Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengadilan memberikan vonis bebas kepada Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.
Vonis bebas untuk Haris dan Fartia menjadi sinyal positif bagi hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia.
Dugaan konflik kepentingan Luhut Binsar Panjaitan dalam bisnis tambang di Papua semakin kuat.
JAKARTA – Putusan bebas atas Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menguatkan dugaan adanya konflik kepentingan Luhut Binsar Pandjaitan pada bisnis pertambangan di Intan Jaya, Papua. Hal itu terdapat dalam pertimbangan majelis hakim yang menjadi dasar putusan perkara pencemaran nama dan penghinaan yang dituduhkan kepada Haris dan Fatia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Hakim sependapat dengan kami. Hakim menyambungkan rantai bukti yang ada,” kata kuasa hukum Haris dan Fatia, Muhammad Isnur, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin, 8 Januari 2024. “Jadi jelas ada relasi bisnis perusahaan Luhut dengan tambang di Papua.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis bebas Haris dan Fatia. Ketua majelis hakim Cokorda Gede Arthana mengatakan kedua terdakwa tidak terbukti melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Haris Azhar dan Fatia Maulidiyant berorasi setelah menjalani sidang putusan perkara dugaan pencemaran nama terhadap Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 8 Januari 2024. TEMPO/Subekti.
Tudingan terhadap Haris dan Fatia berawal dari perbincangan di kanal YouTube Haris berjudul "Ada lord Luhut di balik relasi ekonomi-ops militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada1! >NgeHAMtam". Video itu ditayangkan pada 20 Agustus 2021. Adapun perbincangan itu didasari kajian cepat masyarakat sipil berjudul "Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya".
Secara umum, kajian tersebut membahas penempatan prajurit TNI untuk mengamankan bisnis tambang di Intan Jaya. Dalam pengamanan itu, ditemukan indikasi konflik kepentingan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melalui PT Tobacom Del Mandiri (PT TDM). Perusahaan ini merupakan anak perusahaan PT Toba Sejahtra. Luhut memiliki 99 persen saham di PT Toba Sejahtra.
Setelah tayangan itu beredar luas, Luhut tersinggung lalu mensomasi Haris dan Fatia. Ia meminta kedua aktivis pembela hak asasi manusia itu meminta maaf. Karena Haris dan Fatia menolak, Luhut melaporkan keduanya ke Polda Metro Jaya pada 22 September 2021 atas tuduhan pencemaran nama.
Haris dan Fatia kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada Maret 2022. Mereka dijerat dengan Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Ayat 3 UU ITE, Pasal 14 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, dan Pasal 310 KUHP tentang penghinaan. Pada April 2022, sidang perdana digelar. Kemarin, Haris dan Fatia divonis bebas karena dinilai tidak terbukti melanggar pasal-pasal yang didakwakan.
Hakim anggota Agam Syarief Baharudin dalam pertimbangannya mengatakan Haris dan Fatia tidak terbukti memenuhi unsur pencemaran nama atau penghinaan, berita bohong, serta membuat keonaran. Sebab, pernyataan Haris dan Fatia didasari hasil riset koalisi masyarakat sipil berjudul "Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya" yang terbit pada Agustus 2021. Riset ini diluncurkan YLBHI, Walhi Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, Walhi Papua, LBH Papua, Kontras, Jatam, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, dan BersihkanIndonesia.
Ada tiga frasa yang disampaikan Haris dan Fatia yang dianggap menghina Luhut, yakni "Lord Luhut", "Luhut bisa bermain di pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini", dan "jadi penjahat juga kita".
Pada kata lord, kata Agam, tidak terkandung unsur hinaan. Kata itu sudah kerap digunakan di media sosial untuk menyebut Luhut. Kata lord disematkan kepada Luhut karena dia menjadi satu-satunya menteri yang mendapat banyak kepercayaan dalam menangani berbagai urusan pemerintah. “Itu bukan hal buruk, melainkan merujuk pada status,” ujar Agam dalam persidangan.
Sementara itu, pada frasa "Luhut bisa bermain di pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua" juga tak terbukti memenuhi unsur hinaan dan berita bohong. Agam justru menegaskan Luhut berperan dalam bisnis pertambangan di Intan Jaya.
Agam mengakui hasil riset yang diterbitkan Koalisi Masyarakat Sipil, termasuk adanya eskalasi pengerahan militer untuk mengamankan obyek vital di Intan Jaya. Obyek vital itu berhubungan dengan sejumlah perusahaan pertambangan yang dua di antaranya terhubung dengan Luhut, yakni PT Freeport Indonesia dan PT Madinah Qurrata’Ain (PT MQ).
Dalam Derewo River Gold Project, kata Agam, West Wits Mining diketahui sebagai pemegang saham PT MQ. West Wits Mining membagi 30 persen saham kepada PT TDM. Presiden Direktur TDM adalah Paulus Prananto. West Wits Mining menyebutkan bahwa TDM bertanggung jawab atas izin kehutanan dan keamanan akses ke lokasi proyek pertambangan.
Agam mengatakan PT TDM merupakan anak perusahaan PT Toba Sejahtra. Luhut menjadi pemegang 99 persen saham perusahaan itu. Jadi bisa dikatakan antara PT TDM dan PT Toba Sejahtra memiliki aliansi untuk menjalankan bisnis pertambangan.
Sejak menjadi menteri, Luhut mengklaim disibukkan oleh urusan pemerintah. Maka urusan di PT Toba Sejahtra diserahkan kepada Nana Naiborhu sebagai CEO Profesional PT Toba Sejahtra. Kendati demikian, dengan adanya kepemilikan saham di PT Toba Sejahtra, Luhut otomatis mendapat beneficial owner atau penerima manfaat atau keuntungan.
Ada juga korespondensi PT TDM sebagai anak perusahaan PT Toba Sejahtra dengan West Wits Mining. Dalam sidang, Paulus Prananto sebagai Presiden Direktur PT TDM mengaku pernah bertemu dengan pihak West Wits Mining pada 2016. Pertemuan itu untuk membahas pengamanan lokasi pertambangan yang pernah disepakati.
Agam mengatakan Paulus menggunakan fasilitas PT TDM dalam pertemuan itu. Apalagi alamat PT TDM sama dengan PT Toba Sejahtra saat melakukan pertemuan sehingga Paulus melakukan itu untuk kepentingan perusahaan.
Karena itu Agam berpendapat pernyataan Haris dan Fatia mengenai Luhut terlibat pertambangan di Papua tidak bisa diingkari. Sebab, PT TDM melakukan kesepakatan bisnis pertambangan dalam Darewo River Gold Project.
Dengan mengutip keterangan ahli pertahanan negara, Heri Wiranto, Agam mengatakan operasi yang bisa digelar di Papua adalah operasi pengamanan. Setelah Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan membantu penugasan pengamanan.
Agam mengatakan ada korelasi antara pengamanan obyek vital nasional dan tingkat keamanan yang harus dijaga karena adanya gangguan kelompok pro-kemerdekaan Papua. Keterkaitan militer di Papua adalah untuk mengamankan obyek vital pertambangan sebagai salah satu penghasil devisa negara. “Semua ini disampaikan dalam riset koalisi masyarakat sipil,” kata Agam.
Dengan begitu, Agam mengatakan, ada peran Luhut sebagai Menko Kemaritiman dan Investasi untuk menjaga iklim investasi dan kepentingannya dalam PT TDM. Walhasil, kajian koalisi masyarakat sipil yang melihat ada peran Luhut sebagai menteri senior dalam bisnis pertambangan tidak bisa dimungkiri.
Penasihat hukum Haris dan Fatia, sekaligus Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Arif Maulana, mengatakan perkara ini menunjukkan bentuk kriminalisasi yang dilakukan oleh pejabat publik. Sebab, pasal pencemaran nama tidak terbukti. Laporan ini diproses hanya karena Luhut tidak terima dengan fakta yang diperoleh berdasarkan hasil riset koalisi. “Ini merupakan bagian kritik publik,” kata Arif.
Vonis bebas terhadap Haris dan Fatia, kata Arif, menunjukkan bahwa hasil riset koalisi masyarakat sipil merupakan fakta berbasis data ilmiah. Luhut benar-benar terlibat dalam bisnis tambang dan pengamanan pertambangan di Intan Jaya. Bahkan putusan pengadilan menegaskan adanya konflik kepentingan Luhut dalam bisnis pertambangan di Intan Jaya.
Menurut Arif, masalah utama dalam kasus ini sebetulnya isu Papua. Kepentingan bisnis pertambangan berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat adat Papua. Bahkan masyarakat Papua harus mengungsi akibat penempatan aparat dengan alasan menumpas kelompok pro-kemerdekaan Papua.
Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rozy Brilian mengatakan putusan hakim terhadap Haris dan Fatia memberikan harapan tentang mekanisme demokrasi yang masih berjalan. Putusan itu bisa dijadikan rujukan dalam kasus kebebasan berekspresi dan berpendapat. “Ini preseden baik,” katanya.
Menurut Rozy, kasus ini utamanya merupakan masalah konflik kepentingan Luhut pada bisnis tambang di Papua. Hakim sudah jelas merinci peran Luhut yang disampaikan dalam fakta persidangan. Putusan ini juga melegitimasi pernyataan Haris dan Fatia mengenai keterlibatan Luhut.
“Luhut terbukti terlibat dalam bisnis pertambangan, industri ekstraktif Papua melalui anak perusahaannya, PT TDM,” kata Rozy.
Luhut adalah Menko Kemaritiman yang membawahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Menurut Rozy, KLHK memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin usaha pertambangan serta berbagai dokumen kelengkapan tambang. “Konflik kepentingan menguat pula karena Luhut merupakan purnawirawan TNI yang memiliki pengaruh terhadap penempatan pasukan,” ujar Rozy.
Pendapat serupa disampaikan oleh Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Atnike Nova Sigiro. Menurut dia, vonis bebas untuk Haris dan Fatia menjadi sinyal positif bagi hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia. Namun penting pula menjadi catatan bahwa dalam kondisi ideal, permasalahan ini tidak seharusnya perlu sampai ke tahap peradilan. Sebab, perbuatan Haris dan Fatia merupakan bentuk perjuangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Upaya itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 66. “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata,” kata Atnike.
Aturan tersebut juga telah ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup dan Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
Luhut Binsar Pandjaitan menjalani sidang dalam kasus pencemaran nama dengan terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jakarta, 8 Juni 2023. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Luhut menyayangkan putusan pengadilan yang memvonis bebas Haris dan Fatia. Menurut dia, ada beberapa fakta dan bukti penting dalam persidangan yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim. Padahal Luhut yakin setiap aspek dan fakta dalam suatu kasus hukum harus dipertimbangkan dengan saksama untuk mencapai keputusan yang adil dan bijaksana. “Selanjutnya, kami menyerahkan sepenuhnya kepada penuntut umum atas proses yang akan diambil berikutnya,” ujar Luhut dalam keterangan tertulis.
Kuasa hukum Luhut, Juniver Girsang, mengatakan kliennya menyerahkan langkah hukum selanjutnya kepada jaksa penuntut umum. Perihal berbagai fakta konflik kepentingan Luhut dalam bisnis pertambangan, Juniver belum bisa berkomentar. “Saya belum baca putusan detailnya,” katanya. Adapun jaksa penuntut umum berencana mengajukan kasasi atas putusan hakim.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo