Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Transisi Bersih menilai upaya Kejaksaan Agung dalam menyita aset tiga tersangka korporasi dalam kasus korupsi minyak goreng patut diapresiasi. Pasalnya, langkah tersebut dapat menjadi momentum pembenahan tata kelola industri sawit di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koalisi Transisi Bersih yang beranggotakan Walhi, Satya Bumi, Greenpeace, dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menilai penetapan Musim Mas Group (MMG), Wilmar Group, dan Permata Hijau Group sebagai tersangka kasus korupsi minyak goreng adalah langkah maju dari Kejaksaan Agung dalam pengusutan perkara ini. Sebab, pemerintah tak lagi memandang kasus ini sebagai aksi perseorangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, koalisi ini meminta Kejaksaan Agung berani untuk mengoptimalkan pengungkapan kasus korupsi di balik kelangkaan minyak goreng pada 2022 lalu. Manager Kampanye Hutan dan Kebun, Walhi Nasional, Uli Arta Siagian mengatakan kasus korupsi minyak goreng yang menyeret tiga korporasi ini membuktikan bahwa hulu hingga hilir industri sawit mempunyai banyak masalah dan begitu rentan menjadi ruang korupsi.
"Oleh karenanya, upaya perbaikan tata kelola dan tata niaga industri sawit wajib segera dilakukan," ucap Uli di kawasan Jakarta Selatan, Selasa, 18 Juli 2023.
Seperti diketahui, tiga perusahaan ini terjerat kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya. Penetapan tersangka korporasi dalam kasus ini, menurut Uli, menunjukkan betapa mudahnya korporasi mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sebab, korporasi bisa dengan mengubah kebijakan agar bisa melakukan ekspor meski belum memenuhi kewajiban domestik.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung dalam kasus itu, kerugian negara ditaksir mencapai Rp 6,047 triliun. Kejaksaan Agung pun melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap aset milik Musim Mas Group (MMG), Wilmar Group, dan Permata Hijau Group.
Penyitaan dan penggeledahan dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: PRINT-1334/F.2/Fd.1/07/2023 tanggal 5 Juli 2023.
Tim penyidik menyita 227 bidang tangah seluas 14.620 hektare milik Musim Mas Group. Tanah tersebut beralamat di Jalan KL Yos Sudarso KM. 7.8, Kelurahan Tanjung Mulia, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan.
Sementara dari Wilmar Group, penyidik menyita 625 bidang tanah dengan luas 43,32 hektare di kantor Wilmar, Gedung B dan G Tower lantai 9, Jalan Putri Hijau Nomor 10, Kota Medan.
Lalu di kantor Permata Hijau Group yang beralamat di Jalan Gajahmada Nomor 35, Kota Medan, tim penyidik menyita 70 bidang tanah seluas 23,7 hektare. Dari perusahaan yang sama, Kejaksaan Agung juga menyita uang pecahan Rupiah dengan jumlah Rp 385 juta, US$ 435.200, 52 ribu Ringgit Malaysia dan Sin $ 250.450.
Selanjutnya: Penyitaan aset tersangka korupsi minyak goreng belum transparan
Kendati demikian, langkah penyitaan aset perusahaan tersangka korupsi minyak goreng ini dinilai belum transparan. Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo menuturkan penyitaan aset merupakan langkah yang baik, namun harus dipastikan imbasnya terhadap operasional perusahaan tersebut.
Menurutnya, sampai saat ini publik tidak mengetahui imbas dampak dari penyitaan yang dilakukan oleh Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) itu. Lantas, publik tidak bisa memastikan apakah upaya tersebut berhasil membuat perusahaan jera.
Karena itu, Achmad menyoroti soal pengawasan terhadap aset yang telah disita itu. Ia mempertanyakan apakah penyitaan aset tanah atau perkebunan membuat produksi berhenti atau justru berjalan seperti biasanya. Lalu apakah gedung yang disita masih beroperasi menjalankan operasional bisnis atau tidak.
"Jadi kata-kata penyitaan ini betul-betul bermakna bukan jadi hanya menyenangkan publik saja," ucap Achmad.
Lebih lanjut, Greenpeace Indonesia berharap perampasan aset tersangka korporasi kasus korupsi minyak goreng ini dapat betul-betul menjadi momentum pemulihan kerugian negara. Forest Campaigner Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik berujar Kejaksaan Agung harus memastikan para tersangka korporasi ini membayar sesuai dengan kerugian negara yang mereka sebabkan.
Mengingat rumitnya struktur perusahaan yang menjadi tersangka korporasi itu, Greenpeace mendorong Kejaksaan Agung untuk menerapkan pendekatan pidana pencucian uang. Hal ini perlu dilakukan untuk menutup celah penghindaran lewat berbagai skema aksi korporasi.
Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. Arie Rompas mengatakan Pengungkapan kasus korupsi dalam penerbitan dokumen ekspor ini membuka kotak pandora sengkarut pengelolaan sawit. Dia berujar, masih segar di ingatan publik betapa sulitnya memperoleh minyak goreng pada akhir 2021 hingga 2022.
Bahkan, menurutnya, dampak kejadian itu masih terasa sampai sekarang, yakni harga minyak goreng tidak pernah kembali ke harga sebelum terjadinya kelangkaan. Karena itu, ia menilai pemerintah mesti serius membenahi tata kelola sawit Indonesia, salah satunya dengan kembali memberlakukan moratorium pemberian izin.
Dia juga mendesak pemerintah agar melakukan audit korporasi sawit secara transparan. Desakan ini juga sudah berkali-kali disampaikan kelompok masyarakat sipil, termasuk lewat gugatan kelangkaan minyak goreng terhadap Presiden Joko Widodo dan Menteri Perdagangan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Selanjutnya: KPPU diminta pastikan tak ada dominasi pelaku usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga diminta untuk memastikan tak ada dominasi pelaku usaha di tingkat hilir untuk mencegah persaingan tidak sehat. Terlebih, berdasarkan data KPPU, 70 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh delapan perusahaan saja. Dominasi pelaku usaha rentan berujung pada besarnya pengaruh mereka dalam pembentukan kebijakan.
Musababnya, Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menjelaskan akar masalah rantai pengusahaan industri sawit adalah lemahnya pengawasan terhadap pasar CPO yang cenderung oligopoli. Sehingga, perilaku kartel kerap terjadi di pasar minyak goreng. Dia menekankan transparansi data dan penguatan penegakan hukum menjadi kunci pengawasan pasar.
Selain perbaikan tata kelola, Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien perampasan aset juga dapat menjadi momentum untuk menyelesaikan persoalan lingkungan. Caranya, dengan melakukan pemulihan serta konflik agraria di daerah perkebunan kelapa sawit perusahaan tersebut.
Pemidanaan korporasi pun dianggap mampu memberikan efek jera pada korporasi. Sebab, langkah tersebut memungkinkan pidana tambahan terhadap korporasi melalui perampasan atau pengambilalihan korporasi oleh negara, bahkan pencabutan izin usaha.
Jika negara terus berpihak pada kepentingan oligarki, tutur Andi, tidak heran bila kasus kelangkaan minyak goreng akan terus berulang. "Terlebih saat ini ada pintu pelarian pemasok CPO untuk kebutuhan biodiesel yang jelas-jelas lebih menguntungkan bagi korporasi," ucapnya.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan hingga kini belum merespons soal penetapan tersangka korporasi dan perampasan aset dalam perkara korupsi minyak goreng ini. Namun, Zulkifli Hasan mengatakan penyelesaian sengkarut kelangkaan minyak goreng merupakan tugas utama yang diperintahkan oleh Presiden Joko Widodo kepadanya sebagai Menteri Perdagangan.
Adapun selain tiga korporasi minyak goreng, Kejagung telah menetapkan dua tersangka lainnya dalam perkara ini. Yakni Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana (IWW) dan anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
Penetapan tersangka dilakukan setelah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis lima orang terdakwa dengan hukuman 5-8 tahun. Vonis ini telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) di tingkat kasasi.
Terakhir, Kejaksaan Agung baru-baru ini juga memanggil Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai saksi kasus korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor minyak goreng dan turunannya pada Januari 2021-Maret 2022.