Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perbankan 2010

30 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fauzi Ichsan*

Krisis finansial global telah mengubah wajah perbankan dunia. Pada 1999, tiga bank terbesar di dunia (berdasarkan kapitalisasi pasar) adalah Citibank, Bank of America (BoA), dan HSBC. Kini, setelah sepuluh tahun, tiga bank terbesar adalah Industrial & Commercial Bank of China (ICBC), China Construction Bank, dan Bank of China—ketiganya dari Republik Rakyat Cina, negara sosialis. Citibank, BoA, dan bank raksasa Amerika lainnya harus diselamatkan pemerintah dengan suntikan modal segar agar tak bangkrut. Sementara negara sosialis dan eks sosialis (seperti Cina dan Rusia) melakukan privatisasi BUMN, negara kapitalis (seperti Amerika dan Inggris) justru melakukan nasionalisasi.

Perubahan itu awalnya memang dari perbankan Amerika, yang kemudian memicu krisis finansial global dan menimbulkan resesi dunia. Untuk menyelamatkan ekonomi dunia dari depresi ekonomi seperti tahun 1930-an, pemerintah dan bank sentral negara G-20 melakukan intervensi ekonomi yang terkoordinasi dan agresif. Dari sisi moneter, US Federal Reserve memangkas suku bunga dolar Amerika ke 0,25 persen, European Central Bank memangkas suku bunga ke 1 persen, dan Bank of Japan ke 0,1 persen.

Tiga bank sentral tersebut (yang mengendalikan kebijakan moneter di separuh ekonomi dunia) diperkirakan tak akan menaikkan suku bunga pada 2010, mengingat dampak resesi belum berakhir. Dari sisi fiskal, pemerintah negara G-20 seperti Amerika dan Cina serta Indonesia mengalokasikan stimulus fiskal melalui pembangunan infrastruktur karena, dalam resesi ekonomi, investor swasta enggan berinvestasi dan justru melakukan perampingan usaha. Stimulus fiskal diharapkan bisa mengurangi dampak anjloknya investasi swasta.

Tapi respons para penguasa fiskal dan moneter G-20 tidak lengkap kalau tidak ”menghukum” biang keladi krisis perbankan, yaitu para ”bankir kapitalis global”. Karena mengejar bonus, para ”bankir Wall Street” dianggap telah mengabaikan prinsip kehati-hatian. Di Amerika, misalnya, mereka dengan agresif memberikan pinjaman kredit ke masyarakat yang rentan menunggak (debitor subprime), kemudian menjual kredit tersebut ke investor, sehingga risiko penunggakan tidak lagi ditanggung oleh bank, tapi oleh investor.

Selain itu, baik di Amerika maupun Eropa, bank komersial (yang seharusnya konservatif) telah melakukan kegiatan bank investasi (yang lebih agresif) melalui bisnis sekuritisasi dan derivatif yang spekulatif. Perbankan, yang mestinya berperan menyerap ”dana menganggur” di sektor moneter untuk dikucurkan ke sektor riil melalui kredit investasi, kini dianggap hanya ingin mencari keuntungan sesaat dan justru membantu merusak sektor riil. Intinya, regulator perbankan negara G-20 sepakat mengembalikan peran perbankan dalam batasan yang konvensional. Untuk itu, perbankan global akan ”direformasi” melalui beberapa cara.

Pertama, regulator perbankan G-20 sepakat mewajibkan bank memperkuat modal tier 1 (modal saham pemilik bank) dan tidak terlalu mempertimbangkan modal tier 2 (surat utang yang diterbitkan bank dengan kekuatan hukum paling rendah bagi investornya). Intinya, struktur modal bank harus kuat untuk menghadapi krisis finansial yang berikutnya.

Kedua, aktivitas bank dalam bisnis yang bersifat spekulatif, seperti derivatif dan sekuritisasi (jual-beli hak atas penerimaan suatu usaha bisnis di masa depan yang belum tentu terealisasi), akan dibatasi. Kalau perlu, peran bank komersial akan dipisahkan dari peran bank investasi. Di Amerika, peran perbankan bisa dikembalikan seperti sebelum 1999, sewaktu undang-undang Glass-Steagall dihapus.

Ketiga, bonus bankir di Amerika dan Eropa, terutama yang banknya telah diselamatkan pemerintah dalam krisis global pada 2008, akan dibatasi. Sedangkan bank yang dinasionalisasi akan terus mendapat tekanan pemerintah untuk menyalurkan kredit di negaranya dan membatasi ekspansi di luar negeri.

Singkat kata, dunia perbankan akan berfungsi secara konservatif seperti pada 1980-an, ketika bisnisnya akan terkonsentrasi pada kredit konsumen, modal kerja dan investasi, perdagangan internasional, jual-beli valas, manajemen dana nasabah, dan kartu kredit. Walaupun perubahan ini tidak disukai oleh bankir investasi, bagi ekonomi secara makro akan lebih baik. Sedangkan dunia perbankan secara menyeluruh bisa lebih optimistis pada 2010.

Selain suku bunga global diperkirakan akan tetap rendah (yang membantu likuiditas perbankan), ekonomi dunia (yang diperkirakan oleh IMF menciut 1,1 persen pada 2009) diperkirakan akan tumbuh 3,1 persen. Walaupun tidak berarti ekonomi dunia akan sepenuhnya pulih dari resesi, setidaknya pertumbuhan ekonomi global dapat meningkatkan aktivitas ekonomi dan volume perdagangan dunia, yang akan membantu pertumbuhan kredit perbankan.

Perbankan Indonesia

Dampak krisis global terhadap sektor perbankan di Indonesia relatif kecil. Dari 126 bank, hanya satu yang ditutup dan satu diambil alih Lembaga Penjamin Simpanan. Rasio kecukupan modal (CAR) perbankan justru naik dari 16,2 persen di akhir 2008 ke 17,7 persen pada September 2009, jauh di atas ketentuan minimum 8 persen. Kredit seret (NPL) naik dari 3,8 persen di akhir 2008 ke 4,7 persen pada Mei 2009, tapi mulai turun ke 4,3 persen pada September. Ada beberapa alasan mengapa perbankan Indonesia dan Asia pada umumnya lebih baik daripada Amerika.

Pertama, pascakrisis finansial Asia pada 1998, perbankan Indonesia diselamatkan pemerintah melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, pengambilalihan ”aset busuknya” oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional, dan penyuntikan modal segar melalui program rekapitalisasi. Karena itu, neraca perbankan Indonesia relatif sehat, keadaan yang dibantu dengan masih tumbuhnya ekonomi Indonesia, walaupun turun dari 6,1 persen pada 2008 menjadi 4,4 persen pada 2009 (pertumbuhan tertinggi ketiga di G-20, setelah Cina dan India).

Kedua, pascakrisis perbankan 1998, Bank Indonesia memperketat peraturan perbankan, terutama yang menyangkut batas maksimum pemberian kredit, transaksi valas dan derivatif, serta klasifikasi aset bank. Akibatnya, neraca aset perbankan Indonesia berkualitas konservatif, yang terkonsentrasi di kredit konvensional dan bukan surat utang korporasi atau nota derivatif yang spekulatif dan sulit dinilai melalui metode mark-to-market. Di sisi debitor, sektor korporasi pun belajar dari krisis moneter dengan memperbaiki strategi keuangannya, misalnya dengan memperpanjang tenor pinjaman dan mengurangi risiko valas (pinjaman dalam dolar tapi pendapatan dalam rupiah, misalnya) melalui transaksi derivatif.

Ketiga, krisis perbankan Indonesia pada 1998 dipicu oleh anjloknya kurs rupiah dari Rp 2.400 per dolar Amerika ke Rp 16 ribu, yang meningkatkan inflasi ke atas 70 persen dan memaksa Bank Indonesia menaikkan suku bunga SBI ke 70 persen. Akibatnya, sektor perbankan dan korporasi Indonesia bangkrut. Dalam krisis finansial global pada 2008, rupiah hanya melemah dari Rp 9.200 per dolar ke Rp 12 ribu, dan cepat pulih ke bawah Rp 10 ribu, sehingga dampak makronya terbatas.

Selain keadaan perbankan yang relatif baik, ada beberapa faktor makro yang akan menguntungkan perbankan tahun depan. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan naik menjadi 5,5 persen. Kedua, inflasi diperkirakan hanya naik menjadi 5,5 persen. Ketiga, karena kenaikan inflasi yang terbatas dan karena suku bunga global tetap rendah, suku bunga BI Rate diperkirakan hanya akan naik menjadi ke 7,5 persen—sehingga bunga kredit bank diperkirakan tidak akan naik (karena selisih antara suku bunga deposito dan bunga kredit masih tinggi). Keempat, pasar modal (saham dan obligasi) global diperkirakan akan terus menguat, yang akan memudahkan bank menggalang dana, baik melalui penerbitan saham maupun obligasi jangka panjang. Dan kelima, karena pelemahan kurs dolar secara global, kurs rupiah diperkirakan akan terus menguat ke arah Rp 9.000, yang akan merangsang investasi di sektor riil, karena menurunkan biaya impor bahan baku dan barang modal.

Berdasarkan faktor di atas, pertumbuhan kredit yang diperkirakan hanya 10 persen pada 2009 bisa tumbuh kembali ke kisaran 15-20 persen tahun depan. Kredit konsumsi (sekitar 30 persen dari total kredit perbankan) diperkirakan tumbuh 25-30 persen, kredit investasi (20 persen) tumbuh 30-35 persen, dan kredit modal kerja (50 persen) tumbuh 10-15 persen. Pertumbuhan kredit konsumsi diperkirakan akan dimotori kredit otomotif dan KPR, dan dibantu dengan berakhirnya masalah segmentasi likuiditas perbankan antara bank besar dan menengah—yang dapat menurunkan suku bunga kredit. Pertumbuhan kredit investasi akan dimotori oleh pembangunan infrastruktur di sektor listrik, jalan tol, dan telekomunikasi, yang ditopang oleh stimulus fiskal pemerintah.

Rasio modal perbankan diperkirakan akan stabil di 16-17 persen dan NPL 4-5 persen. Pada intinya, perbankan Indonesia beruntung karena neraca keuangannya relatif sehat, sehingga tidak terpuruk oleh krisis global pada tahun lalu. Beruntung karena pertumbuhan ekonomi Indonesia masih positif, sementara kurs rupiah menguat tajam dan suku bunga BI Rate dipangkas. Dan diperkirakan beruntung pada 2010 karena ekonomi global mulai pulih, suku bunga global tetap rendah, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia naik.

*) Senior Vice President Standard Chartered Bank

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus