Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lio Kurniawan dan ‘Diaspora’ Singkawang  

Lio Kurniawan adalah orang di balik penerbitan buku Memoar Orang-orang Singkawang. Ia melacak sepotong sejarah masyarakat kota Singkawang yang terlupakan. 

16 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lio Kurniawan, orang di balik penerbitan buku Memoar Orang-Orang Singkawang.

  • Melacak sepotong sejarah masyarakat Singkawang yang terlupakan: diaspora Singkawang.

  • Kisah perjalanan menelusuri orang Singkawang di Cina.

Lio Kurniawan adalah orang di balik penerbitan buku Memoar Orang-orang Singkawang. Lelaki 60 tahun ini bergantian dengan tokoh-tokoh Singkawang memimpin panitia festival Cap Go Meh di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, pada 2008-2011. Dia yang mengundang para fotografer kenamaan di Jakarta dan banyak penulis datang menyaksikan keunikan Singkawang. Kelenteng-kelenteng, pawai tatung, kulinernya, sejarah, dan rumah-rumah tuanya menjadi daya tarik tersendiri. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia juga yang membuat acara-acara pra-event festival Cap Go Meh Singkawang di Jakarta, seperti pameran foto mengenai Singkawang di Salihara, Jakarta, 24-31 Januari 2010. Pembuatan buku Memoar Orang-orang Singkawang baginya menantang. Sebab, salah satu bagian utamanya adalah melacak sepotong sejarah masyarakat Singkawang yang terlupakan atau jarang ditulis, yaitu tentang “diaspora” Singkawang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adalah kenyataan banyak perantauan asal Singkawang karena beberapa sebab—faktor politik ataupun ekonomi—kemudian eksodus ke mancanegara. “Memahami persebaran demikian selalu menarik,” katanya. Maka ia tak segan membiayai tim buku menelusuri Guangdong, Hong Kong, dan Taiwan menemui bekas warga Singkawang yang tinggal di sana. Sembari mengisap cerutu, selepas magrib itu, di sebuah restoran bilangan Pantai Indah Kapuk ia menceritakan sedikit riwayat keluarga dan perjalanannya dengan tim buku. Berikut ini penuturannya.

•••

PAPA saya berasal dari Guangzhou, Cina. Umur 13 tahun ia dijual sebagai pekerja oleh kedua orang tuanya. Saat 1930-an terjadi perang saudara di Cina antara Chiang Kai-shek, pemimpin Kuomintang, dan Mao Zedong, pemimpin Partai Komunis Cina (Kung Tsiang Tang). Kelaparan melanda. Keluarga ayah saya butuh uang. Setelah dijual, ayah saya tidak tahu ia dibawa ke mana. Ternyata ia dibawa ke Bangka untuk bekerja di pertambangan. Ayah saya belasan tahun menjadi buruh pertambangan. Sebelum Jepang masuk pada 1942 dia bebas. Ayah saya kemudian ke Belitung mencari nafkah di sebuah bengkel bubut. Karena ayah saya rajin, ia dikawinkan oleh pemilik bengkel dengan anaknya. Jadi ibu saya orang Belitung. Sebelum Jepang tiba, ayah-ibu dan kakek saya mengungsi ke Singapura. Menurut cerita ayah saya, kehidupan di Singapura saat itu juga sulit. Ayah saya sempat jadi nelayan ikut melaut—sampai pernah terbawa arus.

Setelah Jepang pergi, ayah saya mendengar cerita mengenai Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Di sana banyak jip Willys dari Singapura. Pasti di sana butuh bengkel spare part. Dari Singapura lalu orang tua saya beserta kakek menuju Singkawang. Dalam rombongan itu juga terdapat satu anak dari Tanjung Pinang serta satu anak dari Belitung yang kenal di Singapura dan diajak kakek saya. Pada 1946 keluarga ayah saya sampai Singkawang. Mereka bawa dua mesin bubut. Mesin yang bunyinya masih cuk-cak-cuk-cak. Lalu mereka mendirikan bengkel spare part. Bengkel itu kemudian menjadi top karena menjadi bengkel satu-satunya di Singkawang. Setelah usaha sudah jalan, kakek saya balik ke Singapura.

Pada 1950-an, pemerintah Komunis Cina banyak berpropaganda mengajak para overseas China kembali ke kampung halaman membangun negeri. Pemerintah Komunis Cina melakukan kampanye, menyebarkan poster, membuat majalah, mengedarkan film, dan menyebarkan berita di radio. Mao Zedong terutama memobilisasi anak muda untuk bersama-sama mengembangkan Cina meloncat jauh ke depan. Propaganda itu sampai ke Singkawang. Masyarakat Cina di Singkawang pada 1950-an selalu mendapat berita dari radio Singapura. Saat itu Radio Republik Indonesia belum sampai memancar ke Singkawang. Radio Singapura gencar mengabarkan ajakan pemerintah Cina kembali ke tanah leluhur, ke Tiongkok, tanah asal. Banyak warga Cina di Singkawang terpikat.

Rata-rata warga Singkawang yang pergi ke Cina adalah lulusan sekolah Nan Hwa/Nam Chung yang setara dengan sekolah menengah pertama. Nan Hwa Middle school adalah sekolah Mandarin. Kurikulum dan pendidikannya berorientasi ke Cina. Di Singkawang yang bersekolah di Nan Hwa termasuk dari keluarga berduit. Mereka orang kaya. Mereka ingin pergi ke Cina supaya bisa lebih maju. Dari cerita-cerita orang tua di Singkawang, mereka yang mau berangkat ke Cina menyiapkan anyaman rotan besar yang ada tutupnya. Semua barang yang akan dibawa dimasukkan ke situ. Mereka bukan sembarang orang. Mereka bahkan ada yang membawa kamera mahal bermerek Leica dan Voigtlander. Jam tangan yang mereka pakai bermerek Omega, Titus, Titoni, dan Lorenzo.

Ada empat gelombang eksodus orang-orang Singkawang ke Cina—kalau tidak salah pada 1950, 1952, 1955, dan terakhir 1960. Dari Singkawang mereka naik kapal dan transit di Jakarta dulu. Di Jakarta, mereka diatur kedutaan Cina di Jakarta akan ditempatkan di mana di Cina. Dalam buku Memoar Orang-orang Singkawang, Anda bisa lihat ada foto panjang hitam-putih menampilkan ratusan orang, termasuk anak-anak kecil, berpotret bersama di depan sebuah gedung. Itu foto warga Singkawang yang hendak ke Cina pada 1960. Mereka difoto di depan kantor PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jakarta. Saat itu jumlah rombongan 300 orang. Mereka harus menunggu tiga bulan di Jakarta sebelum berangkat. Khusus rombongan pada 1960 mayoritas ternyata warga Singkawang yang baru saja menjadi korban kebakaran besar di daerah Pemangkat. Rumah mereka ludes dan memilih ikut ke Cina, makanya banyak anak juga dibawa serta. Saya ingat kakak saya hampir ikut ke Cina. Sewaktu kecil, saya ingat ada koper besi besar dan kakak saya membungkus apa saja untuk dimasukkan ke koper itu. Tapi dia tak jadi berangkat karena tak mendapat kapal.  

Nah, pada 2009, saat saya menjadi ketua panitia pelaksana festival Cap Go Meh, muncul gagasan melacak orang-orang Singkawang yang pada 1950-1960-an hijrah ke Cina. Kebetulan waktu itu ada perantauan Singkawang yang tinggal di Hong Kong datang menghadiri acara Cap Go Meh. Dia dulu bagian dari gelombang migrasi orang Singkawang ke Cina, tapi kemudian pindah ke Hong Kong karena di Cina hidup sangat berat. Ternyata di Cina tidak seindah yang dibayangkan. Anak-anak muda Singkawang saat itu memimpikan Cina seperti Amerika. Penuh harapan. Ternyata begitu sampai di Cina mereka dipaksa bekerja keras di hutan, diminta membuka tanah menjadi perkebunan. Padahal di Singkawang mereka anak-anak orang kaya. Sampai banyak yang bunuh diri tak kuat mengalami penderitaan.

Mereka yang di Hong Kong pada 2008 membikin satu album foto kenangan berjudul Jejak Nostalgia Singkawang (Sui Yue Liu Hen). Buku itu dibawa ke Singkawang. Buku itu berisi kumpulan foto kenangan manis masa remaja mereka saat masih tinggal di Singkawang. Foto-foto itu mereka kumpulkan dari orang-orang Singkawang yang tinggal di Guangdong dan Hong Kong. Pada 2000-an hubungan Hong Kong dan Cina relatif lebih terbuka. Orang-orang tua Singkawang di Hong Kong yang semula tinggal di perkebunan Guangdong, Cina, bisa bertemu lagi dengan orang-orang tua Singkawang yang masih di perkebunan Guangdong. Foto-foto itu sendiri selama ini seperti jimat pelepas kesengsaraan hidup di Cina. Sebab, dengan memandang foto-foto itu, mereka menjadi ingat masa-masa bahagia tinggal di Singkawang.

Saat acara Cap Go Meh kebetulan fotografer Oscar Motuloh beserta para fotografer yang tergabung dalam Liga Merah Putih datang. Mereka memotret banyak kelenteng sepanjang Pontianak-Singkawang. Oscar melihat album foto Sui Yue Liu Hen dan dia kaget menyadari pada 1950-an sudah ada foto-foto bagus dari Singkawang. Dia kaget mengetahui bahwa Singkawang pada 1950-an sudah memiliki lima studio foto. Padahal studio foto di kota-kota di Jawa saat itu jarang (di album foto itu termuat foto-foto dari tim basket putra dan atlet-atlet putri Singkawang pada 1950-an, pentas tari para siswi sekolah Nan Hwa, hingga foto-foto para siswa Nan Hwa memperingati kemerdekaan ketiga Republik Rakyat Cina, 1 Oktober 1952-red).

Dari album foto itulah kami kemudian pada 2010 memiliki ide menelusuri lagi masyarakat Singkawang di Cina. Saya mula-mula berkontak dengan orang-orang tua Singkawang yang tinggal di Hong Kong. Dari Hong Kong tim buku (bersama penulis Bina Bektiati, fotografer Syaiful Boen, dan John Suryaatmadja) naik kereta ke Shenchen. Dari Shenchen kami ke perkebunan teh Lu feng di pedalaman Guangdong. Di sana kami bertemu dengan banyak orang Singkawang, termasuk yang dulu pergi karena rumah mereka di Pemangkat terbakar. Dan ternyata bukan hanya orang Singkawang, dari Jakarta pada 1950-an yang datang ke situ ternyata ada dari Tasikmalaya, Jawa Tengah, dan daerah lain. Bahkan, kami bertemu dengan orang Ambon yang fasih berbahasa Mandarin. Di perkebunan itu juga banyak penghuni asal Thailand, Malaysia, dan wilayah Asia Tenggara lain. Hanya orang Indonesia yang mengumpul di satu blok.

Orang-orang Singkawang di perkebunan itu rata-rata sudah berumur 70-80-an tahun. Mereka masih bisa bahasa Indonesia. Kami disuguhkan aneka masakan kampung kita. Mereka bercerita bagaimana saat awal tiba di situ disuruh masuk kamp di hutan belantara. Babat alas. Buka lahan. Banyak yang mati. Sehari-hari jatah makan dan kebutuhan hidup mereka diatur dengan kupon. Kupon-kupon itu hanya berlaku di kawasan blok mereka, tak bisa dipergunakan di kawasan lain. Kupon-kupon itu juga menjadi alat kontrol petugas komunis mengawasi mereka. Mereka tidak bisa keluar dari area. Kami melihat ada yang masih menyimpan kupon-kupon di zaman susah itu sebagai kenangan. Kami melihat bahkan ada seorang ibu tua dari Singkawang masih mengenakan gelang hijau pemberian ibunya yang dulu dipakainya dari Singkawang saat berangkat.

Yang menarik, kami melihat mereka masih menyimpan selimut yang mereka bawa dari Singkawang. Selimut itu berwarna merah dengan tiga garis hitam. Selimut itu terbuat dari wol tebal made in England. Orang-orang kaya Singkawang dulu memiliki selimut mahal itu. Selimut tersebut merupakan barang wajib yang harus dibawa ke Cina untuk menghadapi musim dingin di sana. Selimut itu termasuk penanda sosial. Kami melihat selimut merah dengan tiga setrip hitam itu masih dijemur di beberapa rumah. Selimut sudah kelihatan retak-retak jahitannya. Kami terharu. Karena itulah buku kami cover-nya adalah merah dengan tiga setrip hitam. Itu melambangkan selimut para orang Singkawang di Cina.

Setelah dari perkebunan di pedalaman Guangdong kami ke Kota Guangzhou, Guangdong. Di sana juga banyak orang asal Singkawang. Kami berkumpul. Kami, misalnya, bertemu dengan orang Singkawang yang dulu merancang lapangan Kridasana Singkawang. Pada 1950-an, Pekan Olahraga Se-Kalimantan Barat dilaksanakan di stadion ini. Dia generasi pertama yang eksodus ke Cina. Umurnya 93 tahun saat kami bertemu. Dia jalan sudah memakai tongkat. Dia datang bersama anak dan cucunya.

Selain ke Hong Kong dan Cina untuk melacak “diaspora” Singkawang, tim buku pada kesempatan lain berangkat ke Taiwan. Kisah migrasi warga Singkawang ke Taiwan berbeda dengan di Cina. Singkawang terkenal mengekspor pengantin ke Taiwan. Pada 1970-an, banyak tentara tua Kuo Mintang di Taiwan pensiun. Mereka sudah berumur 40-an tahun tapi belum memiliki istri. Melalui mak comblang atau agen jodoh, mereka mencari perempuan Cina Singkawang untuk dijadikan pendamping. Mengapa Singkawang? Karena perempuan Cina Singkawang sama-sama berbahasa Khek atau Hakka. Saat saya kecil, banyak perempuan Singkawang pergi ke Taiwan. Kehidupan mereka menjadi lebih baik di Taipei. Selain para veteran tentara Kuo Mintang, pada 1980-an banyak anak muda Taiwan yang bekerja sebagai buruh pabrik juga mencari istri perempuan Singkawang.

Tim buku diajak ke Kota Yangmei, selatan Taipei. Di kota ini banyak sekali perempuan pengantin asal Singkawang sehingga Kota Yangmei dijuluki Sister City Singkawang. Tim buku bertemu dengan Wali Kota Yangmei. Tradisi pengantin Singkawang datang ke Taiwan berlanjut terus sampai 1990-an. Tradisi ini sekarang saya lihat agak berkurang.

Selain bertemu dengan para pengantin, kami bertemu dengan para pemuda perantau Singkawang. Salah satunya ada yang sukses bikin PT Indosuara Indonesia. Dia menerbitkan tabloid bulanan berbahasa Indonesia. Tabloidnya tersebar di seluruh Taiwan dan menjadi bacaan para pekerja asal Indonesia. Saya merasa kisah budaya selalu menarik diceritakan dan diselami. Demikian juga kisah perantauan orang-orang Singkawang baik di Cina maupun Taiwan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus