Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Valina Singka Subekti, mengatakan politik uang tak hanya berpotensi dilakukan terhadap pemilih. Penyelenggara pemilu juga terpapar ancaman tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Valina mengatakan, politik uang yang diberikan kepada pemilih ditujukan untuk membeli suara mereka. Sementara politik uang terhadap penyelenggara pemilu diberikan peserta pemilu untuk mengubah hasil pemilu. Tindakan tersebut termasuk kategori suap.
Menurut dia, jumlah penyelenggara pemilu yang terlibat suap dalam lima tahun terakhir cukup mengkhawatirkan. Data tersebut dia ketahui saat menjabat sebagai anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) periode 2012-2017.
"Dengan menghadapi pemilu serentak yang jauh lebih rumit, kemungkinan politik uang untuk mengubah hasil suara menurut saya masih besar," kata Valina di Veranda Hotel, Jakarta, Selasa, 18 September 2018.
Valina menuturkan, suap rawan menggoda penyelenggara pemilu dari tingkat atas hingga bawah. Kecuali di Tempat Pemungutan Suara (TPS), potensi suap cenderung lebih rendah. Dia mengatakan TPS di Indonesia banyak diapresiasi, termasuk oleh kalangan internasional, sebagai tempat penghitungan suara yang akuntabel dan transparan. Setelah suara dialihkan ke tingkat selanjutnya, modus suap biasanya rentan terjadi.
Penyelenggara pemilu diminta mewaspadai potensi suap ini dengan meningkatkan pengawasan. Valina mengatakan pengawasan di lapangan selama ini tak efektif. Ribuan laporan mengenai dugaan politik uang yang dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu tak bisa dieksekusi lantaran kekurangan alat bukti dan saksi.