelok mengitari perbukitan. Saat menemukan pemandangan bagus, dia pun minta berhenti untuk berfoto.


YUSNIAR AMARA

Tempat dan tanggal lahir: Aceh Besar, 5 Mei 1980

Pendidikan: S-1 Pendidikan Fisika IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 1997

Profesi: Penyelamat Badan SAR Nasional, instruktur selam

Jabatan: Koordinator Pos Siaga SAR Sabang

Pengalaman operasi penyelamatan besar:
1.Pencarian pesawat dan awak pesawat Nomad P-833 milik TNI Angkatan Laut di perairan Ujung Karang, Sabang, 2007.
2. Penyelamatan korban gempa dan tsunami Mentawai 2010.
3. Pencarian korban kapal pariwisata yang tenggelam di Danau Takengon, Aceh, 2012.
4. Satu-satunya penyelam perempuan Indonesia dalam operasi SAR internasional pesawat AirAsia QZ8501 di Selat Karimata, 2015.


Putri Anindya
Selebgram Penangguk Iklan

PUTRI Anindya telah melancong gratis ke Turki, Spanyol, Australia, Selandia Baru, dan sejumlah negara lain. Mahasiswi Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, ini diundang pemerintah negara-negara itu sengaja untuk jalan-jalan. Putri diminta memberikan imbalan sederhana kepada pengundang: memotret pemandangan di negeri itu, lalu mengunggah ke akun Instagram @puanindya miliknya.

Di dunia Instagram, Putri disebut Selebgram. Pengikutnya setengah juta orang. Dia adalah satu dari sedikit orang Indonesia mula-mula yang akunnya masuk Suggested User Instagram. Semula Putri sekadar iseng mengunggah foto di Instagram. Kini foto unggahannya jadi lapak iklan. "Lumayan, bisa buat hidup dan bayar cicilan mobil," katanya Senin pekan lalu.

Putri lahir di Bekasi, 13 Juli 1991. Kesukaannya pada fotografi tumbuh sejak kecil yang senang melihat gambar pemandangan. Beranjak dewasa, ia suka membolak-balik halaman majalah National Geographic yang banyak memuat foto lanskap. Setelah diterima di Unpad pada 2009, Putri belajar fotografi dengan banyak memotret pemandangan Bandung.

Mahalnya kamera profesional tak menumpas kesungguhan Putri. Pada 2011, dia membeli iPhone 4 bekas dan berkenalan dengan Instagram. Wibisono Notodirdjo, teman kuliah, menyebutkan Putri pantang malu dengan perkakas sederhana itu. "Saya ingat lensa iPhone itu retak tipis," ujar Wibisono. Sejak itu, Putri tak berhenti menjelajahi tempat baru sambil belajar memotret. "Bagi saya, memotret itu butuh hati dan konsistensi." l


Lindswell Kwok
Mentereng di Belantika Wushu

DI jagat wushu dunia, nama Lindswell Kwok kini cukup mentereng. Perempuan 24 tahun ini langganan menyabet medali emas nomor taichi di pelbagai kejuaraan dunia.

Taichi, atau yang sering dieja taiji, merupakan seni perang Cina yang gerakannya tampak lembut tapi bertenaga. Di dalamnya ada filosofi Cina yang tersohor: yin dan yang. Atlet yang berlomba di nomor taichi tak bertarung melawan atlet lain, tapi menampilkan jurus-jurus yang mereka kuasai.

Dengan keindahan jurus taiji, Lindswell merebut satu medali emas taijiquan (tangan kosong) pada Kejuaraan Dunia Wushu 2009 di Toronto, Kanada. Ia kemudian menyabet satu medali emas taijijian (jurus pedang) di Kejuaraan Dunia Wushu Kuala Lumpur 2010. Terakhir, Lindswell meraih dua medali emas taijiquan dan taijijian di Kejuaraan Dunia Wushu Jakarta 2015.

Lindswell meraih semua prestasi itu berkat dedikasinya pada wushu sejak kecil. Gadis asal Medan ini menekuni wushu sejak sembilan tahun lalu. Ia rela menghabiskan masa mudanya demi menyiapkan diri menjadi atlet kelas dunia. Dan Lindswell tak pernah menyesali pilihannya.

Dalam wawancara dengan Tempo di Incheon, Korea Selatan, beberapa waktu lalu, Lindswell mengaku menyukai wushu karena olahraga ini mengandung filosofi yang dalam pada setiap gerakannya. "Itu yang membuat latihan wushu tak ada batasnya." Semakin banyak belajar, ia semakin tertarik pada olahraga ini. "Sampai umur 80 tahun, belajar wushu tak akan selesai," ujarnya. l


Medina Warda Aulia
Berjaya Bersama Ikan Teri

TIAP bertanding di luar negeri, Medina Warda Aulia, 18 tahun, selalu membawa masakan ikan teri yang dibuat neneknya. "Makan teri sebelum bertanding dapat menjadi mood booster," tutur remaja asal Babelan, Bekasi, Jawa Barat, itu pada Kamis dua pekan lalu.

Aneh, tapi mood positif saat bertanding salah satu modal Medina untuk berprestasi, termasuk menjadi wanita termuda Indonesia yang mampu menyandang gelar grandmaster wanita (woman grandmaster/WGM). Anak ketiga dari enam bersaudara ini meraih gelar itu di Kejuaraan Dunia Junior di Kocaeli, Turki, September 2013. Saat itu usianya 16 tahun 2 bulan 16 hari. Praktis ia juga memecahkan rekor Irene Kharisma Sukandar, yang sebelumnya menjadi WGM pada usia 16 tahun 7 bulan.

Mengenal catur dari ayahnya, Nur Muchlisin, saat berusia sembilan tahun, kemampuan Medina terasah di Sekolah Catur Utut Adianto, Bekasi. Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi Pengurus Besar Persatuan Catur Seluruh Indonesia Kristianus Liem melihat bakat yang menonjol. "Dia memiliki insting untuk melihat pola permainan," tuturnya.

Mahasiswi semester II Jurusan Administrasi Negara Universitas Indonesia ini sudah berhasil menorehkan sederet prestasi, termasuk medali perak SEA Games 2011, dua medali perunggu SEA Games 2013, gelar juara turnamen wanita internasional 2011 di Singapura, dan gelar juara The Best of The Best Catur 2012. Dia hanya butuh satu norma lagi untuk bisa menyandang gelar master putra internasional.

Medina kini menargetkan hal yang belum pernah dicapai pecatur wanita Indonesia lain: grandmaster putra pada usia 22 tahun. "Semua teman dan lingkungan keluarga mendukung," katanya.Ia berlatih keras, di samping membawa ikan teri ke berbagai turnamen.


Sri Hartati
Pertama di Angkat Berat

CEDERA pergelangan tangan mengubur mimpi Sri Hartati menjadi atlet angkat besi. Musibah itu menimpa Sri ketika menjalani latihan rutin di Padepokan Gajah Lampung, Pringsewu. Kala itu Sri masih pelajar sekolah menengah atas. "Rasanya stres berat membayangkan tak bisa bertanding lagi," kata Sri, ketika menceritakan peristiwa itu, Ahad dua pekan lalu.

Sri tertarik pada cabang olahraga angkat besi sejak duduk di kelas VI sekolah dasar. Waktu itu, sejumlah atlet angkat besi nasional mendatangi sekolah untuk mencari bibit baru. Mendengar cerita atlet angkat besi bisa keliling dunia, Sri mendaftar.

Semula orang tua Sri tak setuju. Namun, karena Sri berkukuh, orang tuanya luluh. Sewaktu masuk sekolah menengah pertama, Sri berlatih saban pagi sebelum berangkat ke sekolah. Pada 2003, ketika usianya 16 tahun, Sri mengikuti kejuaraan remaja angkat besi di Korea Selatan. Itulah pengalaman pertamanya ke luar negeri.

Setelah menjuarai Pekan Olahraga Nasional pada 2004, Sri mengalami akumulasi cedera pergelangan tangan. Pelatih dia, Anna Maria, akhirnya menyarankan Sri pindah ke cabang olahraga angkat berat. Dibanding angkat besi, cabang ini kurang bergengsi karena tak dilombakan di Olimpiade. Toh, Sri menuruti saran Ana karena angkat berat tak menuntut kekuatan pergelangan tangan. "Kalau bertahan di angkat besi, kamu tak akan berprestasi," kata Anna kala itu.

Keyakinan Anna tak meleset. Sri, kelahiran Lampung 31 tahun lalu, menjadi atlet angkat berat Indonesia pertama yang meraih gelar juara dunia. Sejak 2010, Sri empat kali menyabet trofi juara dunia. Di kejuaraan Asia-Oceania Championship 2014, Melbourne, Australia, Sri memecahkan rekor dunia dengan angkatan 141 kilogram. Rekor itu belum terpecahkan sampai saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus