Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tingkat pengangguran terbuka masih sebesar 5,32 persen dari jumlah angkatan kerja.
Investasi yang masuk lebih banyak ke sektor pertambangan dan penghiliran, yang tidak memerlukan banyak tenaga kerja.
Kementerian Ketenagakerjaan merevitalisasi lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi.
JAKARTA – Tingkat pengangguran yang tinggi menjadi pekerjaan rumah berat yang harus diselesaikan Presiden Joko Widodo dalam setahun terakhir kepemimpinannya. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, per Agustus 2023 terdapat 7,86 juta orang pengangguran atau setara dengan angka tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,32 persen. Angka ini di bawah target TPT Jokowi sebesar 4-5 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengungkapkan terdapat sejumlah faktor penyebab masih tingginya tingkat pengangguran. Menurut dia, penyerapan tenaga kerja menurun drastis dalam sembilan tahun terakhir, khususnya pada industri manufaktur. "Tingkat penyerapan tenaga kerja tinggal seperlimanya untuk setiap nilai investasi (dibanding pada sembilan tahun lalu) karena investasi cenderung ke padat modal," ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Investasi padat modal mengedepankan penggunaan mesin dan teknologi untuk menopang kegiatan produksi yang lebih cepat, efektif, dan efisien. Walhasil, angkatan kerja yang ada tak banyak terserap karena kebutuhannya terbatas. Porsi penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur tercatat terus menurun hingga kini menjadi 44 persen.
Di sisi lain, Shinta mengimbuhkan, kontribusi sektor manufaktur yang menurun terhadap produk domestik bruto (PDB) juga mengindikasikan peralihan menuju sektor jasa. Sayangnya, sektor jasa yang tumbuh adalah sektor jasa yang berkualitas rendah. Apindo memproyeksikan penciptaan lapangan kerja baru ke depan dapat mencapai 2 juta pekerjaan per tahun yang mencakup skala industri ataupun usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Dalam konferensi pers di awal pekan ini, BPS mengumumkan jumlah pengangguran per Agustus 2023 sebanyak 7,86 juta orang atau 5,32 persen dari jumlah angkatan kerja yang sebanyak 147,71 juta orang. Pelaksana tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa jumlah pengangguran pada Agustus 2023 lebih rendah 0,54 persen dibanding pada Agustus 2022 yang sebanyak 8,42 juta orang. Namun jumlah tersebut masih lebih tinggi ketimbang angka sebelum masa pandemi Covid-19, yaitu pada Agustus 2019, sebanyak 7,1 juta orang.
BPS menyatakan sektor manufaktur memang tak lagi menjadi sektor usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Selama periode Agustus 2022 hingga Agustus 2023, lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah usaha akomodasi serta makanan dan minuman. Jumlah tenaga kerja yang diserap dua lapangan itu sebanyak 1,18 juta orang. Berikutnya adalah lapangan konstruksi sebanyak 0,77 juta orang dan pertanian 0,75 juta orang.
Wakil Ketua Umum Apindo Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam menimpali, meski sudah melewati masa pandemi, kondisi psikologis dunia usaha belum sepenuhnya pulih. Terlebih saat ini terjadi gejolak perekonomian global yang melemahkan permintaan akibat tren inflasi dan suku bunga tinggi, juga konflik geopolitik. Kondisi ini turut berpengaruh pada laju penyerapan tenaga kerja dan tingkat pengangguran. "Beberapa sektor belum pulih, bahkan industri tekstil dan produk tekstil terpukul karena ekspor ke negara-negara Eropa turun 50 persen lebih," ucapnya.
Ketidaksesuaian Keterampilan
Suasana pembuatan kaus di Srengseng Sawah, Jakarta, 31 Oktober 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Sementara itu, Bob Azam menilai program-program pengurang angka pengangguran masih perlu terus ditingkatkan efektivitasnya. Ia mencontohkan program pendidikan vokasi yang memerlukan kerja sama dan keterlibatan pelaku usaha untuk memahami kebutuhan technical skills dan soft skills perusahaan. Dengan begitu, kurikulum pendidikan dan magang dapat disesuaikan untuk mendapat pengalaman layaknya bekerja di lingkungan kerja yang sebenarnya.
Bob juga menyoroti program Kartu Prakerja yang saat itu lebih mirip bantuan sosial ketimbang pelatihan keterampilan. Ia menuturkan program Kartu Prakerja harus dikembalikan fungsinya sebagai sarana transformasi ketenagakerjaan. "Kartu Prakerja perlu diubah fokusnya, tak lagi sekadar memfasilitasi kesiapan kerja, tapi juga upskilling dan reskilling pekerja sesuai dengan kebutuhan industri."
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengakui adanya ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan dunia usaha. Terlebih kebutuhan tenaga kerja saat ini kian dinamis dengan munculnya berbagai jenis pekerjaan baru. "Selama ini terjadi mismatch, lulusan lembaga pendidikan atau pelatihan tidak bisa menjawab kebutuhan pasar kerja," ucapnya.
Strategi yang diterapkan untuk mengatasi persoalan ketidaksesuaian keterampilan ini salah satunya adalah merevitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi. Revitalisasi itu mencakup pemberian dukungan fasilitas terhadap lembaga pelatihan kerja swasta, pemerintah, ataupun komunitas.
Kementerian Ketenagakerjaan saat ini punya modalitas kelembagaan pelatihan vokasi yang terdiri atas 292 balai latihan kerja (BLK) pemerintah, 2.908 lembaga pelatihan kerja swasta, 3.757 BLK komunitas, dan 79 BLK luar negeri. Jika dihitung secara kumulatif, semua lembaga pelatihan kerja itu punya kapasitas pelatihan vokasi nasional sebanyak 5.778.881 orang per tahun dan kapasitas sertifikasi 8.873.200 orang per tahun.
Sulit Mencapai Target RPJMN
Sejumlah warga berjalan di trotoar saat berangkat kerja di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta, 8 November 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menilai dengan sisa waktu setahun bagi pemerintahan Jokowi, akan sangat sulit menurunkan tingkat pengangguran dari 5,32 persen menuju target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dalam RPJMN, target pengangguran pada 2024 bahkan lebih rendah lagi, yaitu 3,6-4,3 persen. Ia menilai,
Yusuf pun mengingatkan masalah ketenagakerjaan berikutnya yang tak kalah penting untuk diperhatikan, yaitu masalah setengah menganggur atau mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal. Kelompok ini adalah angkatan kerja yang bekerja seadanya di sektor informal. "Mereka bekerja serabutan. Melakukan pekerjaan apa pun demi bertahan hidup," ujarnya. Kategori setengah menganggur pada Agustus 2023 mencapai 6,68 persen, naik dari Agustus 2022 yang sebesar 6,32 persen.
Baca juga:
Lapangan Kerja yang Tak Berkualitas
Menurut Yusuf, ketika angka pengangguran setahun terakhir menunjukkan penurunan tapi angka setengah pengangguran justru meningkat, hal ini mengindikasikan bahwa penciptaan lapangan kerja cenderung tidak berkualitas. Alasannya, sebagian angkatan kerja bekerja seadanya di sektor informal, alih-alih bekerja penuh waktu di sektor formal.
Tingginya angka pengangguran dan penciptaan lapangan kerja yang tidak berkualitas banyak disebabkan oleh kemunduran di sektor industri manufaktur, khususnya manufaktur padat karya. Investasi di Indonesia kini lebih banyak masuk ke sektor non-tradable yang secara umum tidak menyerap banyak tenaga kerja, seperti industri pertambangan dan penghiliran hasil tambang.
"Karakteristik industri ini cenderung padat modal. Karena itu, walaupun nilai investasi di sektor penghiliran tambang merupakan salah satu yang terbesar, tingkat penyerapan tenaga kerjanya kurang dari 1 persen," ucap Yusuf.
Merujuk pada realisasi investasi Indonesia pada 2022, nilainya mencapai Rp 1.200 triliun, meningkat dari Rp 399 triliun pada 2013. Namun tingkat penyerapan tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi justru turun drastis, dari 4.594 orang pada 2013 menjadi hanya 1.081 orang pada 2022.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede berpendapat, program peningkatan lapangan kerja, seperti program vokasi dan Kartu Prakerja, di atas kertas seharusnya dapat membantu menekan tingkat pengangguran, asalkan sesuai dengan tuntutan kebutuhan industri.
Dia menyarankan pemerintah menciptakan pooling tenaga kerja terampil pada suatu kawasan sehingga dapat mengundang minat investor. Menurut dia, cara ini dapat membantu pemerataan investasi di setiap kawasan sehingga penyerapan tenaga kerja juga menjadi lebih merata.
Sementara itu, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan fokus investasi ke depan idealnya tidak hanya bertumpu pada investor baru, tapi juga mendorong pelaku usaha existing menambah kapasitas produksi sehingga membuka peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih maksimal.
Dia mengingatkan, ketika hendak melakukan ekspansi, pengusaha mempertimbangkan beberapa hal di luar soal ketenagakerjaan. Di antaranya prospek pertumbuhan ekonomi tahun berjalan dan ke depan, serta ongkos energi yang harus ditanggung ketika menambah kapasitas produksi.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo