Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero), Arief Budiman, mengemukakan rencana pemerintah menambah subsidi solar dari Rp 500 ke Rp 2.000 per liter. Dia menyebut kebijakan itu sebagai kabar gembira. Sebab, selama ini perusahaannya terpaksa menanggung kewajiban menjual bahan bakar bersubsidi di tengah kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan kurs rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Arief, tambahan subsidi tersebut akan menambah pendapatan perusahaan hingga Rp 23,2 triliun. "Solusi pasti ada dari pemerintah. Kami sudah membuka semuanya," kata dia saat berkunjung ke kantor Tempo, kemarin. Arief mengatakan pemerintah juga telah membayar sebagian utang subsidi solar Rp 16 triliun tahun ini. Dengan demikian, sisa utang pemerintah tersisa Rp 10 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski begitu, Arief mengakui bahwa Pertamina mengalami tekanan keuangan, khususnya di sektor hilir. Sebab, Pertamina harus menjual bahan bakar minyak 1,1 juta kiloliter per hari, sebagian besar masuk golongan pelayanan masyarakat (public service obligation) yang harganya ditetapkan pemerintah. Beban ini, kata dia, sulit ditutupi oleh pendapatan dari produksi minyak (sektor hulu), yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan penjualan bahan bakar. "Produksi minyak kami hanya 300 ribu barel per hari," kata Arief.
Di tengah tekanan tersebut, Arief mengklaim keuangan Pertamina masih sehat. Salah satu indikatornya, kata dia, Pertamina masih memiliki komitmen pinjaman dari puluhan bank senilai US$ 5 miliar. "Kinerja keuangan tidak bermasalah karena arus kas kami masih positif," ujar dia.
Guna mengurangi tekanan keuangan, Pertamina bakal menggencarkan penjualan bahan bakar non-subsidi dengan membuka pompa bensin skala kecil bernama Pertashop. Menurut Arief, ini adalah fasilitas penjualan bahan bakar, elpiji, dan oli skala kecil dengan kapasitas 5 kiloliter. Strategi ini dilakukan untuk memenuhi permintaan bahan bakar di daerah yang sulit dijangkau pompa bensin konvensional. "Mungkin bukan yang termurah, tapi itu yang paling convenient," tutur Arief.
Anggota Komite Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas, Henry Ahmad, mengatakan rencana Pertamina membuka fasilitas penyaluran baru efektif menambah konsumsi bahan bakar nonsubsidi. Sebab, kata dia, persoalan utama pasar bahan bakar nonsubsidi saat ini adalah pasokannya yang minim di daerah terpencil. Menurut catatan BPH Migas, kebutuhan fasilitas penyalur di Indonesia mencapai 35 ribu unit. Tapi saat ini pompa bensin yang tersedia hanya 7.000 unit. "Masih ada peluang memperluas pasar."
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, meminta Pertamina berhati-hati saat membuka Pertashop di daerah terpencil. Sebab, daya beli masyarakat di kawasan itu relatif rendah. Alih-alih menggenjot penjualan bahan bakar nonsubsidi, pompa bensin skala kecil bisa menambah beban operasi.
Menurut Komaidi, di tengah kondisi keuangan yang ketat, hanya ada dua opsi yang membantu Pertamina: membatasi jumlah penjualan Premium atau menambah subsidi. Dia menganggap tambahan subsidi solar kali ini belum sesuai dengan harga keekonomiannya. Apalagi Pertamina menanggung beban penjualan Premium. "Subsidi tak menutup semuanya," kata Komaidi. ROBBY IRFANY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo