Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penyangga Hidup Dayak Bahau

Hutan adat Long Isun, Makaham Ulu, menjadi sandaran hidup suku Dayak Bahau. Tak diakomodasi dalam RTRW Kalimantan Timur.

18 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masyarakat Long Isun tak lagi berburu di hutan adat karena babi hutan dan kancil sudah sirna.

  • Hutan adat Long Isun tak masuk dalam RTRW Kalimantan Timur.

  • Suku Dayak Bahau di Long Isun akan tetap menolak jika perusahaan beraktivitas di hutan adat.

YOSEPH HUVAT BISEH, 52 tahun, perlahan-lahan menyelam ke dalam Sungai Melaseh di Kampung Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Ia lantas mengangkat jaring ikan yang dipasangnya. Beberapa ekor ikan jelawat terjaring di situ.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Huvat lalu memindahkan ikan-ikan itu ke dalam anjat, tas anyaman khas suku Dayak. Selanjutnya, ia menyerahkan ikan-ikan itu ke istrinya untuk digoreng di rumah. "Ikan ini khas di Sungai Melaseh," kata Huvat saat ditemui di Long Isun, Jumat, 4 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sungai Melaseh merupakan anak Sungai Mahakam yang membelah Samarinda, Kutai Kartanegara, dan Kutai Barat. Saat ini Huvat lebih banyak bercengkerama dengan Sungai Melaseh, selain kegiatannya sehari-hari di ladang.

Belasan tahun sebelumnya, Huvat berprofesi sebagai pemburu di hutan adat Dayak Bahau di Long Isun. Di sana, Huvat berburu rusa, babi hutan, dan kancil.

Namun Huvat tersingkir dari hutan adat mereka sejak dua perusahaan dari Harita Grup mendapat hak penggunaan hutan (HPH) pada 2008 dan 2014. Kedua perseroan tersebut adalah PT Roda Mas Timber Kalimantan dan PT Kemakmuran Berkah Timber. Kedua perseroan ini di bawah kendali Roda Mas Group, perusahaan yang tergabung dengan Harita Group. Area konsesi Roda Mas seluas 8.959 hektare dan Kemakmuran Berkah 12.484 hektare.

Sejak kehadiran kedua perusahaan itu, kata Huvat, banyak hewan, seperti rusa, babi, dan aneka jenis burung, hilang dari hutan adat Long Isun. "Jangankan burung enggang, babi dan monyet saja sudah sulit ditemui di hutan," kata Huvat.

Gapura selamat datang di Kampung Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, 3 Agustus 2023. TEMPO/Andi Adam Faturahman

Kondisi itulah yang membuat Huvat beralih profesi menjadi petani ladang di pinggiran hutan. Ayah dengan dua anak ini memilih menanam jagung, singkong, dan umbi-umbian. 

Tempo belum berhasil meminta konfirmasi dari kedua perusahaan soal keberadaan mereka di hutan adat tersebut. Surat permintaan konfirmasi Tempo sudah dikirim ke e-mail perusahaan yang tertera di situs webnya, tapi belum dibalas hingga kini. Tempo juga berusaha menghubungi kedua perusahaan lewat juru bicara Harita Grup di sektor tambang nikel, Anie Rahmi, tapi ia tak berkenan menjawabnya. "Saya coba konfirmasi siapa yang bisa bantu, Mas," kata dia.

Long Isun berjarak sekitar 318,98 kilometer dari Samarinda. Kampung yang dihuni 417 jiwa itu berada di ketinggian 207 meter di atas permukaan laut . Long Isun merupakan kampung tertua di Mahakam Ulu. Penghuni Long Isun berasal dari suku Dayak Bahau.

Dulunya, mereka bekerja dengan cara berburu di hutan adat. Saat pemerintah daerah merevisi rencana tata ruang wilayah (RTRW), Dayak Bahau berharap hutan adat mereka masuk revisi tersebut, yaitu pemerintah mengakui keberadaan hutan adat suku Dayak Bahau ini.

Namun hutan adat suku Dayak Bahau di Long Isun tidak masuk kawasan adat dalam revisi RTRW Kalimantan Timur. Peraturan Daerah RTRW yang disahkan, Maret lalu, itu hanya memuat sejumlah wilayah di Kabupaten Kutai Barat dan Paser sebagai kawasan adat. Kawasan adat itu seluas 1.008 hektare, yang berada di area penggunaan lain (APL).

Dalam perda tersebut, pemerintah daerah juga mengusulkan perubahan peruntukan kawasan hutan seluas 1.449 hektare dari total 80 ribu hektare hutan di Long Isun. Adapun total usulan perubahan peruntukan kawasan hutan di Kalimantan Timur mencapai 736.261 hektare, tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Benua Etam. Sebagian usulan itu berada di area konsesi perusahaan.

Masyarakat Dayak Bahau Long Isun di Long Pahangai, Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, 4 Agustus 2023. TEMPO/Adi Adam Faturrahman

Hasil Hutan dan Ritual Adat

Selama ini, suku adat Dayak Bahau menggunakan hasil hutan jadi sebagai bagian dari ritual adat mereka. Misalnya, pohon ulin mereka jadikan properti ritual pernikahan. Papan ulin menjadi simbol mahar dari pengantin pria untuk mempelai wanita. Ulin juga dijadikan perkakas dan bangunan rumah.

Christina Yeqlewing, atau biasa disapa Nenek Yeq, mengatakan masyarakat Long Isun berkomitmen akan menjaga hutan adat karena perannya sangat penting bagi kehidupan mereka. Mereka tidak akan mengizinkan pengolahan hutan adat kepada perusahaan mana pun. "Karena mereka akan merusak hutan kami," kata anggota staf adat Kampung Long Isun ini.

Nenek Yeq menyebutkan masyarakat Long Isun memang gemar berbagi wilayah. Tapi wilayah itu hanya diberikan kepala adat kepada masyarakat Dayak Bahau di Long Isun, bukan kepada pihak ketiga. "Mereka yang mau berladang tinggal pilih saja di mana wilayahnya. Yang terpenting tidak dikelola perusahaan," ujarnya.

Kepala adat masyarakat Dayak Bahau di Long Isun, Lusan Arang, mengatakan hutan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat Long Isun. Sebab, hampir semua aktivitas masyarakat bergantung pada hutan. "Makanya, kami rawat hutan lalu hutan tukar dengan sediakan apa pun untuk kami," kata dia.

Tokoh pemuda Dayak Bahau di Long Isun, Theodorus Tekwan Ajat, menyatakan bersumpah untuk terus menjaga kelestarian hutan adat Long Isun. Apalagi sejak nenek moyang suku Dayak Bahau telah menjaga kelestarian hutan sebagai timbal balik atas pemberian hutan kepada mereka. "Bagi kami, hutan tidak bisa dihilangkan dari kehidupan kami," ucapnya.

Direktur Perkumpulan Nurani Perempuan, Martha Doq, mengatakan masyarakat Long Isun telah memiliki ikatan yang kuat dengan hutan sejak zaman nenek moyangnya. Hutan menjadi pasar bagi masyarakat adat di Long Isun. "Perlu diingat bahwa masyarakat adat merupakan perawat hutan terbaik. Mereka tidak akan merusak karena kehidupannya bergantung pada hutan," kata Martha.

Senada dengan itu, anggota Perkumpulan Nurani Perempuan, Ignatius Hanyang, mengatakan hutan adat Long Isun merupakan benteng terakhir yang harus dijaga kelestariannya. Ketika hutan adat Long Isun rusak, kata dia, itu akan berimbas pada masyarakat yang bermukim di sepanjang aliran Sungai Mahakam. "Jika hutan Long Isun rusak dan terjadi banjir bandang, wilayah Long Pahangai, Long Bagun, dan yang ada di hilir akan terkena dampaknya," ujarnya. ***

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Tim Laporan Khusus Koran Tempo

Penanggung jawab: Jajang Jamaludin | Kepala proyek: Agoeng Wijaya | Koordinator kolaborasi: Avit Hidayat | Penulis & penyumbang bahan: Agoeng Wijaya, Avit Hidayat, Andi Adam Faturrahman (Tempo), Fachri Hamzah (Padang), Harry Siswoyo (Bengkulu), Sapri Maulana (Samarinda), Aryo Bhawono, Raden Aryo W. (Betahita.id) | Editor: Yandhrie Arvian, Agoeng Wijaya, Rusman Paraqbueq, Suseno, Reza Maulana | Analis spasial: Adhitya Adhyaksa, Andhika Younastya (Auriga) | Bahasa: Suhud, Tasha Agrippina, Sekar Septiandari, Ogi Raditya | Periset foto: Ijar Karim, Bintari Rahmanita

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus