Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi diduga hanya akan menyeret pekerja lapangan dalam kasus kebakaran smelter nikel di Morowali.
Kronologi kejadian menguatkan indikasi petinggi perusahaan harus ikut bertanggung jawab.
Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah akan melakukan gelar perkara kebakaran smelter PT ITSS hari ini.
JAKARTA – Masyarakat sipil menduga kuat penyidik Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah ataupun Kementerian Ketenagakerjaan akan menjadikan pekerja lapangan sebagai tumbal atas insiden kebakaran di smelter nikel PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS). Dugaan itu dikuatkan dari penjelasan polisi ataupun pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dari keterangan awal kepolisian yang kami cermati, mereka seperti sudah mempunyai calon tersangka, yaitu buruh atau staf lapangan saat kejadian,” kata Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Indonesia (PHBI) Gina Sabrina, Selasa, 2 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan penjelasan pihak kepolisian mengindikasikan bahwa calon tersangka dalam insiden tersebut adalah pekerja di lapangan. Padahal, kata Gina, penyidik kepolisian ataupun pihak Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Binwasnaker dan K3) Kementerian Ketenagakerjaan semestinya melihat secara menyeluruh penyebab ledakan di kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, tersebut. Apalagi kebakaran smelter nikel di kawasan IMIP sudah berulang kali terjadi.
“Ketika terjadi kecelakaan kerja, polisi tidak bisa hanya menyasar petugas atau operator lapangan dengan dalih human error. Penyidik harus melihat secara keseluruhan konteks kasus ini,” ujar Gina.
Gina menduga kebakaran disertai ledakan di tungku smelter feronikel nomor 41 milik PT ITSS itu karena perusahaan mengabaikan penerapan praktik standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Dengan demikian, pihak yang paling bertanggung jawab dalam kejadian tersebut seharusnya korporasi ataupun petinggi perusahaan bersangkutan.
Pengabaian praktik K3 itu dikuatkan dengan informasi dari pekerja mengenai kronologi kebakaran. Di samping itu, kata Gina, kecelakaan berulang di smelter nikel PT ITSS menguatkan indikasi perusahaan abai terhadap penerapan K3.
Gina mengutip catatan Trend Asia—organisasi non-pemerintah di bidang transformasi energi dan energi berkelanjutan—yang menyebutkan bahwa kecelakaan kerja di smelter nikel milik PT ITSS sudah 19 kali terjadi sepanjang 2023. Insiden terakhir dan paling parah adalah kebakaran disertai ledakan di tungku nomor 41 pada Ahad, 24 Desember 2023. Insiden ini mengakibatkan 20 pekerja meninggal.
Baca Juga:
Penyebab insiden ini belum diketahui secara pasti. Beberapa anggota staf perusahaan menyebutkan saat itu sebagian pekerja tengah menyelesaikan pemasangan alas pada tungku, yang dikerjakan sejak sehari sebelumnya. Selama proses perbaikan tungku diduga sebagian besar alat pengolahan nikel di smelter tersebut tetap beroperasi.
Proses perbaikan tungku itu juga ditengarai dilakukan tergesa-gesa. Sebab, perbaikan dilakukan hanya berselang dua hari setelah proses pendinginan ataupun pemadaman aliran listrik ke tungku. Saat itu, di dalam tungku diduga masih tersisa molten slag atau terak cair nikel bersuhu tinggi.
Kebakaran akibat ledakan tungku smelter di pabrik ferosilikon PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, 24 Desember 2023. Foto: Istimewa
Polda Sulawesi Tengah ataupun Binwasnaker dan K3 Kementerian Ketenagakerjaan tengah menginvestigasi insiden ini. Polda sudah memeriksa 27 saksi. Para saksi merupakan karyawan perusahaan yang dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut.
Polda menjadwalkan ulang gelar perkara hari ini setelah batal dilaksanakan pada Selasa kemarin. Polisi beralasan penyidik masih perlu melengkapi materi penyidikan.
“Ada sedikit yang harus diperbaiki. Besok pukul 10.00 (hari ini) kami melaksanakan gelar perkara. Penundaan ini hanya internal penyidik, tidak ada tendensi apa-apa,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulawesi Tengah Komisaris Besar Djoko Wienartono, kemarin.
Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Inspektur Jenderal Agus Nugroho mengatakan sudah ada titik terang calon tersangka dalam insiden tersebut. “Sudah ada titik terang, tinggal memastikan pada gelar perkara untuk menetapkan tersangka,” kata Agus di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa lalu.
Ia mengatakan hasil penyidikan anak buahnya menemukan adanya pelanggaran prosedur, baik metode kerja maupun keputusan dari pihak yang bertanggung jawab atas pekerjaan.
Direktur Jenderal Binwasnaker dan K3 Haiyani Rumondang belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo mengenai perkembangan investigasi lembaganya. Kepala Dinas Tenaga Kerja Morowali Ahmad juga belum membalas pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Seorang anggota tim pengawas ketenagakerjaan yang ikut menyelidiki insiden tersebut mengatakan proses penyelidikan lembaganya masih berlangsung. Ia mengatakan pihaknya masih menelusuri pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab, di antaranya petugas di bagian keselamatan kerja yang memberi izin proses perbaikan tungku.
“Bagian penanggung jawab kerja yang memberikan izin perbaikan tungku itu yang ada kemungkinan dianggap lalai sehingga insiden kebakaran itu terjadi,” katanya.
Petugas menggotong korban yang menderita luka-luka dalam peristiwa kecelakaan kerja di pabrik PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) di kawasan IMIP saat akan dirujuk ke Sulawesi Selatan di RSUD Morowali, Sulawesi Tengah, 29 Desember 2023. ANTARA/Mohamad Hamzah
Bos Perusahaan Harus Bertanggung Jawab
Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar Abdul Azis Dumpa berpendapat bahwa pemimpin PT ITSS seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas insiden tersebut. Karena itu, ia meminta penyidik Polda tidak ragu menyeret petinggi perusahaan karena kelalaiannya yang mengakibatkan kecelakaan kerja.
“Jangan hanya menetapkan staf lapangan yang sebagai tersangka, tapi juga di level top yang semestinya paling bertanggung jawab atas insiden ini,” kata Azis.
Azis berharap Polda Sulawesi Tengah terbuka terhadap proses penyidikan kebakaran smelter nikel ini. Sebab, ia khawatir polisi akan menyimpulkan bahwa kecelakaan itu karena kelalaian manusia semata.
Menurut dia, polisi mesti mencermati Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur kewajiban pemberi kerja memberikan pelindungan kepada pekerjanya, baik kesejahteraan, keselamatan, maupun kesehatan mental dan fisik. “Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem perusahaan,” ujar Azis. “Sehingga, jika terjadi kecelakaan kerja, seharusnya dapat menyeret pemimpin atau direktur perusahaan.”
Azis berpendapat bahwa pekerja di lapangan hanya menjalankan perintah pemimpin. Dengan begitu, bos perusahaan yang tidak menerapkan sistem manajemen K3 semestinya yang paling bertanggung jawab ketika terjadi kecelakaan kerja.
Dalam kasus insiden di PT ITSS, kata Azis, polisi dapat menerapkan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Apalagi UU Keselamatan Kerja sudah sangat jelas mengatur bahwa pengusaha juga merupakan subyek hukum pidana. “Pengusaha sebagai penanggung jawab K3 dapat dikategorikan sebagai pihak yang turut serta melakukan tindakan pidana,” ujarnya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur sependapat dengan Azis. Isnur mengatakan penyidik bisa mempidanakan pihak yang bertanggung jawab atas kecelakaan kerja jika menemukan bukti adanya kelalaian yang menyebabkan orang lain tewas. Penyidik, kata dia, dapat menerapkan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. “Karena ada kematian pekerja dalam kasus ini. Itu sudah pasti ada konteks pidananya,” kata Isnur.
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, dalam konteks pelanggaran pidana yang tertuang dalam Pasal 359 KUHP, semua pihak yang berhubungan dengan terjadinya kecelakaan kerja karena kelalaian harus bertanggung jawab. Pihak pertama yang mesti bertanggung jawab adalah pegawai yang menjadi penanggung jawab saat proses perbaikan tungku. Lalu penyidik mengembangkannya ke atasan bersangkutan yang mempunyai kewajiban memastikan pekerjaan berjalan dengan aman.
Selain itu, kata Fickar, pemberi kerja bisa dimintai pertanggungjawaban. Sebab, mereka wajib memastikan peralatan perbaikan tungku smelter sudah memenuhi standar dan prosedur keselamatan kerja.
Menurut Fickar, dalam konteks penyidikan kasus pidana, polisi tidak bisa hanya berfokus kepada mereka yang dianggap lalai sehingga terjadi kecelakaan. Penyidik semestinya mendalami pihak yang terlibat secara menyuruh, yaitu pihak yang turut serta maupun pihak yang memberikan kesempatan untuk membantu atau memberi bantuan. “Pihak yang menyuruh dan turut serta bisa dijerat Pasal 55 KUHP dan yang memberi kesempatan dijerat Pasal 56 KUHP,” ujarnya.
Dalam kasus insiden smelter PT ITSS ini, kata Fickar, bos perusahaan memang dapat dituntut pertanggungjawaban jika terdapat perintah dari atasan pekerja untuk menggunakan peralatan yang tidak layak saat perbaikan tungku. Apalagi jika pekerja yang diperintah untuk memperbaiki tungku tidak mempunyai keahlian atau sertifikasi kelayakan. “Jika dua hal itu benar terjadi, pengusaha bisa dipersalahkan dan dihukum,” katanya.
Kepala Divisi Relasi Media PT IMIP Dedy Kurniawan mengatakan perusahaan siap bertanggung jawab atas kecelakaan kerja tersebut. Ia mengatakan perusahaan akan terbuka dan bersikap kooperatif terhadap proses penyidikan kepolisian. “Kami terbuka terhadap proses penyidikan ini,” katanya.
IMAM HAMDI | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo